Wednesday, September 27, 2023

Kondangan

Kondangan selawatan dan Maulid di rumah Pak Haji As'adi. Keberkahan itu adalah bertambahnya kebaikan karena sesama bisa saling bertukar sapa dalam suasana kedamaian dan keriangan. Mau kopi atau teh? Saya pilih yang terakhir sebab yang pertama bisa menaikkan tekanan darah. Sekali-kali intermittent fasting dilanggar dengan menikmati makan malam melewati angka 7.

Gambar ini diambil oleh Pak Jasri, anggota selawatan Muhajirin. Di sini, saya bertemu dengan banyak kawan dari Nurul Jadid. Kata Pak Iman, kumpulan ini pernah menjadi obyek penelitian Pak Rojabi. Setelah duduk lama tahlilan, selawatan dan berdiri, kami betul-betul melewati malam dengan syahdu. Setiap individu memiliki imajinasi tentang nabi.


 

Monday, September 25, 2023

Catur dan Jagung

Untuk mengalihkan Zumi dari telepon genggam, saya sering mengajaknya untuk bermain catur. Baru sore ini, penyuka Plants vs Zombies meminta saya untuk beradu cerdik di atas bidak. 

Sambil menikmati jagung rebus lokal, kami memelototi setiap pergerakan. Kini, ia tidak lagi emosional tatkala raja diskak mat. Di sela mengernyitkan dahi, kami pun ngobrol ke sana kemari. 

Sore ini sangat berharga karena kegiatan ini sedikit meninggalkan jejak buah karbon, yakni memutar radio streaming GCD FM Yogyakarta. Kebiasaan untuk mengudap makanan tanpa minyak tentu baik bagi kami. 

Apalagi, jagung tersebut dibeli dari tetangga kampung. Kita telah mengurangi biaya transportasi yang menjadi pemicu polusi dan emisi karbon dibandingkan dengan makanan beku yang disimpan di kulkas. 

 

Sunday, September 24, 2023

Perempuan Mandiri

Ini dunia versus Elizabeth Zott, seorang wanita luar biasa yang bertekad untuk hidup dengan caranya sendiri. ~ Maggie Shipstead

Novel ini dibeli oleh Biyya tatkala mudik ke Yogya. Saya berusaha untuk mengetahui karakter tokoh dan dialog yang mungkin bisa membuka jalan percakapan seorang ayah dan putrinya.

Dari komentar Maggie, kita tahu bahwa perempuan (harus) hidup dengan cara adat atau norma khalayak. Sepertinya, risiko disoal sangat besar bila wanita tak menimbang suara khalayak. 

sebagai remaja putri, Biyya tentu bisa mengambil pesan dari karya ini. Seberbeda apapun dunia perempuan di dunia, ada hal yang mengikat mereka, yakni tunduk pada apa yang dianggap kesepakatan masyarakat.   


Papua itu untuk Semua

Dalam kuliah umum, Pdt Albert Yoku menegaskan bahwa di tanah Papua, setiap bangsa dan agama bisa hidup dengan harmonis. Anda bisa datang untuk membuktikannya. 

Kami, warga kampus, menghadiri kegiatan ini untuk menerima seorang pendeta yang pernah mengepalai persatuan gereja Injili Papua. Tambahnya, dialog antariman diwujudkan dengan kerja sama dalam bidang ilmu dan teknologi. Untuk itu, mahasiswa Universitas Nurul Jadid bisa melaksanaan KKN di bumi Cenderawasih. 

Saya melihat kegiatan ini menunjukkan bahwa isu toleransi tidak lagi dibatasi pada perbincangan titik temu antaragama, tetapi ditekankan untuk mendorong generasi lintas kepercayaan untuk bahu-membahu bekerja untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti akses pada air, pupuk, dan kesehatan. 
 

Wednesday, September 20, 2023

Zumi dan Perjalanan

Ini adalah pengalaman Zumi bepergian jauh untuk pertama kali. Sekolah tempat ia belajar menggelar acara kunjungan ke kebun binatang mini di Jember. Beberapa hari sebelumnya, penyuka cerita Plants vs Zombies ini telah menunjukkan kegembiraan. 

Di hari H, ia bangun dengan mudah. Kami mengantarkannya ke titik berkumpul, pertigaan Paiton. Di sini, ada banyak kawannya yang juga menunggu. 

Dengan jauh dari orang tua, praktis ia dan teman-temannya akan belajar melakukan sesuatu secara mandiri. Selain itu, ia mempraktikkan kecukupan-diri, sebagai prasyarat untuk tumbuh kembang dengan baik. 
 

Kopi dan Buku

Sore kemarin, saya mencicil lagi membaca buku The Wisdom of Frugality. Untuk menaikkan daya, saya membuat kopi dari sachet Oldtown. Kini, saya membatasi asupan air ini karena ia bisa menaikkan tekanan darah. 


Justru, dengan menikmati di waktu dan tempat tertentu, rasa qahwah itu semakin kuat. Tak hanya itu, kopi putih ini memiliki rasa hazelnut, yang menerakan kandungan protein, lemak, karbohidrat, dan gulanya yang berjumlah 10.4 gram, sehingga ada sensasi lain. Meskipun demikian, ada sebagian penggila kopi yang tidak suka campuran.  

Tubuh dan pikiran saling menyangga sehingga asupan kini perlu ditimbang. Semakin menua orang-orang akan lebih sering peka terhadap jenis minuman dan makanan. 

Tuesday, September 19, 2023

Kenikmatan


 Kata pada judul di atas menjadi buruan banyak orang. Dengan merasakannya, seseorang bisa menemukan kesenangan dan kebahagiaan. Salah satu tokoh filsafat yang menjadikan kesenangan sensual adalah Epicurus. Bahkan, lebih jauh, kenikmatan itu dikaitkan sesuatu yang baik. Untuk itu, filsuf tersebut pernah berujar bahwa saya tidak tahu bagaimana saya bisa membayangkan yang baik, jika saya menarik kenikmatan rasa, cinta, pendengaran, dan emosi menyenangkan yang ditimbulkan pada penglihatan dengan bentuk yang indah.

Lalu, adakah kenikmatan itu obyektif? Menurut Jeremy Bentham, semua kesenangan adalah sama baik dalam diri mereka sendiri. Segala sesuatu yang lain dianggap sama, bermain video gim sederhana sama baiknya dengan mendengarkan Beethoven. Sekilas, pandangan tokoh utilitarian tersebut masuk akal. Betapa Zumi, anak saya, begitu asyik bermain gim bola di telepon genggam. Saya pun merasa nyaman tatkala mendengar lagu Für Elise oleh Beethoven.

Namun, John Stuart Mill dalam Utilitarianism mengungkapkan bahwa secara kualitatif ada kenikmatan yang lebih baik daripada yang lain. Perbedaan-perbedaan itu bisa dikuantifikasi, seperti intensitas, seberapa kuat kesenangan itu dirasakan.  Selain itu durasi juga perlu ditimbang, seberapa lama ia berlangsung, dan jarak waktu, yang akan menjadikan sebuah kesenangan berakibat pada keadaan seseorang dalam jangka masa tertentu.

Mengapa Für Elise menyenangkan? Mungkin pada awalnya, saya hanya ikut-ikutan untuk mendengarnya tatkala belajar di universitas. Genre musik ini sering dikaitkan dengan selera berkesenian yang tinggi. Para penggubahnya dianggap sebagai sosok jenius. Tetapi, sekilas ada pendaran ingatan yang hinggap, bahwa saya sangat menikmatinya di sebuah restoran hotel seusai mengikuti undangan seminar gratis. Sambil makan siang dengan banyak menu pilihan, bunyi piano itu memberi latar pada suasana yang sangat menyelerakan.

Ini tak jauh berbeda dengan selawat al-Khushary, qari’ Mesir, yang sering diperdengarkan melalui pelantang masjid sebelum magrib. Dulu, RRI 1 Sumenep akan memperdengarkan pujian tersebut dan takmir masjid kampung memancarluaskan menjelang magrib. Di bulan puasa, bacaan ini menandakan waktu menjelang berbuka puasa. Setiap kali mendengar lantunan tersebut, saya disergap oleh kedamaian.

Betapa kesenangan musikal itu dilatari oleh pengalaman kenikmatan dalam menyantap makan. Suasana makan siang dan berbuka dulu tetap tertanam kuat, sehingga di hari ini saya akan merasakan kesentosaan tatkala mendengar musik dan selawatan. Ajaibnya, kenikmatan ini kadang datang tanpa disangka-sangka. Dulu, setelah antri lama memasuki kapal ferry di Tanjung Perak Surabaya menjelang lebaran, saya masih duduk di bus tatkala badan kendaraan telah memasuki kapal. Tiba-tiba, lagu Syahdu Rhoma mengalun dari pelantang TOA kecil. Rasa penat raib.

Kenikmatan sensual dan artistik tentu berlangsung pada ruang dan waktu tertentu. Sebungkus nasi yang tersedia di kala lapar akan sangat menaikkan selera. Musik klasik dan dangdut terdengar indah jika keadaan tubuh sehat dan pikiran tenang. Pendek kata, semua kenikmatan itu direspons oleh seseorang dalam keadaan khusus, yang satu sama lain berbeda. Habitus atau kebiasaan menjadi salah satu faktor yang penting dalam membentuk selera seseorang.

Namun, Emrys Westacoot, dalam The Wisdom of Frugality (2016) menegaskan bahwa beberapa variasi dalam kenikmatan kita, dalam apa yang kita makan, dengarkan, tonton, baca, kunjungi, dan lakukan, membuat kita tetap dari menjadi bosan karena diulang-ulang. Di sini, kita bisa menimbang saran Ferdinand Pessoa dalam The Book of Disquiet, bahwa kejemuan muncul bukan karena tak ada yang dilakukan. Banyak yang dikerjakan, tetapi tak punya makna. Jadi, semakin banyak yang dilakukan, makin besar rasa bosan. Kita pun sama-sama mafhum bahwa makna akan diraih secara utuh melalui dialektika pengalaman dan pengetahuan.

Sumber: Koran Kabar Madura, 19 September 2023 (Baca di sini: Kenikmatan)

Monday, September 18, 2023

Menemani Anak

Keduanya senang tatkala kami memutuskan untuk mendukung turut serta dalam lomba. Biyya tidak sepenuhnya sehat, namun membayangkan bahwa seusai pertandingan penyuka Aurora ini akan menikmati makan siang di Probolinggo. 

Zumi pun tak menutup kesenangannya, karena seperti tahun yang lalu, ia bisa jalan-jalan lagi apabila lolos di tingkat kabupaten. Setidaknya, keduanya bisa melihat SD Katolik Pius yang terletak tak jauh dari Pondok Pesantren Darul Lughah Wadda'wah. 

Namun, kami membatalkan perjalanan ke kota karena ada perbaikan jembatan yang akan menyebabkan kendaraan mengular karena macet. Untuk mengobati ini, sang ibu membelikan keduanya roti di Happy Cafe. Hidup itu kadang tidak selalu apa yang orang inginkan, tetapi apa yang harus diterima. 


Saturday, September 16, 2023

Memahami Makna

Mengapa everything is running well dalam bahasa kita diterjemahkan dengan segala sesuatunya berjalan dengan baik? Andai kata kita mengucapkan segala sesuatunya berlari dengan baik, apakah mitra bicara kita bisa memahaminya mengingat berjalan dan berlari sama-sama mengandaikan gerak? Pasti, orang tersebut mengerutkan dahi dan mungkin paham apabila penutur menyebutkan persamaan dalam bahasa Inggris-nya.

Frasa itu tentu bisa dipahami bahwa orang Barat melakukan sesuatu lebih cepat dibandingkan kita yang mungkin dipengaruhi oleh alam pikiran dunia Jawa, alon-alon asal kelakon (pelan-pelan, yang penting bisa dikerjakan). Namun, memahami makna tidak semudah dan sesederhana ini. Setiap kata, frasa, dan kalimat membayangkan aspek pengertian, nada, perasaan, dan maksud.

Kedua frasa ini tidak bisa ditekuk bahwa running yang bermakna ’lari’ akan dipahami bersama oleh kedua penutur. Hanya sesuatu itu baik apabila dikerjakan dengan cepat, sementara kita harus menimbang sesuatu dengan cermat dan tidak terburu-buru sehingga sesuatu bisa dikerjakan dengan baik. Pendek kata, terjemahan harfiah itu tidak cukup sehingga pengalihbahasaan secara kontekstual perlu hadir agar kedua bahasa bisa disejajarkan.

Kesejajaran ini tentu menjadi problematik apabila kita memahami kata kunci keagamaan dalam bahasa Arab dari sudut pandang bahasa Indonesia dan Inggris. Lema-lema wahyu, kitab, dan nabi diserap ke dalam bahasa Indonesia, sementara disebut secara berbeda ke dalam bahasa Inggris menjadi revelation, book, dan prophet. Dari sini, kita membayangkan ada perasaan yang berbeda apabila kita menyebut kitab dan buku, karena keduanya dianggap memiliki asal-muasal yang berbeda, yakni dari Tuhan dan manusia.

Surga dan Neraka

Namun, menariknya, penggunaan kata surga dan neraka yang berasal dari bahasa Sanskertaswarga dan narakah, tidak mengusik kita untuk menyoalnya, padahal keduanya berasal dari tradisi agama yang berbeda. Sebenarnya, kata jannah dan nar sebagai padanan juga menimbulkan bunyi yang dianggap gagal menggambarkan imajinasi tentang keduanya apabila disebut dengan kebun dan api. Itu artinya bahwa pemilihan istilah itu terkait dengan konvensi dan arbitrer.

Lagi-lagi, kata kebun dan api tidak serta-merta dipandang sebagai lema yang bermakna dasar saja, tetapi juga relasional, sekaligus medan semantik. Meski demikian, unsur-unsur yang ada pada dua kata ini menggambarkan hubungan yang erat, yakni kebaikan berbuah ketenangan dan kejahatan menyebabkan ketidaknyamanan. Kebun sebagai tempat yang hijau dan udara segar jelas perlambang dari ketenteraman, sementara api yang panas adalah simbol dari kegelisahan dan penderitaan.

Apa pun, apabila orang memahami kata surga dan neraka secara tersirat, ia akan melihat bahwa keduanya adalah ganjaran bagi mereka yang berbuat kebaikan di dunia. Dari sini, kata (word) itu mewakili sesuatu (thing), di mana kata yang terakhir merupakan impian manusia sejagat yang disampaikan dengan tanda yang berbeda. Ketika seseorang bisa menjejaki akar, ia tidak lagi menyoal kata, tetapi merayakan makna.

Sumber: Ahmad Sahidah, opini KOMPAS, 25 Juli 2023 (Lihat di sini: Memahami Makna). 

Friday, September 15, 2023

Salat Jemaah

Para santri menunaikan salat zuhur di masjid pondok. Sejak muda mereka belajar untuk mengenal waktu dengan membiasakan sembahyang bersama. 

Melihat dari dekat, kita bisa melihat bahwa kegiatan ini terkait dengan ibadah dan tarbiyah, pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai, seperti kepatuhan, kedisiplinan, dan kesyukuran. Dalam ide Sartrean, jam salat itu adalah waktu obyektif, yang ditentukan dari luar diri manusia. Namun, secara subyektif, individu bisa memberikan makna yang menjadi penyangga eksistensi seseorang. 

Meninggalkan sejenak rutinitas, dari pelajaran dan aktivitas lain, akan menuntun mereka untuk belajar tepekur dan tenang. Lebih jauh, mereka akan senantiasa mendalami makna ini dengan mengikuti pengajian tasawuf, agar ibadah bukan sekadar memenuhi kewajiban, tetapi juga jalan menunju ketenangan. 

Seni

Ketika rekan-rekan mengambil gambar di pancuran untuk mendapatkan latar menara kembar Petronas, saya berfoto di depan Dewan Filharmonik Petronas. Sejak dulu saya ingin menonton persembahan orkestra di sini, yang dibawakan oleh grup dari luar. 

Sebelumnya, saya pernah menikmati pameran lukisan di Galeri Seni Petronas. Dengan merasakan bunyi dan coretan dari pengalaman orang lain, saya belajar untuk berempati dengan cara orang lain mengungkapkan diri dan perasaannya. 

Namun, sepintas saya tidak menemukan yang asing, sebab sejak kecil cita rasa musik kami telah bersentuhan dengan ekspresi dari banyak penjuru, seperti India, Arab, dan Eropa. Setelah ditelisik, bunyi biola itu sering menyeret saya pada suasana bulan puasa. Ketika hendak mengingatnya secara utuh, saya memasuki labirin. 
 

Spiderman

Saya mendapatkan informasi film ini dari sebuah majalah terbitan maskapai MAS dalam penerbangan dari Surabaya-Kuala Lumpur. Dengan membacanya secara perlahan, saya ingin memahami cerita dari karya yang diadaptasi dari kisah kartun Marvel. 

Dengan demikian, saya bisa membawa oleh-oleh untuk Zumi. Seperti umumnya anak-anak, ia sangat menyukai cerita kepahlawanan. Sebagai orang tua, kita tentu ingin memberikan jalan pada generasi alpha untuk memahami dunia melalui media film. 

Setidaknya, ada materi yang bisa didiskusikan untuk dijadikan cermin apakah kisah lokal, seperti Malin Kundang, masih relevan dengan tantangan baru. Bagaimana pun, alam semesta ini dihuni oleh banyak orang yang memiliki bahasa, budaya, dan selera yang beranekaragam. Namun, tuan dari kita sama saja, yakni kesenangan dan musuh kita adalah penderitaan. 

Thursday, September 14, 2023

Menunggu Rekan

Saya dan Mas Alfi menunggu rekan dari Pondok Pesantren An-Nahdhah, Tanjung Sepat Selangor. Di sini, meskipun begitu banyak orang, suasana tidak riuh dengan bunyi. Sepertinya, semua orang menyampaikan pesan dengan suara rendah. Bahkan, saya tidak mendengar gemerincing sendok meskipun ada warung makan tak jauh dari tempat kami duduk.

Dengan menyesap kopi, kami pun bisa ngobrol dan memelototi media sosial masing-masing. Saya sering membuka akun Twitter untuk mengetahui lini masa. Kadang, mengulang-ulang melihat status dan berita hanya menjadi alasan untuk menghabiskan waktu. Setidaknya, pemerhatian pada prilaku komunikasi di media sosial bisa dipelajari polanya, gelembung saringan atau filter bubble

Selain itu, dari sini kita bisa mengikuti laporan terkini dari isu aktual, seperti tragedi Rempang, Batam. Seraya mengikuti akun @SolidRempang, saya memeriksa alasan warga lokal untuk bertahan di kampung halaman dari kehendak pemodal. Tentu, saya juga menimbang sikap penguasa terhadap kasus tersebut. Setidaknya, melalui microblogging, saya menyatakan sikap bahwa saya bersama warga Rempang.   

 

Tuesday, September 12, 2023

Angkutan

Dari terminal 1 KLIA, Kuala Lumpur, kita bisa menggunakan bus atau kereta api. Dari sini kita bisa pergi ke KLSentral untuk mencari pelbagai moda angkutan ke pelbagai tempat tujuan. Jika terburu-buru, penumpangan bisa memilih KLIA Ekspress yang hanya memerlukan 28 menit, tetapi jika punya banyak waktu luang, bus bisa menjadi pilihan dengan ongkos lebih murah, RM 13 dengan waktu tempuh 1 jam. Bandingkan dengan KLIA Ekspress seharga RM 51!

Saya bersama Mas Alfi menggunakan KLIA Ekpress karena harus menghemat waktu yang terbatas sebab di waktu sore harus kembali ke penginapan. Dalam perjalanan, saya memerhatikan layar yang menyampaikan banyak informasi. Sejauh yang saya lihat, tidak ada iklan yang disiarkan. Ini mungkin karena pengiklan tidak lagi melirik ruangan ini dengan lebih memilih media sosial. 

Di tengah orang tak lagi mengutamakan membaca buku, informasi ini tentu tidak akan menarik perhatian penumpang, senarai buku laris The New York Times. Sepanjang perjalanan, saya tidak melihat orang yang mendaras bacaan. 

Mainan


Mainan Hotwheels sebenarnya bisa dibeli di minimarket Indomaret atau Alfamart. Saya membelinya di toko Toys R Us di lapangan terbang Kuala Lumpur, KLIA 1, seharga RM 49.50. Satu untuk Zumi dan satu lagi untuk sepupunya, Fatih, di Yogyakarta adalah oleh-oleh yang akan menyenangkan. 

Menariknya, Toys R Us yang berasal dari Amerika mengalami jatuh bangun sebagai perusahaan eceran mainan, pakaian, dan permainan video. Setelah mengalami kebangkrutan di negeri asalnya, toko retail ini berdiri kembali pada 2021 di pusat perbelanjaan American Dream, New Jersey. 

Untuk memilih mainan ini, saya menghubungi keluarga di rumah jenis mobil-mobilan yang hendak dipilih. Setelah itu, saya membayarnya di kasir. Dulu, saya juga bermain hal serupa, tetapi menggunakan batu dan bungkus rokok sebagai ganti dari mobil-mobilan bersama dua pupu, Mustaghits, almarhum. 

Ternyata, sesampai di rumah, Zumi membaca tulisan di tubuh mainan made in Indonesia. Namun, tak berumur panjang, ia hanya menyimpannya dan kembali bermain dengan kawan-kawannya di sawah tatkala sore, berlarian atau menaikkan layangan.  

Kehematan

Meskipun secara tata bahasa kita bisa membentuk kata kehematan, namun kita jarang menggunakan lema tersebut, sementara bentukan lain penghematan, kita sering menemukan dan mendengarnya. Pendek kata, dengan imbuhan ke-an, kata dasar hendak dijelaskan sebagai sebuah keadaan untuk tidak boros. Ini terkait dengan gaya hidup frugal, yang telah dipraktikkan oleh sebagian orang.

Dalam The Wisdom of Frugality: Why Less Is More – More or Less, Emrys Westacott mengurai bahwa lebih daripada 2000 tahun yang lalu kehematan dan hidup sederhana telah direkomendasikan dan dipuji oleh orang-orang dengan reputasi karena kearifannya. Para filsuf, nabi, santo, penyair, dan kritikus budaya bersepakat soal ini. Hemat itu baik, dan mewah itu buruk.

Kehematan dan kesederhanaan dikaitkan dengan moralitas karena keduanya terkait dengan keutamaan, kebijaksanaan, dan kebahagiaan. Para penyeru gaya hidup ini mengkritik kemewahan, berlebih-lebihan, materialisme, konsumerisme, workaholisme dan persaingan. Mereka menyodorkan pilihan lain, yakni kemurnian moral, kesehatan spiritual, komunitas, kecukupan-diri dan apresiasi terhadap alam.

Namun, Westacott menyangsikan banyak orang yang tidak pernah setia dengan gagasan tersebut. Kata guru besar filsafat tersebut, banyak politikus yang mencoba untuk terpilih berdasarkan janji tentang kebijakan yang dibentuk oleh prinsip bahwa hidup yang baik adalah hidup yang sederhana. Sebaliknya, para politisi berjanji dan pemerintah berusaha untuk meningkatkan level produksi dan konsumsi masyarakat.

Lalu, apa sebenarnya kehematan itu? Jika dilihat kata Inggris frugal, kata terakhir ini berasal dari kata Latin, frugalis, yang bermakna ekonomis atau berguna.  Untuk itu, kiat kita untuk melaksanakan ide ini adalah hidup dengan biaya murah, yakni mengadopsi gaya hidup yang relatif memerlukan sedikit uang dan menggunakan sedikit sumber daya. Mengapa demikian? Karena orang bijak percaya bahwa gaya hidup seperti ini tidak sulit untuk dicapai, karena kebutuhan dasar sehari-hari sedikit dan mudah didapat.

Kebutuhan yang dimaksud di atas adalah berupa makanan dan minuman untuk dapat hidup dan perlindungan tubuh untuk bertahan, seperti pakaian dan tempat tinggal. Persoalannya di era ini, banyak orang yang tidak lagi memandang keperluan asupan itu sesederhana pemenuhan rasa lapar, tetapi selera, sehingga biaya membengkak, demikian juga cita rasa busana dan kediaman, yang semakin didorong oleh penyesuaian dengan mode terbaru.

Mungkin pada masa klasik, kehematan bisa dilakukan, tetapi kini manusia menyenaraikan banyak kebutuhan yang memaksa merogoh kantong dengan lebih dalam. Kebutuhan dasar hari ini tidak hanya beras, tetapi juga pulsa, demikian juga orang tak lagi menimba air di sumur, tetapi menggunakan pompa listrik sehingga tagihan melonjak. Belum lagi, di masyarakat kita, biaya sosial yang turut menjadi beban pengeluaran tidak memungkinkan untuk berhemat.

Untuk itu, ide Epicurus layak ditimbang, bahwa kehematan itu terkait dengan kecukupan-diri. Lebih jauh, filsuf tersebut menyatakan bahwa “the greatest fruit of self-sufficiency is freedom”. Dengan kebebasan, orang tidak lagi tergantung pada respons liyan terhadap apa yang dimakan, dipakai dan didiami. Demikian pula, ia tidak perlu mengikuti seluruh kegiatan sosial masyarakat yang memerlukan ongkos, bila tidak mampu.

Betapa pun seseorang “wajib” datang tatkala diundang untuk pesta perkawinan, namun ia bisa hadir secara gaib dengan berdoa agar pasangan pengantin dilimpahi keberkahan. Pengharapan ini tentu lebih bernilai dibandingkan uang Rp 50 ribu. Ini adalah salah satu contoh agar seseorang tidak tersandera oleh ongkos yang harus dikeluarkan. Namun demikian, solidaritas sosial tidak dengan sendirinya hilang karena seorang individu hendak hemat.

Ada ruang lain di mana komunitas bisa menghemat dengan mengadakan kegiatan yang tidak memerlukan anggaran. Acara Yasinan pada malam Jum’at di musala atau masjid yang dilakukan secara rutin menunjukkan kesahajaan aktivitas. Di sini, kerelaan dan ketulusan hadir karena setiap orang mendoakan sesama untuk kebajikan semua sebagai wujud kepedulian. Kehadiran masing-masing tidak didorong oleh berkat atau oleh-oleh yang biasanya didapat di kenduri selamatan warga. Tatkala kita melakukan sesuatu bukan karena benda, maka  kita telah memperoleh jiwa dari kehidupan. 

 

Sunday, September 10, 2023

Naik Kereta Api

Dengan menggunakan moda angkutan umum, KLIA Ekspress, kami bisa menjangkau dua titik di Kuala Lumpur tanpa transit. Dengan mengetahui jadual keberangkatan penumpang bisa memastikan kapan bertolak dari satu destinasi ke yang lain. 

Dari KLIA 1, kami memiliki pilihan ke KLIA dan KL Sentral. Dari titik terakhir ini, ada banyak jenis angkot, seperti LRT, monorail, dan KTM. Dulu, di KL Sentral, saya melihat banyak lapak penjual, tetapi kini telah dikosongkan. 

Untuk itu, kami pun menggunakan LRT dari KL Sentral ke KLCC dengan LRT. Kata Mas Alfi, LRT tentu membantu khalayak untuk menggunakan transportasi publik dengan nyaman dan tentu mengurangi jumlah kendaraan yang berlalulalang di jalan raya. 
 

Saturday, September 09, 2023

Kenyataan

What provokes this erosion of reality is our increased awareness of the media’s ability to edit our world, to show us what someone else wants us to see instead of what’s actually there, tulis David R Castillo dan William Egginton dalam Medialogies: Reading Reality in the Age of the Inflationary Media (2017: 9). Kutipan singkat ini seakan-akan menempelak kita yang meyakini bahwa kebebasan media akan mengungkap realitas secara utuh. Padahal media telah menyunting dunita kita, sehingga fakta itu adalah sesuatu yang ingin dilihat oleh orang lain, bukan apa yang sebenarnya terjadi.

Belum lagi, kegandrungan warga internet untuk berselancar di dunia maya yang terdedah pada banyak pandangan justru tidak dengan sendirinya melihat kenyataan secara utuh dan mendalam. Di sini, warga terperangkap pada filter bubble atau "gelembung filter", sebuah istilah yang diciptakan oleh Eli Pariser pada tahun 2011 untuk menggambarkan fenomena di mana algoritma dalam platform media sosial dan mesin pencari cenderung mempersonalisasi konten yang disajikan kepada pengguna berdasarkan sejarah penelusuran, klik, dan preferensi mereka.

Seiring waktu, ini dapat mengakibatkan pengguna terjebak dalam pusaran informasi yang dangkal, di mana mereka hanya terpapar pada sudut pandang, pendapat, dan informasi yang sejalan dengan apa yang mereka sukai atau dengan apa yang mereka setujui. Tak pelak, kita seringkali menemukan gambar, opini, dan cetusan di Facebook, Twitter dan Instagram adalah kepanjangan dari ideologi (baca: perasaan) yang bersangkutan yang serba hitam putih dan tidak bernuansa. Mereka tidak hadir di ruang maya untuk untuk  berdiskusi secara sehat dan terbuka, tetapi memaksakan pendiriannya dan memamerkan keberpihakannya pada satu kelompok, baik tersirat maupun tersurat.

Di era digital, warga semestinya bisa memperoleh lebih banyak sumber pengetahuan dan aliran pemikiran. Alih-alih melihat kenyataan lebih jernih, mereka justru meringkus kenyataan pada satu sisi, seraya menyembunyikan sisi lain. Semisal, dukungan politik pada calon pemimpin telah membutakan warga untuk mencerca calon lawan, padahal kandidat yang dielus-elus juga  memiliki kelemahan yang serupa. Jadilah, realitas yang hendak dibangun itu merupakan arena caki maki bukan diskusi, sehingga kenyataan diselimuti oleh kejahilan.

Ini mengingatkan kita pada metafora gua Plato yang berbicara tentang konsep realitas atau pengetahuan sesungguhnya. Alegori yang digunakan oleh Plato dalam karyanya yang masyhur, Republik, di mana ada sekelompok tawanan yang terkurung dalam sebuah gua sepanjang hidup mereka. Orang-orang ini hanya dapat melihat bayangan-bayangan yang terpancar di dinding gua oleh obyek-obyek yang ada di luar gua. Mereka menyangka bahwa bayangan-bayangan ini adalah realitas sejati karena itulah yang mereka lihat.

Untungnya, salah satu tawanan berhasil melarikan diri dari gua dan menemukan dunia luar yang sesungguhnya, di mana ia melihat matahari dan obyek-obyek yang sesungguhnya. Malangnya, ketika Kembali ke gua untuk menyadarkan tawanan-tawanan tentang realitas sejati, mereka tidak percaya dan menganggap pembawa “obor” itu gila. Mungkin, pembawa cahaya itu perlu lebih banyak orang dan cara agar suaranya didengar di era distraksi ini.

Dalam konteks tersebut, kenyataan mengacu kepada pengetahuan yang diperoleh melalui pemahaman yang mendalam tentang dunia luar, bukan hanya berdasarkan pada bayangan-bayangan yang terlihat di dinding gua. Pandangan ini hendak menegaskan perbedaan dunia nyata (dunia ide atau dunia bentuk yang abstrak) dan dunia yang dilihat oleh panca indera manusia yang terbatas. Semestinya, era sekarang tidak segelap masa Plato karena banyak orang telah memiliki akses informasi pada pelbagai media dan melek huruf pada berbagai pengetahuan. Keterbatasan panca indera bisa diatasi dengan nalar yang berdasarkan fakta dan logika.

Demikian juga kenyataan politik yang hari-hari terakhir ini mewarnai dunia maya dan media. Alih-alih warga menyodorkan tentang realitas perebutan kekuasaan terkait prinsip, yakni penguatan demokrasi, seperti perlindungan hak asasi manusia, dan pemerataan akses ekonomi, semisal pembelaan terhadap warga yang tergencet oleh pemodal, malah mereka terperangkap pada argumentum ad hominem, menguliti isu pribadi tanpa ampun. Andaikata kenyataan politik dihadirkan dalam bentuk yang sejati, tuntutan warga lebih menitikberatkan pada apa yang akan dilakukan oleh pemimpin ketika berkuasa, bukan menjadi pemandu sorak dari setiap calon tanpa hujah kritis. 

 

Mahasiswa UNUJA KKN di Malaysia, Bimbing Anak-Anak Pekerja Migran Indonesia

Kehadiraran gelombang kedua KKN Universitas Nurul Jadid di Malaysia mengukuhkan pengabdian mahasiswa di negara tetangga. Kerja sama UNUJA dengan Pondok An-Nahdhoh merupakan komitmen untuk memberikan pengalaman pada mahasiswa dari kampus yang terletak di Paiton ini berbakti secara nyata dan meraup pengalaman di dunia internasional.

Selama berada di sini, mereka akan membimbing banyak santri dan siswa yang merupakan anak-anak dari pekerja migran asal Indonesia. Dengan belajar di lembaga pesantren, generasi muda itu akan menggali akarnya sendiri dan belajar mengenal teman-temannya yang berasal dari Malaysia dan Thailand. Selain mendapatkan pendidikan formal setara Sekolah Menengah Pertama, mereka juga mendalami karakter tradisional, keterampilan hidup dalam kepramukaan, dan cita rasa berkesenian, seperti selawatan dan hadrah.

Latar belakang para mahasiswa turut mendukung kebutuhan sekolah pondok ini. Diana Putri Prahasti (Pendidikan Matematika), Nabila Firdausyiah (Pendididikan Bahasa Inggris), Hamadah Sahrullah (Teknik Elektro) dan Muhammad Shofa Uzzad Zuhri (Hukum Keluarga) akan menjalani hari-harinya dengan membimbing para santri dalam kegiatan intra dan ekstra sekolah serta mencatat pengalaman ini sebagai refleksi yang akan dibukukan sehingga jejak itu bisa menjadi pelajaran bagi gelombang berikutnya. Lebih jauh, buku ini bermanfaat bagi masyarakat luas.

Setelah 3 minggu, para mahasiswa berhasil beradaptasi karena mereka menghadapi santri yang majemuk. Dalam kesaksiannya, Nabila Firdausyiah menegaskan bahwa pertama kali ia mengalami culture shock sebab kakak angkatannya menceritakan kesulitan untuk mengendalikan kelas. Tetapi sejalan dengan perjalanan pengabdian, perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini melihat siswa tak lebih dari remaja yang sedang mencari jati diri.

Tak hanya itu, Nabila menambahkan bahwa mereka adalah anak-anak yang polos dan jujur serta bertanggungjawab. Mereka menerima kehadiran mahasiswa dengan santun dan kehangatan. Bagaimanapun, anak-anak itu tumbuh di lingkungan yang berbeda dengan tanah kelahiran orang tuanya. Ada banyak sumber nilai yang mereka terima dalam perkembangannya sebagai remaja.

Tentu, kesungguhan UNUJA membuka jalan pada calon lulusannya ditunjukkan dengan kehadiran rektor, KH Abdul Hamid Wahid, M.Ag dalam tausiyah pada cara silaturahmi dan monitoring MBKM Santri Mengabdi Internasional yang berlangsung di aula pondok, 4 September 2023. Mahasiswa tidak lagi berada di zona nyaman dengan mengabdi di daerah yang telah dikenal, tetapi meneroka pengalaman asing yang akan meluaskan cakrawala global kaum terpelajar (Anda juga bisa membacanya di sini: KKN UNUJA di Malaysia

Saturday, September 02, 2023

Mie Ayam di Wapo

Kemarin, seusai jum'atan, saya dan isteri menikmati makan siang di Wapo. Mie ayam, es jeruk, es campur dan krupuk betul-betul memenuhi selera di tengah siang yang terik. Warung makan ini begitu dekat dan tampak dari rumah. 

Sekali-kali kami menikmati waktu berdua dengan makan di luar sementara Biyya dan Zumi masih berada di sekolah. Kadang ada masa bersama, lain waktu kami menjalani dunia masing-masing. 

Di sela-sela ini, kutipan menarik dari buku yang dibawa ke meja adalah apa yang kita lihat dan bagaimana kita melihatnya mengubah pemahaman kita terhadap peran kemanusiaan di dunia ini (hlm. 101). Buku Christian Madsbjerg layak diulik. Dari judul Look: How To Pay Attention in A Distracted World, kita bisa membayangkan bahwa perhatian kita mudah pecah karena dunia terkoneksi sering mengganggu konsentrasi.  

 

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...