Saturday, August 28, 2010

4 Hari


4 hari setelah kejadian penangkapan 3 petugas Dinas Kelautan dan Perikanan oleh polisi laut Malaysia, suasana kedua negara serumpun ini tak bergolak. Profesor Malaysia dan ketua Persatuan Pelajar Indonesia se-Malaysia tampak akrab setelah upacara penurunan bendera di Konsulat Jalan Burma. Keduanya tentu tak ingin hubungan dua negara ini terus memanas. Apatah lagi, hampir semua elit kedua negara telah merespons. Bagaimanapun, orang kecil segera menuai nestapa untuk pertama kali. Jika ini dibiarkan, hal yang terburuk akan meluap. Bak kata pepatuh, dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah.

Herannya, hiruk pikuk ini dipicu oleh ulah segelintir orang yang mengatasnamakan Lumbung Informasi Rakyat. Pak Dolok, teman saya, menyebutnya performing arts yang berlebihan. Belum lagi komentator yang bersuara nyaring, sehingga membuat suasana seakan-akan sudah genting. Padahal pemimpin kedua negara berusaha untuk mencegah perseteruan ini berubah anarki. Tanda-tanda mulai bersemai di Indonesia dengan adanya 10 posko pengerahan masyarakat dalam bela negara. Anehnya, mantan KASAL turut mendukung keberadaan posko ini.

Tentu, yang tak bisa dipinggirkan peran Metro TV yang berhasil membangkitkan amarah orang ramai dengan berita-berita provokatif dan sensasional. Kalau mau disimak, headline news televisi swasta milik Surya Paloh cenderung melemahkan SBY. Tak ayal, ini dianggap cara bos Media Indonesia untuk menampilkan citra sebagai tokoh alternatif yang gagah dan berani, paling tidak seperti Soekarno. Tapi, gaya retorika Pak Karno dan Pak Surya jauh berbeda. Yang pertama bisa membakar dan yang terakhir tak begitu meyakinkan.

Thursday, August 26, 2010

Kawan Baik


Kawan baik itu sesederhana kita mau bertegur sapa dengannya seraya tak lupa menyunggingkan seulas senyum. Tak perlu berpanjang-panjang kata, sambil lalu kadang perlu menyapa, ke mana Mas atau Pak, lalu Anda mengasyiki dunia. Gambar di atas menunjukkan kawan-kawan baik yang sedang bersiap-siap mengikuti ceramah agama oleh Ustaz Alwi Alatas di Masjid al-Ittifaq, Sungai Nibong Kecil.

Hakikatnya, manusia sedang berjuang untuk memenuhi keperluan pribadinya, namun jika mereka ingin mengubah hidupnya lebih bermakna, kebersamaan itu akan meringankan beban yang ada di pundaknya, tanpa harus membuat orang lain merasa digelayuti, atau diam-diam tak enak karena kehadiran Anda membuatnya tak nyaman, tapi terpaksa diterima. Apa boleh buat? Toh, akhirnya Anda akan kembali ke dunianya masing-masing bersama keluarga terdekat. Namun, Anda tak akan bersembunyi, karena selain isteri atau suami, Anda juga memerlukan kehadiran orang lain untuk menyempurnakan hidup yang fana ini. Itulah kawan baik.

Wednesday, August 25, 2010

Sengketa Kedaulatan Indonesia-Malaysia


Jawa Pos, 25 Agustus 2010
Hentikan Drama Itu!




Oleh: Ahmad Sahidah

UTUSAN, koran utama Malaysia, menurunkan berita utama dan gambar pelemparan kotoran ke halaman Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta (24/8/10), yang dianggap keterlaluan. Di Twitterland, Khairi Jamaluddin, ketua pemuda UMNO (United Malays National Organisation) akan melayangkan protes ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atas tindakan Lumbung Informasi Rakyat (Lira) yang dianggap menggugat kedaulatan tanah airnya.

Tampak, Malaysia ingin mengimbangi serangan bertubi-tubi dari masyarakat Indonesia dengan memberikan ruang pada media yang sebelumnya cenderung menganggap remeh masalah perselisihan di Pulau Bintan. Pada waktu yang sama, Lira berhasil mencuri perhatian banyak orang, terutama warga Malaysia.

Mari kita berpikir jernih. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa batas perairan itu masih dipersengketakan, sehingga dengan sendirinya dimungkinkan terjadi benturan antara aparat di bawah. Sebab, bagaimanapun, mereka akan mematuhi garis pedoman yang telah ditetapkan atasannya. Namun, perlu diingat bahwa ada kesepakatan di antara kedua belah pihak melalui General Border Committee ke-37 bahwa aturan keterlibatan tentara (the rule of engagement) sebatas mengawal keadaan sehingga bentrokan senjata harus dihindari. Pendek kata, kekerasan tidak dibenarkan sama sekali untuk menyelesaikan perselisihan di lapangan.

Lalu, mengapa banyak orang marah? Itu karena mereka tidak mengerti. Kedua, mereka sedang memainkan pedang bermata dua, menyerang Malaysia dan kelemahan pemerintah, terutama karena SBY dianggap tidak tegas menghadapi tetangganya.

Kompromi

Dalam perselisihan, kompromi adalah jalan keluar yang mungkin dilakukan. Jika Indonesia menganggap Malaysia enggan ke meja ke perundingan, negeri jiran beranggapan bahwa RI tidak mau berkompromi dalam banyak isu, seperti moratorium tenaga kerja wanita (TKW), Ambalat, dan sekarang terkait wilayah perairan Selat Malaka. Padahal, instrumen untuk menyelesaikan ini sudah disepakati oleh kedua belah pihak, seperti tim kementerian luar negeri masing-masing telah berunding mengenai Ambalat. Hingga memasuki tahun keenam, kedua tim ini mengalami jalan buntu untuk menyelesaikan konflik tentang kepemilikan blok yang kaya minyak itu.

Jadi, usul untuk mengajak kedua belah pihak berunding agar perselisihan batas perairan tidak meruyak akan menghadapi masalah yang sama, kebuntuan dan ini sekaligus kegagalan keduanya. Coba lihat moratorium TKW untuk sektor pembantu rumah tangga (PRT), yang bahkan melibatkan orang nomor satu masing-masing, SBY-Najib Tun Razak, tak juga bisa menyelesaikan tuntutan Indonesia agar gaji minimum PRT adalah RM 800, sedangkan Malaysia tidak menyetujui dengan alasan tidak ada skim seperti ini di Malaysia.

Tampaknya, hal serupa terulang. Ketika dulu banyak pekerja Indonesia dipulangkan karena tidak mempunyai dokumen, sehingga pemerintah RI gusar, Malaysia mengambil kebijakan alternatif. Alih-alih menyelesaikan masalah, pada waktu itu Malaysia justru memasukkan pekerja dari negara lain, seperti Pakisan, Bangladesh, dan negara-negara tetangga yang lain karena Indonesia tidak memberikan izin pekerja migran itu kembali ke Malaysia.

Orkesta dan Drama

Tentu, yang paling memuakkan kita adalah orkestra yang dimainkan anggota legislatif yang bersuara keras terhadap masalah sengketa yang membelit kedua negara. Tanpa memberikan informasi yang utuh, drama yang tidak lucu akan terus dipanggungkan. Perlu diingat, anggota parlemen Malaysia tidak menjadikan isu penangkapan nelayan Malaysia oleh petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai masalah besar. Justru, setelah Lira melempar kotoran (di Malaysia disebut najis) ke halaman Kedutaan Besar Malaysia, anggota parlemen dari daerah pemilihan Rembau, Khairi Jamaluddini, mengirimkan protes ke KBRI di Kuala Lumpur.

Lalu, apakah harapan kita kepada pihak berwenang, dalam hal ini Marti Nata Legawa sebagai bos di Kementerian Luar Negeri? Persoalan batas perairan itu harus segera diselesaikan. Dalam wawancara dengan radio SBS Australia (24/8/10), saya menegaskan bahwa sejatinya kita bisa menyelesaikan masalah ini, mengingat elite yang berkepentingan dengan isu kedaulatan sama-sama berlatar belakang Jawa, Purnomo Sugiantoro (Indonesia) dan Ahmad Zahid Hamidi (Malaysia, yang mempunyai darah Jogjakarta). Mungkin yang juga perlu diketahui, beberapa hari setelah insiden Pulau Bintan, Hanifah Aman, menteri luar negeri Malaysia, memenuhi undangan Da'i Bachtiar dalam acara peringatan HUT Ke-65 Kemerdekaan RI di Kuala Lumpur. Betapa dekatnya hubungan emosional itu.

Nah, kalau para elite tampak rukun, untuk apa anggota legislatif suka ribut dan sebagian warga Indonesia bertindak provokatif merusak plak Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said, bahkan yang memuakkan dengan melempar kotoran? Malah Laskar Merah Putih berdemo di depan konsulat Malaysia di Medan seraya mengancam akan melakukan sapu (sweeping) terhadap warga dan mahasiswa Malaysia di Sumatera Utara (Antara, 23/8/10). Jelas, drama pengalihan isu ini makin sempurna. Tampaknya, tak hanya wakil rakyat yang galak, warga biasa pun menunjukkan sikap patriotik.

Sayangnya, polisi tak bertindak tegas. Berbeda dengan ketika kelompok Islam di Solo akan melakukan sweeping, serta merta pihak keamanan menangkap pelaku yang akan merazia warga Amerika. Jadi, mari hentikan drama ini dan menuntut pihak berwenang melakukan tugasnya. Jika tidak, demokrasi kita gagal memilih wakil di Senayan dan pemerintah yang bisa menunaikan kewajibannya dengan baik. (*)

*) Ahmad Sahidah PhD, Fellow Peneliti Pascadoktoral Universitas Sains Malaysia

Monday, August 23, 2010

Tafsir Hierarki Tiang Islam

Koran Jakarta, Jumat, 20 Agustus 2010

Pemerintah berusaha menambah kuota haji Indonesia. Tentu ini kabar gembira karena di tempat kelahiran saya, Sumenep, hingga 2015, kuota haji telah terpenuhi sehingga banyak orang berharap-harap cemas untuk bisa menunaikan ziarah Mekkah segera. Berapa pun tambahan itu, haji merupakan penanda banyak hal, kemakmuran dan kesadaran beragama. Namun, catatan antropologi tentang haji menunjukkan tidak melulu tentang dua hal tersebut, tetapi juga gengsi sosial.

Dalam sejarahnya, praktik ini juga telah mendorong kemerdekaan bangsa dengan menyuburkan gerakan melawan penjajah. Haji hakikatnya merupakan salah satu dari fondasi Islam yang dikenal dengan lima rukun atau tiang, selain kepercayaan pada Tuhan, salat, zakat, dan puasa. Setiap muslim bisa dipastikan menghafal urutan ini, bahkan anak-anak diajarkan dalam bentuk nyanyian. Secara verbal, ia mudah dipahami, namun penghayatan terhadap dasar ini memerlukan pemahaman yang menyeluruh.

Pelaksanaan kelima rukun secara sambil lalu hanya akan melahirkan kerumunan penganutnya. Pembelaan terhadap tiang agama ini kadang bersifat karikatif, bukan substantif. Sekelompok orang membawa bendera bertuliskan syahadat, tapi kepada sesama muslim menghujat. Hakikatnya rukun Islam tersebut sangat sederhana, mudah diucapkan, namun tak sesederhana mengamalkan setiap hari dengan sempurna.

Secara semantik, salat di kitab suci dikaitkan dengan kepedulian terhadap sesama, sehingga sembahyang itu bisa menjadi sia-sia jika pelakunya tak menyantuni fakir miskin dan merawat anak yatim.Mungkin inilah yang menyebabkan salat tidak dikatakan salat karena ia tidak bisa mencegah pelakunya berbuat kemungkaran. Bagaimana tidak, ketika ratusan ribu orang berbondong-bondong ingin mencapai pahala berlipat dengan bersembahyang di Masjid Nabawi, jutaan orang menanggung nestapa di negeri asal karena tak cukup makan dan tempat tinggal.

Perhatian tertinggi dalam agama, atau the ultimate concern, jelas seorang teolog Karl Rahner, adalah Tuhan. Akibatnya, hal ihwal lain berada di urutan setelahnya. Pendek kata, Tuhan adalah fokus tertinggi. Secara semantik, tambah Toshihiko Izutsu, sarjana kajian Islam Jepang, Allah merupakan kata yang berada di kedudukan tertinggi di antara kata-kata kunci dalam kitab suci.

Namun, kadang pernah tebersit pada benak kita bahwa Tuhan itu hanya instrumen untuk memenuhi kehendak-kehendak lain dalam keseharian, misalnya perolehan kekayaan dan jabatan. Bahkan doa-doa kita melulu berisi permintaan harta dan pemenuhan hasrat. Lalu, setelah aqidah kokoh, seorang muslim menunjukkan secara simbolik melalui salat. Tak hanya itu, meski salat menjadi ruang batin antara manusia dan Tuhannya, ia juga didorong untuk menjadi perekat sosial.

Ternyata, ibadah itu makin jelas fungsi sosialnya, bukan untuk Tuhan. Karena ia mahakaya, zakat dianjurkan untuk menyucikan harta dan keprihatinan terhadap si miskin.Kewajiban ini selalu bersanding dengan perintah salat sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan, seakan-akan dua sisi koin. Nilainya mengandaikan masing-masing harus menyatu.

Bahkan ketika zakat ditunaikan , puasa sebagai kewajiban selanjutnya mengandaikan satu perintah yang muslim untuk merasakan lapar agar terhadap sesama selain sebagai cara untuk menguatkan diri, bersabar menghadapi cobaan, dan berani menerima tantangan. Sayangnya, aura keagamaan yang memancar di bulan puasa tak terasa di luar Ramadan. Masjid dan surau kembali dibekap sepi. Tadarus Al Quran berhenti. Sebelas bulan setelah puasa, kembali pada perayaan hasrat. Padahal nilai puasa yang tak merembesi bulan-bulan di luar Ramadan menandakan puasa sebelumnya hanya meraih lapar dan dahaga. Masihkah kita abai?

Keserentakan

Jika urutan itu dipahami sebagai hierarkis, haji merupakan pamungkas dari seluruh nilai yang terkandung dalam aqidah, salat, zakat dan puasa. Rukun kelima itu merayakan semua ajaran yang telah terpatri kuat sehingga kewajiban ini tidak semata-mata pemenuhan hasrat gengsi sosial, seperti disinyalir antropolog di atas. Lebih jauh, pelaksanaan haji juga menuntut kesungguhan pemerintah untuk bertindak profesional dalam mengurus jamaah. Bagaimanapun, kenyamanan beribadah mengandaikan hal lain, selain pengetahuan dan pelayanan.

Ini juga meneguhkan bahwa ibadah itu tidak semata-mata merawat batin, tetapi juga raga. Tanpa tubuh yang sehat, jamaah tidak mungkin memenuhi menjalankan sa i, tawaf, dan jumrah dengan sempurna. Meski demikian, jauh dari sekadar memenuhi syarat dan rukun haji, makna dari pelaksanaan ibadah ini juga perlu diperhatikan secara mendalam. Berkaca pada negara tetangga yang berhasil mengelola Tabung Haji dalam pelbagai kegiatan bisnis dan akhirnya membantu meningkatkan pelayanan haji, pihak pengelola haji Tanah Air segera berbenah diri. Dengan biaya lebih murah dibandingkan Indonesia, Malaysia ternyata memberikan pelayanan yang lebih bermutu. Celakanya, selalu ada tangan kotor dalam pelaksanaan haji yang dikelola Departemen Agama. Bagaimanapun, di tengah gairah melakukan haji, ulama harus menyampaikan kepada umat tentang pesan esoterik ibadah haji.

Pengalaman Hamzah Fansuri, seorang sarjana dan sufi Aceh, yang menemukan Tuhan tidak di Ka’bah, bukan berarti Sang Maha Segala itu tidak ada situ, sejatinya Dia ada di mana-mana. Coba simak puisi yang diungkap dalam Sidang Ahli Suluk: Hamzah Fansuri dalam Mekkah// Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah// dari Barus ke Qudus terlalu payah//akhirnya jumpa di dalam rumah. Bagaimanapun, dimensi batin dalam Islam yang dipelopori oleh para selalu mengundang kontroversi dan paling apes tak jarang diberangus penguasa yang bersekongkol dengan pengawal agama, seperti dialami oleh para pengikut Hamzah Fansuri.

Haji, dengan demikian, boleh dikatakan sebagai puncak dari perjalanan muslim dalam memenuhi kewajibannya sebagai makhluk. Kehendak untuk menunaikan fardu ain ini sejatinya memaksa muslim memeriksa empat rukun sebelumnya. Kalaupun sudah bergelar haji, mereka tetap harus memperbarui tekad dan amal agar makna sejati haji itu terpatri, yaitu melalui ibadah yang bisa merekatkan hubungan sosial. Keserentakan nilai yang terkandung dalam rukun Islam tersebut adalah cara ideal untuk menjadi muslim sejati.

Penulis adalah Fellow Peneliti Pascadoktoral pada Universitas Sains Malaysia
Ahmad Sahidah

Sunday, August 22, 2010

Angka dan huruf


Saya pun hanya menganggukkan kepala. Dokter dan perawat tentu lebih tahu.

Kuasa dan Pengetahuan

Sangkar itu berisi buku. Secara simbolik, buku-buku itu dilepaskan dari sangkar, pertanda pengetahuan harus dibebaskan dari kekukasaan yang zalim. Pengetahuan harus dilawan dengan pengetahuan, bukan kuasa yang congkak. Mungkin itulah maksud dari tata-panggung dengan pernak-pernik itu.

Thursday, August 19, 2010

Say No to Polystyrene


Gambar ini diambil dalam perjalanan pulang dari kampus. Mereka meneriakkan kata Say No To Polystyrene! Apakah Anda juga ingin melakukannya?

Monday, August 16, 2010

Mengaji Lagi


Anak kecil ini bersama kawan-kawannya acapkali hadir di pengajian mahasiswa Indonesia di Masjid Kampus Khalid. Kadang diam, tetapi mereka sering berlarian dan berceloteh. Tentu, kehadiran mereka kadang mengganggu jalannya pengajian. Tapi, tak ada anggota jamaah menyergah mereka, karena tak lama kemudian orang tuanya membawanya membawa menjauh dari majlis. Malah, diam-diam kami menikmati keadaan seperti ini, karena mereka hakikatnya juga belajar dengan caranya yang khas.

Indonesia Baru


Seraya mengutip lagu Pemilu Rhoma Irama, saya menyisipkan apa yang harus dilakukan untuk membuat Indonesia lebih baik, di antaranya mengamalkan aturan permainan (a rule of the game),menyuburkan kejujuran (transparency) dan keadilan untuk semua (Justice for all).

Inilah sekelumit pernyataan yang diselipkan dalam slide yang sempat diterakan pada malam Syukuran Wisuda Mahasiswa Indonesia di Universitas Sains Malaysia pada 5 Agustus 2010 di Dewan Utama Restu Tekun Saujana. Ada banyak gambar yang diambil untuk memperlihatkan betapa bencana kemanusiaan itu bisa menyergap siapa saja dan di mana saja. Namun pada waktu yang sama, jalan keluar itu bisa ditemukan.

Acara yang dihelat PPI-USM ini tak hanya menggelar penghargaan pada mereka yang telah lulus, tetapi juga persembahan angklung yang menyanyikan tentang negeri yang dirindukan itu. Sebagai pembuka, ia menggugah hadirin. Sebelumnya, bacaan ayat suci al-Qur'an dan doa telah membuat suasana sahdu. Tak lupa, pembina organisasi ini, Prof Madya Anton Abdul Basah Kamil turut memberikan pesan untuk mahasiswa. Tentu, karya multimedia yang menampilkan pesan-kesan mahasiswa terhadap teman-teman yang diwisuda menimbulkan keharuan. Apakan tidak, seorang mahasiswa lelaki terisak-isak, yang justeru memantik tawa penonton waktu itu. Alamak! Kelucuan itu hadir di atas tangisan.

Pelajar Itu Menikmati Matahari

Hanya pelajar dari Eropa yang mau berpanas-panas sambil membaca. Memang matahari belum naik di atas kepala, tetapi jam 10-an, sengatannya bisa membuat kulit kebanyakan orang perih.

Sunday, August 15, 2010

Fatimah Busu

Wanita berkerudung putih adalah Dr Fatimah Busu. Beliau penulis novel terkenal Salam Maria: Inilah Maria Zaitun dan Tuhan Kekasihnya. Ada aura kesederhanaan yang terpancar dari wajahnya. Novelis ini juga memberikan kesaksian tentang Si Burung Merak.

Pak Samad & Putu


Dua penyair hebat sedang tersenyum.

Friday, August 13, 2010

Panitia Malam WS Rendra


Panitia Malam Baca Puisi WS Rendra dan mahasiswa Indonesia yang sedang berpose setelah acara pembacaan puisi si Burung Merak usai. Oh ya, lelaki berbaju hitam dan berambut gondrong itu adalah Lim Swee Tin, pendeklamasi yang turut merayakan almarhum di Dewan Budaya Universiti Sains Malaysia. Sungguh seronok malam itu!

Thursday, August 12, 2010

Sudut Unik Perpustakaan

Gedung perpustaan baru Hamzah Sendut menampilkan warna-warna berani.

Teman Baik



Mas Heri dan Pak Supri sedang berdiri untuk menerima penghargaan dari PPI USM karena telah menyelesaikan kuliahnya di kampus dalam taman. Di sebelahnya adik-adik S1 yang juga mendapatkan hal yang serupa.

Wednesday, August 11, 2010

Kesadaran Lingkungan Lestari

Jangan membuang sampah sembarangan bukan hanya memerhatikan tempat sampah, tetapi juga memilih tempatnya untuk jenis sampah, basah, kering, pecah belah, kertas dan lain-lain. Namun, kita acapkali mencampur aduk untuk tak membuat repot. Padahal keabaian ini akan merepotkan orang lain dan proses daur ulang (recycle). Ketergesaan membuat kita repot di kemudian.

Tuesday, August 10, 2010

Membaca al-Qur'an Bersama



Membaca al-Qur'an bersama di masjid kampus mungkin tak sama dengan apa yang diandaikan oleh Susan Kennel Harrison, Kandidat Doktor di Toronto School of Theology, Koran Tempo, 10 Agustus 2010, dalam artikelnya berjudul "Membaca Kitab Suci Bersama", yang melibatkan pelbagai penganut agama, Kristen, Yahudi dan Muslim. Namun, sama saja, mereka sejatinya sedang menyemai iman dalam lingkaran kecil, sementara para sarjana acapkali ingin membandingkan dengan kelompok di luar dirinya. Tak perlu merasa lebih dari yang lain.

Di dalam gambar di atas, mereka sedang mengurai mengapa kita rugi jika tak mengingat Alqur'an. Sang ustaz, Mohd Yasir Yusuf, dengan lugas memaparkan ayat-ayat yang menjelaskan tema itu. Jauh dari sekadar menguras tenaga menggunakan analisis ilmiah, pertemuan semacam ini menautkan mahasiswa dengan sesama rekan, para pekerja migran dan tentu merawat kebersamaan yang acapkali tersandera oleh kepentingan sesaat. Sebagai tambahan, seorang lelaki berambut keriting dan memakai baju koko putih adalah Rizki yang baru sampai ke kampus untuk melanjutkan jenjang master dalam bidang film. Ia tak perlu waktu lama untuk segera larut dalam kegiatan mahasiswa.

Tentu, hal serupa dituntut pada mahasiswa lain agar meluangkan waktu, duduk bersama, mencari makna dari huruf-huruf yang diterakan dalam kitab suci. Tak seperti kumpulan para sarjana yang berdiskusi dengan sengit, mereka datang untuk mendengar dan mendapatkan kesempatan untuk bertanya. Nah, inilah potret sesungguhnya dari sebagian besar umat Muslim di Indonesia. Sayangnya, para intelektualnya tak sempat menyaring apa yang harus disampaikan pada mereka. Alih-alih menentramkan, pendapatnya acapkali membuat banyak orang awam bingung dan dirundung keraguan. Bisa jadi hal ini terjadi karena media secara tidak sadar mewartakan isu kontroversial, yang sepatutnya berpusar pada segelintir orang. Apa lacur, dunia maya membuat informasi tak bisa dihalang untuk diasup oleh siapa saja. Salah siapa?

Monday, August 09, 2010

Sudut dan Waktu


Kita hanya memerlukan sudut pandang dan waktu agar suasana itu menyenangkan. Lalu, setelah berubah kita mencari momen yang lain. Selalu begitu, bukan?

Sumber: Mahardika, Jakarta.

Sunday, August 08, 2010

Menjelang Ramadhan


Untuk menyambut Ramadhan, PPI-USM (Persatuan Pelajar Indonesia), Forkommi (Forum Komunikasi Masyarakat Muslim Indonesia di Malaysia, IPMI (Ikatan Pekerja Muslim Indonesia) melaksanakan acara tarhib di Masjid Al-Ittifaq, Sungai Nibong Kecil, Pulau Pinang. Tentu, kegiatan dua hari menjelang puasa merupakan peristiwa penting karena warga Indonesia, mahasiswa, pekerja dan warga keturunan bisa merajut kembali silaturahmi. Hal lain bahwa kegiatan ini bisa dilakukan di masjid lokal, petanda terdapat kedekatan emosional dalam banyak hal di antara kedua warga negara.

Sebagaimana layaknya kegiatan lain, jamaah mendengar beberapa kata sambutan, lalu disusul dengan tilawah al-Qur'an yang dilantunkan oleh Dede Suparna, pekerja Indonesia, dan kemudian acara pembacaan shalawat yang dibawakan dengan indah oleh para pekerja perempuan asal Indonesia. Pada detik tersebut, saya betul-betul hadir karena bacaan pujian terhadapa sang Nabi menyeret saya ke kampung halaman. Acara inti adalah pesan-pesan agama tentang pentingnya berpuasa yang dikaitkan dengan kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional. Aspek ini memperlihatkan pada hadirin bahwa kecerdasan emosional itu meliputi kemampuan mengontrol 'emosi' dan menunda pemuasaan hasrat. Nah, berpuasa itu merupakan laku untuk belajar keduanya.

Bagusnya, penulis buku Ketika Allah Menguji Kita ini banyak menyelipkan cerita untuk mengukuhkan tesis di atas, bahwa kecerdasan emosional itu penting, seraya mengutip Daniel Goldman, penulis terkenal berkait dengan kemampuan intelektual dan emosional. Tentu, yang menarik adalah bagian tanya jawab yang lebih jauh memetakan latar-belakang jamaah. Persoalan fiqh juga mengemuka, seperti apakah batal mencicipi makanan untuk mengenal rasanya bagi seorang ibu?

Akhirnya, acara yang dipandu Supriyanto, mahasiswa master Sains Komputer, berakhir dengan doa yang dibacakan oleh penceramah. Kami pun mengamini agar suara-suara keindahan itu menjadi kenyataan.

Saturday, August 07, 2010

Mitos Pribumi Malas


Penggambaran yang tak sempurna. Tapi, kita bisa membacanya, meski harus mengernyitkan mata untuk memastikan bunyi huruf. Itu pun semacam bukan kemalasan.

Perkasa

Saya membeli edisi pertama koran mingguan ini di mal Komtar di sebuah kedai yang berdekatan dengan tempat penukaran uang (money changer). Sebagai terbitan perdana, ia menyuguhkan berita provokatif sehingga terpaksa harus berurusan dengan Kementerian Dalam Negeri. Sejatinya, ia membawa suara kritis penggagasnya, Ibrahim Ali, anggota parlemen bebas. Bagi saya, kedudukan bekas aktivis ini sangat unik. Tidak saja ia berhadapan dengan partai komponen Barisan Nasional, ia juga senantiasa bersuara keras terhadap oposisi.

Friday, August 06, 2010

Ruang Publik di Negeri Pluralis

Suara Karya, Jum’at, 6 Agustus 2010

Apa yang berselerak di benak kita tentang fasilitas umum? Paling jelas, telepon umum dan water closet (WC) atau kamar mandi. Namun boleh dikatakan nasib keduanya mengenaskan. Yang pertama telah tergerus oleh kepemilikan telepon genggam dan yang terakhir diacuhkan oleh pengguna. Lihat fasilitas ini di terminal, hampir tak layak untuk disebut tempat membersihkan diri. Meskipun fasilitas itu dimiliki oleh pemerintah, sepatutnya orang ramai juga turut merawat agar keberadaan mereka layak untuk dimanfaatkan. Apa lacur, kebanyakan terbengkalai atau menjadi tempat sampah alternatif.

Sementara semi-ruang publik lain, seperti mall (pasaraya), gedung bioskop dan café bertaburan, terutama di kota-kota besar. Malah kehadirannya telah mengikis keberadaan ruang publik yang bisa diakses oleh orang ramai, seperti lapangan bola dan taman kota. Memang, mall dan café bebas dimasuki siapa saja, namun pada waktu yang sama keduanya mengandaikan mereka yang berduit. Selain itu, mall dan café tertentu telah menyeleksi pengunjung, tak ayal ia telah menjadi ruang terbatas. Malah, sebagian menjadi identitas, penanda yang membedakan pengunjungnya dari khalayak. Apalagi, menurut Piere Bourdieu, sosiolog Perancis, kelas borjuis mempunyai kecenderungan untuk menjaga jarak dengan kebutuhan sehari-hari yang diasup kebanyakan.

Hakikatnya ruang publik mengandaikan fisik (public space) dan bukan fisik (public sphere). Pada era reformasi, banyak warga secara relatif mendapatkan ruang untuk bertukar dan mengungkapkan gagasan. Hakikatnya keduanya berjalin kelindan, karena gagasan itu tidak semestinya di usung di tengah jalan melalui unjuk rasa. Ruang fisik yang dimaksud bisa berupa ruang pertemuan, café atau kantor lembaga penelitian. Dengan kata lain, public sphere adalah sebuah kawasan dalam kehidupan sosial tempat orang ramai bisa berkumpul dan secara bebas berbincang masalah mereka dan diharapkan mempengaruhi tindakan politik.

Apa lacur, ada segelintir orang yang bertindak serampangan. Kasus pembubaran pertemuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan masyarakat oleh Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi menunjukkan bahwa ruang publik kita telah disandera oleh kekuatan partikelir. Padahal, ruang lain yang diberi kuasa bertindak untuk menertibkan keadaan atau dikenal juga dengan sphere of public authority, seperti ditegaskan Jürgen Habermas, filsuf Jerman, tersedia. Aparat negara akan mengambil tindakan jika sebuah kelompok masyarakat tertentu dianggap mengancam kehidupan bersama.

Sayangnya, ke belakangan ini kita selalu disuguhkan dengan para militer yang mengambil alih tugas polisi. Memang, kehadirannya kadang dipandang sebagai kritik terhadap pihak berwajib yang mandul dalam menunaikan tugasnya, seperti pemberantasan judi dan minuman keras, atau yang dikenal dengan penyakit masyarakat. Namun berkait dengan eksekusi terhadap pelanggaran, mereka sama sekali tidak mempunyai hak. Tugas mereka adalah membahas jalan keluar bersama komunitas lain agar mendorong pihak berwajib segera menunaikan wewenangnya. Apatah lagi, korban yang selalu menjadi saasaran adalah lapisan bawah, sementara judi dan minuman keras di hotel bintang lima tak tersentuh.

Lalu, bagaimana ruang publik fisik seperti taman dan fasilitas permainan? Sangat memprihatinkan. Pengalaman saya menunjukkan itu. Di Jakarta, misalnya, hampir fasilitas itu terselip di tengah-tengah gedung batu yang angkuh. Taman Monumen Nasional juga belum mampu menyuguhkan ruang publik yang memadai untuk menjadi tempat rehat warga. Bandingkan dengan Kuala Lumpur yang mempunyai taman luas di tengah kota, yang berjalin kelindan dengan pusat perbelanjaan, Suria KLCC. Di sini, pengunjung bisa beraktivitas, seperti nongkrong atau berolahraga. Belum lagi, sungai buatan membuat orang ramai merasa tentram di tengah kota yang sibuk. Tak jauh dari tempat ini, KL Sentral berdiri kokoh sebagai pusat pelbagai moda angkutan, seperti bus, taksi, monorail dan lrt (light rail transport) yang menjangkau ke tempat-tempa penting, seperti bandara, pusat kota, dan segenap pelosok.

Mungkin benar kata Asier Siregar, official Villa 2000, wakil Indonesia di ajang pertandingan sepak bola Nike 15 tahun ke bawah pada Juni kemarin bahwa kita miskin fasilitas olahraga. Dalam sebuah kesempatan di sela-sela rehat di lapangan Universitas Sains Malaysia, dia tidak bisa menyembunyikan penghargaaannya terhadap perguruan tinggi ini karena memiliki 6 lapangan olahraga dan terawat. Sementara sekolah olahraga Ragunan Jakarta hanya mempunyai satu lapangan dan tampak tidak terpelihara. Bahkan, sekolah Olahraga Bukit Jalil Kuala Lumpur mempunyai 10 lapangan.

Mungkin keterbatasan ruang publik fisik ini bisa dimaklumi karena negara Republik ini sedang membangun, namun kebebasan untuk menyuburkan ruang publik non-fisik, seperti kebebasan berkumpul dan mengemukaan pendapat kadang kebablasan. Kasus kekerasan terkait dengan pemilihan kepala daerah di pelbagai tempat di tanah air menunjukkan kenyataan ini. Belum lagi, kekerasan yang dirayakan oleh segelintir kelompok atas nama ideologi, etnik dan perebutan lahan ekonomi. Padahal, di era reformasi, semua ideologi boleh tumbuh, demikian pula kepala-kepala daerah putera lokal banyak menduduki kursi empuk kekuasaan, dan persaingan ekonomi terbuka luas.

Untuk itu, Jürgen Habermas mengusulkan apa yang disebut dengan kriteria konstitusional sebagai prasyarat munculnya ruang publik, yaitu kesetaraan, ranah kepedulian yang sama, dan inklusivitas. Kesetaraan tidak dimaksudkan menafikan status, namun sekaligus menampik status sekaligus. Tentu, sebuah pembahasan akan berjalan baik, jika masing-masing mempunyai keprihatinan yang sama. Nah, sejalan dengan tujuan akhir dari sebuah komuniksi, yaitu konsensus, maka setiap kelompok harus meyakini sikap inklusif sebagai patokan. Dalam bahasa Hannah Arent, filsuf Jerman, secara fenomenologis publik itu dimaknai ruang kemunculan bersama. Pluralitas merupakan dimensi penguat dan lahirnya konsensus.

Namun, jika kita harus berterus terang, ketiga syarat ini susah untuk diraih, karena mereka yang berseberangan merasa tak setara, memiliki tujuan yang berbeda dan sebagian merayakan pandangan sempit dan eksklusif. Betapa segelintir orang datang untuk memaksa pandangannya dan hanya berteriak dan melaungkan kalimat takbir dalam sebuah diskusi. Bagaimana mungkin kita mau mendengar pandangan orang lain, apabila kita hanya ingin mereka tunduk dan patuh? Untungnya, mayoritas warga negeri ini masih memegang teguh kemajemukan sebagai pandangan hidup.

Nah, selagi kelompok ini bermunculan tanpa ada yang mencegah beraksi, maka kehidupan publik kita akan terus menanggung nestapa. Belum lagi, khalayak luas yang tak leluasa menikmati ruang fisik untuk bermasyarakat. Mereka terpaksa menggigit jari karena fasilitas untuk bermain telah dikapling oleh mereka yang berduit. Kegairahan membangun kota satelit dengan segenap fasilitas makin meminggirkan orang ramai untuk istirahat sejenak dari hiruk pikuk kota. Mereka akan mudah marah dan tak ramah. Tak ayal, kekerasan yang muncul di ibukota dipicu secara tidak langsung oleh para remaja yang tak bisa bermain. Masihkah kita abai tentang hal ini?

Penulis adalah postdoctoral research fellow Univesitas Sains Malaysia

Rapat dan Helmet

Rapat PPI USM bersama Prof. Madya Haji Mohamad bin Mohd Yusof di Komunikasi. Dari sekian isu, saya terkesan dengan helm[et] yang berada di depan salah seorang pengurus PPI USM. Apakah ia juga turut mendengar apa yang kami bincangkan?

Tuesday, August 03, 2010

Ibu Irzani Ratni dan Mahasiswa


Segera saya mengambil gambar mereka sebelum siap. Apakah kita harus senantiasa mematut diri jika dipotret? Justeru, dalam keadaan belum siap, saya menemukan tawa renyah dan lepas. Ups, yang tak memajang diri pun terkena tempias.

Monday, August 02, 2010

Mengambil Gambar


Mengambil gambar dengan cara unik, memantul? Tidak, teman baik, Mahardika juga mengambil gambar.

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...