Bagi saya, pilihan belajar filsafat tampak konyol karena alasannya ia adalah ibu dan anak-anaknya bisa dipahami dengan mudah. Ini terekam di sini, https://alif.id/read/ahmad-sahidah/kenangan-mahasiswa-madura-belajar-filsafat-di-uin-jogja-b206624p/.
Pengalaman bertambah-tambah karena saya membaca buku asli banyak filsuf di perpustakaan Hamzah Sendut, tempat saya menemukan karya Gadamer, Truth and Method, terbitan 1973. Undangan untuk berbagi pengalaman dengan mahasiswa USM minor falsafah dan tamadun sangat mengujakan. Saya harus bolak-balik memeriksa filsuf Barat, agama, dan pengalaman pribadi untuk meletakkan apa sesungguhnya hidup tentram, sebuah pertanyaan yang dulu diajukan oleh pemikir Yunani?
Imajinasi atau intuisi adalah anak sah dari filsafat. Saya hanya perlu memberikan makna pada apa yang dialami sepanjang berada di atas bumi. Jati diri, misalnya, merupakan kunci untuk mengatasi halangan menikmati hidup. Apa yang terjadi bila kami menyanyikan balik kampung dalam perjalanan dari Kedah ke Pulau Pinang? Keriangan sebab ari Biyya ditanam di asrama Tasik Harapan USM.
Ya, identitas itu mitos dalam dunia pascamodern. Kita terperangkap pada gagasan modernitas bahwa keadaan kita ditentukan oleh rekonstruksi sosial, padahal tidak sepenuhnya diri kita berpijak pada tempat kita membesar. Apalagi, ide klasik bahwa identitas kita itu pasti. Tidak!
Kata-kata mudah retak karena ia hanya mewakili sesuatu (things) yang telah dibebani oleh banyak hal di luar kehendak kita, bahkan. Kami bisa tinggal di Paiton dengan tenang, sebab jiran baik-baik belaka. Tetapi, saya menikmati soul dan blues dari radio radio Amrik The New 88.5 FM. Biyya mendengar lagu Billie Eilish dan sang ibu memutar lagu Ziana Zain dengan Madah Berhelahnya. Zumi bermain dengan teman-teman seraya menggunakan bahasa yang mereka saja yang kadang paham.
Bila ketentraman hidup dirasakan, itu sesungguhnya hakikatnya kita dapat melalui perenungan. Dari refleksi, kita bisa memahami ucapan bijak seperti ini, the function of prayer is not to influence God, but rather to change the nature of the one who prays. ~ Søren Aabye Kierkegaard (5 May 1813–11 November 1855). Tetapi, selalu saja makna hinggap di kepala tanpa kita bisa memaksa orang lain untuk berpikiran sama.
Tadi, saya berjemaah subuh di masjid sebelah rumah. Saya tak perlu bertanya doa apa yang dipanjatkan tetangga sebab setiap individu menjalani hidup dengan apa yang dipikirkan dan dirasakannya sendiri. Hanya, sejauh mana otonomi itu ditegakkan, di sini hidup tertanggungkan.