Thursday, September 04, 2025

Jejak Karya

Baru kemarin, saya menemukan tulisan pertama saya di Jawa Pos. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin telah mengkliping tulisan tersebut. 

Bahan ini akan menjadi bahan di kelas literasi  pondok dan universitas. Kini, berkarya mudah karena bahan berlimpah. Dulu, kami membaca buku di perpus pasca UIN untuk mendapatkan materi karangan.

Kala menulis kolom ini, saya baru saja menjalani kuliah di program doktoral di UIN Sunan Kalijaga. Tidak ada kata terlambat untuk memulai penulisan di media massa. Kini, mahasiswa S1 sudah terbiasa mengirim karangan ke koran. 

Tuesday, September 02, 2025

Loteng, Kopi, dan Pagi

Salah satu yg menyebabkan Joker mengalami delusi, keyakinan yang tak nyata, adalah keterasingan di kehidupan sosial. Saya ingat lagu Helloween, berjudul If I Knew V Loneliness seems like an evil dream | Reality is life | And life is here. Lagu ini sangat populer kala itu. 

Sayangnya, saya tidak menonton persembahan musik rock Amerika itu ketika pentas di Yogyakarta. Tak apalah, saya justru merawat kegemaran ini dengan tetap menjaga jarak. Imajinasi menggelegak. 

Lalu, bagaimana agar kita  tak terasing? Hiduplah dengan kenyataan di tempat kita tinggal, misalnya dengan berjamaah subuh. Di sini kita bertemu dengan manusia, bukan melalui benda, seperti telepon pintar dan gawai. Betapa menyenangkan kami bercengkerama di teras masjid seusai salat bersama atau mengaji di acara Sarwaan. 

Renungan di atas lahir dari ketinggian loteng, kehangatan kopi, dan kesegaran pagi. Tempat, waktu, dan suasana adalah tempat terjadinya kehidupan yang kita akan nikmati secara kesekarangan, kedisinian, dan kesebeginian.   

Kajian Islam

Dr Dimyati Ahmad menyambut dan memimpin acara diskusi. Sebelumnya, saya telah merasa dekat karena ketua STIU ini sama-sama lulusan Malaysia dan menyelesaikan S3 di Turki. Seronoknya, lelaki asal Pamekasan ini turut membeli buku saya dan meminta tanda tangan. Begitu teruja.

Dr Dimyati mengingatkan polemik kami di koran Republika. Perdebatan ini bermula dari sebuah orasi ilmiah yang disampaikan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi di Gedung Gema Insani, Depok, Jawa Barat, dalam acara syukuran dan pidato ilmiah atas kelulusan doktornya dalam bidang pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malasyia.

Lalu artikel Fahmy dimuat dengan judul "Menyoal Pembaruan Islam" (Republika 28/12/2006), yang didukung oleh “Ismail Fajrie Alatas” (Republika 5/1/2007) dan mendapat tanggapan dari Ahmad Sahidah (Republika 12/1/2007), Al Makin (Republika 19/01/2007) dan yang terakhir Ulil Abshar Abdalla (Republika 25/01/2007).

Kini, orang-orang yang berdebat di koran itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Meskipun mengambil jalan berbeda, kami sejatinya merawat isu yang sama, penyegaran nalar Islam.

Menemukan Kita yang Hilang

Bagaimana seseorang mencapai integrasi batin dalam dunia yang berantakan ini? 

Pertanyaan ini relevan dengan keadaan hari ini. Semakin banyak sekolah, semakin banyak orang tak bijak. Semakin banyak rumah sehat, malah orang sakit bertambah. Semakin banyak tempat ibadah, malah ia hanya diisi oleh orang tua. 

Dengan kekayaan khazanah wawasan baru di bidang psikologi, kearifan yang merentang lintas abad dalam bidang kesusasteraan, filsafat, dan etika, manusia bisa dapat mengatasi krisis pribadi dan akhirnya menemukan dirinya. 

Dari sini, kita bisa menata kembali kata melalui bacaan-bacaan di atas, lalu memeriksa hati. Konkretnya, mari berbaur dgn masyarakat di mana kita tinggal. Tanpa ini, kita kehilangan pijakan. 

Lalu, apa yang perlu digerakkan? Kegiatan keagamaan itu perlu menyelesaikan sampah, saluran air, dll. Malah, setelah sarwaan kemarin, kami membahas pembelian tanah pekuburan dengan usulan iuran Rp 2 juta perkeluarga. Kala betbicara kematian, kita bersedia menjalani kehidupan sepenuhnya.

Jejak Karya

Baru kemarin, saya menemukan tulisan pertama saya di Jawa Pos. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin telah mengkliping tulisan tersebut.  Bahan...