Meskipun
secara tata bahasa kita bisa membentuk kata kehematan, namun kita jarang menggunakan
lema tersebut, sementara bentukan lain penghematan, kita sering menemukan dan
mendengarnya. Pendek kata, dengan imbuhan ke-an, kata dasar hendak dijelaskan
sebagai sebuah keadaan untuk tidak boros. Ini terkait dengan gaya hidup frugal,
yang telah dipraktikkan oleh sebagian orang.
Dalam
The Wisdom of Frugality: Why Less Is More – More or Less, Emrys
Westacott mengurai bahwa lebih daripada 2000 tahun yang lalu kehematan dan
hidup sederhana telah direkomendasikan dan dipuji oleh orang-orang dengan
reputasi karena kearifannya. Para filsuf, nabi, santo, penyair, dan kritikus
budaya bersepakat soal ini. Hemat itu baik, dan mewah itu buruk.
Kehematan
dan kesederhanaan dikaitkan dengan moralitas karena keduanya terkait dengan keutamaan,
kebijaksanaan, dan kebahagiaan. Para penyeru gaya hidup ini mengkritik
kemewahan, berlebih-lebihan, materialisme, konsumerisme, workaholisme dan
persaingan. Mereka menyodorkan pilihan lain, yakni kemurnian moral, kesehatan
spiritual, komunitas, kecukupan-diri dan apresiasi terhadap alam.
Namun,
Westacott menyangsikan banyak orang yang tidak pernah setia dengan gagasan tersebut.
Kata guru besar filsafat tersebut, banyak politikus yang mencoba untuk terpilih
berdasarkan janji tentang kebijakan yang dibentuk oleh prinsip bahwa hidup yang
baik adalah hidup yang sederhana. Sebaliknya, para politisi berjanji dan pemerintah
berusaha untuk meningkatkan level produksi dan konsumsi masyarakat.
Lalu,
apa sebenarnya kehematan itu? Jika dilihat kata Inggris frugal, kata
terakhir ini berasal dari kata Latin, frugalis, yang bermakna ekonomis
atau berguna. Untuk itu, kiat kita untuk
melaksanakan ide ini adalah hidup dengan biaya murah, yakni mengadopsi gaya
hidup yang relatif memerlukan sedikit uang dan menggunakan sedikit sumber daya.
Mengapa demikian? Karena orang bijak percaya bahwa gaya hidup seperti ini tidak
sulit untuk dicapai, karena kebutuhan dasar sehari-hari sedikit dan mudah didapat.
Kebutuhan
yang dimaksud di atas adalah berupa makanan dan minuman untuk dapat hidup dan
perlindungan tubuh untuk bertahan, seperti pakaian dan tempat tinggal. Persoalannya
di era ini, banyak orang yang tidak lagi memandang keperluan asupan itu sesederhana
pemenuhan rasa lapar, tetapi selera, sehingga biaya membengkak, demikian juga
cita rasa busana dan kediaman, yang semakin didorong oleh penyesuaian dengan mode
terbaru.
Mungkin
pada masa klasik, kehematan bisa dilakukan, tetapi kini manusia menyenaraikan
banyak kebutuhan yang memaksa merogoh kantong dengan lebih dalam. Kebutuhan dasar
hari ini tidak hanya beras, tetapi juga pulsa, demikian juga orang tak lagi
menimba air di sumur, tetapi menggunakan pompa listrik sehingga tagihan
melonjak. Belum lagi, di masyarakat kita, biaya sosial yang turut menjadi beban
pengeluaran tidak memungkinkan untuk berhemat.
Untuk
itu, ide Epicurus layak ditimbang, bahwa kehematan itu terkait dengan
kecukupan-diri. Lebih jauh, filsuf tersebut menyatakan bahwa “the greatest
fruit of self-sufficiency is freedom”. Dengan kebebasan, orang tidak lagi tergantung
pada respons liyan terhadap apa yang dimakan, dipakai dan didiami. Demikian pula,
ia tidak perlu mengikuti seluruh kegiatan sosial masyarakat yang memerlukan
ongkos, bila tidak mampu.
Betapa
pun seseorang “wajib” datang tatkala diundang untuk pesta perkawinan, namun ia
bisa hadir secara gaib dengan berdoa agar pasangan pengantin dilimpahi
keberkahan. Pengharapan ini tentu lebih bernilai dibandingkan uang Rp 50 ribu. Ini
adalah salah satu contoh agar seseorang tidak tersandera oleh ongkos yang harus
dikeluarkan. Namun demikian, solidaritas sosial tidak dengan sendirinya hilang
karena seorang individu hendak hemat.
Ada
ruang lain di mana komunitas bisa menghemat dengan mengadakan kegiatan yang
tidak memerlukan anggaran. Acara Yasinan pada malam Jum’at di musala atau
masjid yang dilakukan secara rutin menunjukkan kesahajaan aktivitas. Di sini, kerelaan
dan ketulusan hadir karena setiap orang mendoakan sesama untuk kebajikan semua
sebagai wujud kepedulian. Kehadiran masing-masing tidak didorong oleh berkat
atau oleh-oleh yang biasanya didapat di kenduri selamatan warga. Tatkala kita
melakukan sesuatu bukan karena benda, maka kita telah memperoleh jiwa dari kehidupan.