Monday, July 29, 2024

Futsal

Saya, istri, dan putri sulung menonton Zumi, si bungsu bersama kawan-kawannya, berlaga di turnamen futsal tingkat kabupaten yang ditaja oleh Rengganis, penghasil batik lokal.
Saya senang ada tim Sekolah Menengah Kristen Mater Dei yang dianggotai oleh anak-anak dari Papua juga bertanding. Gerak mereka gesit dan cepat. Bagi kami, momen ini adalah juga hari keluarga.

Zumi sangat bersemangat untuk menjadi bagian tim. Meskipun penyuka FGTeev ini belum bisa menggocek dan beradu tubuh dengan lawan, namun dalam tiga kali main, ia mencetak gol satu-satunya dan merayakannya seraya mengangkat tangan dengan melihat ke atas.

Biyya pun mengajak Zumi untuk membeli kudapan setelah turun ke lapangan. Perhatian kecil ini baik bagi perkembangan hubungan kakak dan adiknya.

 

Saturday, July 27, 2024

Kebersamaan

Sebagaimana orang tua pada umumnya, kita memberi jalan pada anak untuk menikmati kegiatan sekolahnya. Kita tidak harus melatih fisik mereka dengan berenang, berkuda, dan berpanah, sebab berbola juga menguji ketahanan badan.

Dengan mengikuti turnamen futsal, anak-anak bergerak dan bekerja dalam kelompok. Hal lain yang perlu dihadapi dengan terbuka adalah kemenangan dan kekalahan cukup diterima dengan kelapangan. 

Sekolah yang awalnya berarti tempat belajar dan waktu luang semestinya menjadi ruang mereka untuk menemukan diri mereka sendiri. Kita mengenalkan cara berpikir, bukan apa yang harus dipercayai. Pembenaran datang setelah kepahaman. 

Tentu, tubuh mesti teguh agar jiwa menempati rumah yang kukuh. Ketika lapar, lebih-lebih sakit, saya tak bisa berbuat banyak. Anda?

 

Friday, July 26, 2024

Keseharian Tokoh Besar


Saya mengenal Rousseau tatkala menulis tugas akhir di UIN Sunan Kalijaga. Penulis The Confessions ini dikenal sebagai penggagas awal agama sipil. Kala itu, saya dan kawan-kawan menyusun tesis dengan hasrat pencarian kebenaran yang meluap-luap. Cendikiawan yang dikaji dilihat sebagai sosok pemikir andal dan hebat. 

Namun, dengan membaca uraian Eric Weiner tentang tokoh tersebut, kita bisa becermin bahwa siapa pun adalah manusia yang memiliki kisah keseharian, di mana pikiran dan perasaannya diuji. Masa Rousseau senaif itu! Ia tampak dekil karena memilih berjalan kaki sebagai cara dekat dengan alam. Bajunya lusuh karena debu. Oh, tidak. Perlente atau necis kadang dipamerkan karena seseorang tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menarik perhatian.

Itulah mengapa kita tak melihat tokoh di atas panggung dan televisi, tetapi apa yang mereka jalani di dalam kehidupan sehari-hari. Ide-ide pasti berbuah tindakan nyata. Dalam buku ini, kita bisa membaca gagasan dari banyak sarjana termasyhur secara bersahaja.

Thursday, July 25, 2024

Socrates Express


Justru saya tertegun lagu Mutiara-Mutiara (1992) melalui radio Sinar FM (streaming) tatkala menekuri kisah Rousseau, pejalan tangguh. Dalam bersahaja | kau selitkan madah yang terindah |

Tetapi, kini kesahajaan raib diganti dengan kemegahan. Padahal, kata filsuf asal Swiss, hidup otentik itu bersama alam dengan dirayakan melalui jalan kaki. 

Kini, bumi dikoyak dengan penambangan. Pelaku meninggalkannya begitu saja setelah menggalinya hingga dalam. Betapa kelam!

Friday, July 19, 2024

Kejutan untuk Biyya

Man Seeks God ini dipilih oleh Biyya sendiri tatkala kami berkunjung ke Gramedia mal Icon Gresik. Sore ini saya memberikan kejutan dengan meletakkan paket yang baru sampai di sisi ranjang kamarnya ketika penyuka lagu P Ramlee masih terlelap. Ia pun mengucapkan terima kasih setelah tahu ada buku baru. 

Saya pun suka gaya berkisah Eric Weiner dalam menganggit pengalamannya menemukan Tuhan dari delapan agama yang ditelisik oleh si wartawan tersebut. Raelisme yang memiliki anggota 80 ribu jemaah ingin menjadikan ibadah sebagai amal yang menyenangkan. Apa kita menikmati setiap detik dari kewajiban yang kita tunaikan?

Penganut Yahudi ini secara empati melihat praktik keagamaan sebagai kehendak manusia untuk meraih ketenangan. Anda ingin apa dalam beragama? Sebagai muslim, apa kita sudah mendapatkan "thuma'ninah" dalam zikir? 

Nah, sambil menunggu karya yang mengulik gagasan para filsuf tersebut didaras, saya juga mau belajar bagaimana seseorang mengambil manfaat dari pengetahuan kritis dalam menjalani kehidupan, terutama cara pengarang menjadikan ide-ide besar tak ubahnya sebuah cerita sehari-hari.

 

Buku Stiglitz

Sebelum pukul tujuh pagi, sang kurir telah meletakkan majalah Tempo (Tempo Media) di depan pintu setelah tiga hari dipesan melalui lokapasar Tokopedia. 

Rubrik pertama yang saya baca adalah resensi buku oleh Bagja Hidayat. Si penganggit mengulas karya Joseph E. Stiglitz dengan kritis. Sarjana Keynesian tersebut mengkritik ekonomi ala Hayek dan Friedman karena gagasannya melahirkan sistem ekonomi dan politik tidak adil. 

Bagi Stiglitz, peran negara tetap diperlukan mengingat pasar bisa melahirkan persaingan yang tidak sehat. Jalan yang ditawarkan adalah kapitalisme progresif, sebagai penengah sosialisme yang merayakan peran negara dan kapitalisme yang menentangnya. Ia hendak menyeimbangkan peran negara dan pasar. Pijakan teorinya adalah tidak ada kebebasan yang sempurna. 

Menariknya, kata Bagja, pemerintah Indonesia telah mempraktikan ide tersebut. BUMN diberi tanggung jawab untuk melayani warga. Sayangnya, badan usaha ini menjadi sapi perahan untuk membiayai aktivitas politik. Tatkala demokrasi menjadi syarat bagi wujudnya pandangan ini, pesta pemilu justru melahirkan oligarki, klientelisme dan patronase. 

Lagi-lagi, filsafat memang tidak  mengajarkan cara bikin roti, tetapi ketika memilih makanan, warga berpikir kritis sebagai cara untuk berdiri sejajar dengan kekuasaan. Jika makan siang gratis tidak bisa dipenuhi, maka ia bisa dibatalkan karena kita mafhum bahwa anggaran negara terbatas. 

Justru, janji untuk memerangi korupsi dan menegakkan ketertiban segera dilaksanakan seraya mencegah premanisme untuk turut mengambil tempat dalam tata kelola pemerintahan.

 

Thursday, July 18, 2024

Ritual Pagi

Selembar roti, secawan kopi panas, dan senyanyian dangdut dari radio FM.

Saya membubuh tanda tangan pada buku yg dibeli 2017. Dgn demikian, saya merasa akan menemukan makna baru. Europa adalah anak perempuan Phoenix, yang dihasrati oleh Zeus. Ehm!

Eropa itu adalah mitos. Lalu, Jawa dan Madura itu bermula dari cerita apa? Ketika mendaras kisah luar, sejatinya kita sedang menimbang diri sendiri.

Kita akan berdiri sendiri dgn kaki berpijak pada alam pikiran India, Arab, dan Eropa. Bagi saya, keaslian adalah kesetiaan pada bangunan pengetahuan yg diyakini dan pelaksanaan dalam keseharian.

Akhirnya, tiga budaya besar itu adalah pondasi, yang diolah secara kreatif untuk diracik menjadi ideologi khas.

Kajian Bulanan


Pengajian kitab ini akan segera berakhir. 

Mewarisi Homo Neandearthal

Sekira 100.000 tahun yang lalu, Homo Neandearthal menempatkan makanan dan batu api yang bernilai tinggi di kuburan mereka. Amalan tersebut menunjukkan keyakinan terhadap kehidupan setelah kematian (hlm. 31).

Hari ini, apa makna makam bagi kita? Saya justru memikirkan kehidupan ketika berada di sini. Pasti, ia berbeda dengan kematian sebab individu harus makan, minum, dan bergiat. Pada bagian terakhir, kita bergulat untuk memilih mana yang asli dan palsu.

Membuka tabir kepalsuan adalah tugas yang kita lakukan bersama untuk menyingkap kebenaran. Tetapi, kita akan terpesona dengan sesuatu yang berbeda tatkala tirai terbuka. Ada titik temu dan pisah. Kebijaksanaan melihatnya sebagai keindahan. Kepicikan memandangnya sebagai keburukan.

Sementara, sepagi ini, saya gembira dengan ceramah KH Musleh Adnan melalui radio karena pesan risalah disampaikan dengan riang. Bila beliau mengkritik filsafat karena seseorang terjebak dengan kata mengapa, ini disampaikan pada jemaah yang memerlukan kepastian. Betapa tidak arif mengajak orang awam berpikir keras.
 

Serapan Arab

Kita menyerap banyak kosa kata Arab ke dalam bahasa kebangsaan, seperti  adil, makmur, musyawarah, khidmat, dan wakil. Semua lema ini kita temukan dalam dasar negara kita, Pancasila. Secara linguistik, arti kata-kata ini tidak hanya ditemukan dalam kamus yang memuat arti dasar, tetapi juga relasional dengan kata lain yang membayangkan medan semantik. Lebih jauh, pesan umum dari kata ini mengandaikan pandangan dunia (weltanschauung) dari negara asal.

Tetapi, tulisan ini tidak akan mengulas kerumitan di atas, namun hendak menyoal beberapa serapan yang bisa menimbulkan masalah terkait konsistensi, ketepatan, dan ketaksaan. Aturan dalam penyerapan telah diatur, namun kita bisa menemukan ketidakajekan dalam penggunaaan huruf, seperti huruf qaf (Ù‚) yang kadang diganti dengan /q/ dan /k/, seperti Alquran dan takwa. Secara fonologis, kata terakhir semestinya ditulis dengan taqwa. Tak dapat dielakkan, banyak santri menulis istiqomah, alih-alih istikamah.

Selain itu, ada kata kalbu, yang tidak memiliki arti sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni pangkal perasaan batin, hati yang murni, dan hati. Semestinya ia ditulis dengan qalbu karena diawali dengan huruf qaf, bukan kaf (ï»™), sebab kata kalbun bermakna anjing dalam bahasa rumpun Semitik tersebut. Itulah mengapa Aa Gymnastiar lebih memilih manajemen qalbu, bukan kalbu.

Tentu, serapan beberapa kata yang berasal dari kata sama, shalla, seperti salat, musala, dan selawat jelas semakin menunjukkan ketidakkonsistenan. Semestinya kata yang terakhir ditulis salawat. Namun demikian, kebanyakan dari pengguna kata ini akan menulis sholat, musholla dan sholawat karena pengucapannya lebih dekat dengan pelafalan asal. Sejauh ini, saya belum pernah mendengar mahasiswa menyebut musala untuk musholla.

Menariknya, kita menggunakan konsonan rangkap, seperti /kh/ dan /sy/ untuk menyerap kata khalifah dan syukur. Tetapi, mengapa sh untuk shalat dan shabar tidak juga digunakan? Anehnya, dalam khalifah dan khotbah yang berasal dari huruf kha’ (ﺥ) dan tanda fathah (ــَÙ€) yang sama dalam bahasa Arab menggunakan huruf vokal yang berbeda, /a/ dan /o/? Lebih pelik lagi, orang yang menyampaikan khotbah disebut dengan khatib, yang semestinya khotib, bukan? Kalau lidah Indonesia tidak mengenal bunyi huruf ص, sehingga direpresentasikan dengan bunyi konsonan /s/ mengapa kita menyerap /kh/ dan /sy/?

Memang pelafalan huruf qaf dan kaf dalam bahasa Indonesia hampir serupa, meskipun ia menempati penekanan yang berbeda. Qaf dilafalkan dari bagian belakang lidah yang mendekati tenggorokan, lebih tepatnya dari daerah yang bersentuhan dengan anak tekak (uvula). Bagi santri, mereka biasanya mengucapkan huruf ini secara fasih dalam bacaan salat, tetapi penggunaannya dalam sehari-hari seperti bunyi kaf.

Huruf kaf diucapkan dari bagian tengah lidah yang menyentuh langit-langit mulut bagian tengah (daerah velar). Posisi pengucapan kaf lebih ke depan dibandingkan dengan qaf, yang disebut huruf  halqi atau tenggorokan. Oleh karena itu, hampir semua serapan Arab yang menggunakan huruf qaf diucapkan dengan kaf, meskipun penulisannya dengan qaf. Belum  lagi, seperti serapan kalbu di atas, ada banyak kata yang mengalami hal serupa, seperti kiblat (قبلة), kiamat (قيامة), kurban (قربان), dan kanun (قانون).

Selain itu, tanda vokal bahasa Arab terdiri dari fathah (a), kasrah (i) dan dhammah (u) dan tidak mengenal bunyy /e/ (baik terbuka, tertutup, ataupun tegak, sehingga perubahan kata ترتيب (tartib) menjadi tertib dan صدقة (shadaqah) berubah menjadi sedekah. Hal ini semakin menegaskan tidak adanya aturan baku dalam penulisan bahasa sasaran secara fonologis.

Sememangnya, salah satu aturan dalam penyerapan bahasa Arab adalah penyesuaian bunyi sesuai dengan aturan fonologis bahasa Indonesia. Huruf-huruf Arab yang tidak ada padanan langsung dengan alfabet Indonesia seperti 'ayn (ع) dan ghain (غ), sehingga kata bid’ah diserap sebagai bidah dan maghrib disebut dengan magrib. Lagi-lagi, pengucapan kata ini sering tidak dilafalkan sebagaimana tulisan, tetapi seringkali disesuaikan dengan fonologi asal.

Dari uraian di atas, dalam keseharian kita sering menemukan pengguna bahasa tidak menulis dan mengucapkan kata serapan secara baku. Hal ini disebabkan bunyi dari kata baku tidak sama dengan tulisan. Betapapun kita memiliki aturan dalam penyerapan bunyi, yakni asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi dan anaptiksis, namun saya belum pernah mendengar orang menyebut musala, untuk musolla, yang sering diucapkan dalam keseharian. Anda?

* Pengajar Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid Jawa Timur 

Sumber: Majalah Tempo (15-21 Juli 2024)

Monday, July 15, 2024

Lawang Malang

Setelah hampir seharian mengikuti pertemuan antara LPPM UNUJA dan UBICO Accounting dan Consulting, kami pun beranjak pulang. Sebelum memasuki tol, saya dan teman-teman mampir ke pusat jajanan di Lawang. 

Di sini, saya membeli banyak buah tangan, berupa pelbagai kripik, dari kentang, ketela pohon dan talas. Semua produk ini dihasilkan oleh perusahaan kecil atau rumah tangga. 

Betapa menyenangkan sebelum memasuki toko ini, seorang pengamen tuna netra yang duduk di atas speakernya membawakan lagu Rhoma Irama. Malam itu, saya merasakan fana. 

 

Thursday, July 11, 2024

Niqab

Dua perempuan ini bertanya pada wanita bercadar tentang Green Peace Malaysia di sebuah pasaraya (supermarket).

Kunci perdamaian adalah penerimaan terhadap perbedaan. Kebebasan bukan soal menolak kekangan, tetapi kepiawaian bertukar perlambangan. Niqab adalah simbol bahwa lelaki mesti melihat apa yang diucapkan oleh kaum hawa. 

Solekan adalah jalan lempang industri untuk mengaut keuntungan. Kecantikan itu adalah rasa nyaman bersangkutan, dengan kata lain soal kesehatan. 

Apa rasa nyaman pada diri itu didorong oleh hegemoni atau kesadaran ideologi? 

Tuesday, July 09, 2024

Buku untuk Pemalas

Setelah Filsafat Kebahagiaannya Fahruddin Faiz, mahasiswa Universitas Nurul Jadid menggelar bedah buku anggitan Ach Dhofir Zuhry yang bertajuk Filsafat untuk Pemalas. Kini, kaum terpelajar bisa mendaras pengetahuan asal negeri Zeus dengan riang.

Pesan pentingnya adalah berpikir itu mesti dilakukan oleh setiap orang untuk menemukan hidup baik dan menjalaninya. Di sini si pengarang mengobrak-abrak tatanan bahasa dan daya ungkap dari ilmu ini yang sebelumnya sering kaku dan tak lucu.

Tak dapat dielakkan, cetusan pendiri sekolah filsafat Al-Farabi Malang ini dapat dijangkau oleh banyak lapisan. Tanpa beban, tulisannya membongkar apa saja yang sebelumnya enggan untuk diucapkan secara terbuka. Pendek kata, filsafat adalah cara pandang yang dapat membongkar sesuatu yang cenderung untuk disimpan dalam laci secara rapi. 
 

Filsafat Untuk Pemalas

Betapa menyenangkan menjadi bagian dari mahasiswa dari pelbagai program studi yang hendak mengetengahkan filsafat sebagai percakapan. Pengetahuan seringkali dilihat sebagai ilmu langit, padahal justru di awal kehadirannya, ia mau menjawab persoalan sehari-hari. 

Buku ini dihasilkan oleh Ach Dhofir Zuhri dengan mengangkat isu-isu keseharian untuk diulik sebagai perbincangan yang tidak dilihat dari permukaan saja, tetapi sekaligus kedalamannya. Tak dapat dielakkan, kumpulan tulisan ini menggedor kesadaran pembaca untuk  menyoal sesuatu yang telah diterima oleh khalayak begitu saja. 

Semisal, apakah rambut nabi yang digotong ke sana ke mari itu betul-betul lahir sebagai kecintaan atau motif lain? Belum lagi menyebut nabi Muhammad sebagai filsuf dan Plato sebagai nabi jelas akan mengguncang kata yang telah dipaku oleh orang kebanyakan sebagai lema yang tidak bisa diotak-atik. Pendek kata, kata mudah retak. 

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...