Tuesday, November 30, 2010
Mencegah TKI Menjadi Korban
Agar Terhibur
Saturday, November 27, 2010
Meregang Otot
Thursday, November 25, 2010
Karapan Sapi
Wednesday, November 24, 2010
Hari Raya dan Makna Kurban
Rabu, 17 November 2010 │Seputar Indonesia
Ahmad Sahidah PhD Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia
Shalat dua rakat, takbir, dan penyembelihan korban merupakan kegiatan yang identik dengan perayaan Idul Adha. Media cetak dan elektronik akan memuat gambar ribuan orang berjamaah menunaikan sembahyang dan sejumlah orang kaya menyumbang seekor sapi atau lebih ke tempat ibadah. Gambaran ini selalu hadir di hari suci itu. Betapa damai kita melihat ribuan orang mengagungkan Tuhan dalam suasana syahdu dan khusyu’. Betapa tersentuh kita melihat begitu banyak orang bermurah hati, peduli pada si miskin. Selang beberapa waktu kemudian, penganutnya terperangkap dalam rutinitas, seakan-akan gairah religiositas dan sikap filantrofis itu hilang tak berbekas.
Jika umat Muslim bisa meluangkan waktu berjamaah dan kaum kaya tak keberatan menyisihkan uangnya untuk berderma, maka di luar hari raya itu, sepatutnyan mereka juga bisa melakukan hal yang sama. Namun, boleh dikatakan setelah itu, masjid dan surau dibekap sepi, dan orang-orang miskin mengais rezeki dalam kesusahan tak terperi dan penganggur menanggung beban berhari-hari. Tak ayal, tebersit dalam benak bahwa kebiasaan perayaan itu seakan-akan untuk menebus kealpaan beribadah dan keteledoran mengabaikan nasib yang teraniaya selama setahun.
Padahal, jika suasana kebersamaan itu merembesi dalam keseharian, betapa hidup bisa tertanggungkan. Bukankah, komunitas yang bertetangga itu perlu ruang untuk saling menyapa dalam suasana damai dan tentram. Dengan meluangkan waktu berjamaah di lingkungan tempat kita tinggal, tentu keadaan semacam ini menjadi ruang bertegursapa dengan jiran. Sayangnya, kebanyakan mereka tak hirau. Kalaupun alasannya tak ada waktu karena kesibukan, namun di hari Minggu atau libur tempat ibadah itu pun masih lengang. Di tengah banyak peternak atau petani membutuhkan sapi untuk dipelihara, orang-orang berduit itu seakan-akan tak melihat, padahal jika sedikit uangnya dibelikan seekor sapi tak akan membuatnya bangkrut. Lalu, kemanakah mereka?
Menyemai Semangat
Dalam wacana antropologi, berkorban (sacrifice) berkait keadaan pelaku sebagai pembawa polusi, dosa atau kesalahan dan persembahan itu dianggap sarana untuk membersihkan tubuh seseorang atau sosial dari noda moral ini (Veena Das, 1983). Dalam Islam, subjek itu adalah orang kaya yang dermawan dan murah hati. Dengan kemurahan hati inilah, mereka juga turut menyucikan batin dari sifat-sifat tercela. Dengan memberi sebagian hartanya, hakikatnya mereka telah merasa cukup dan perasaan inilah yang membuat manusia bersyukur, salah satu kunci kebahagiaan.
Masalahnya, apakah keutamaan bersembahyang jamaah, seperti shalat Id, dan berderma hanya dilakukan pada hari raya Kurban? Jawabannya jelas tidak, justeru kehendak mewujudkan ‘suasana’ hari raya Kurban di hari-hari yang lain merupakan keberhasilan memaknai kategori imperaktif dari sebuah kewajiban. Hari raya itu adalah momentum untuk merayakan keutamaan berjamaah dan memeriksa kembali apakah solidaritas Muslim terjalan berjalan dengan baik. Hari raya Id adalah puncak dari berkumpulnya komunitas-komunitas dalam ruang yang lebih besar, selanjutnya masyarakat memelihara kebersamaan dalam lingkungan yang lebih kecil, di tingkat Rukun Tetangga misalnya. Demikian pula, kedermawanan yang dirayakan di ruang terbuka pada hari raya sebagai wujud dari kepedulian yang dipupuk sepanjang tahun. Nabi tidak meminta umatnya untuk peduli pada kaum terpinggir itu hanya setahun sekali.
Dengan tingkat mobilitas yang tinggi, sepatutnya mereka yang berpunya tak perlu merasakan kesulitan untuk menafkahkan rezekinya melalui lembaga yang mengembangkan amal itu menjadi modal produktivitas. Hampir semua lembaga tersebut telah menyediakan fasilitas on line untuk beramal. Kalaupun mereka ingin melihat amal itu berbuah, mereka bisa datang untuk menengok kelompok-kelompok binaan sehingga terjalin silaturahmi yang erat. Diharapkan dengan sikap seperti ini akan mendorong pemerataan. Seperti ditegaskan Paul Wachtel (1989) bahwa timbulnya bermacam-macam penyakit sosial karena arah pembangunan yang selalu menekankan pada pertumbuhan (growth), bukan pendistribusian hasil pembangunan dengan merata dan adil. Melalui semangat berkorban, ikhtiar meneteskan rezeki ke bawah itu akan terwujud.
Teladan
Jika banyak orang yang bisa berkorban sapi pada hari raya itu, mengapa kedermawanan itu juga tidak dilakukan di luar hari yang telah ditentukan wakatunya dan juga lebih produktif? Padahal jika hal yang sama dilakukan melalui program penyertaan dalam program desa binaan ternak sapi, kegiatan ini akan mendongrak sektor ekonomi yang lain. Apalagi seperti telah diketahui umum untuk memenuhi kebutuhan sapi korban, Indonesia harus mengimpor binatang pemamah biak ini dari Australia dan negara lain, yang tentu saja menghabiskan devisa negara.
Tentu, pelibatan mereka yang berduit untuk berinvestasi dalam ternak akan menggairahkan ekonomi pedesaan. Jauh dari itu, ikhtiar semacam ini menjadi jembatan menumbuhkan hubungan masyarakat yang saling memercayai, sebagai bagian penting dari modal sosial. Memang sebelumnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal) telah melibatkan warga pedesaan untuk beternak sapi, namun sayangnya sebagian mereka menjual hewan tersebut untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Namun, hal ini tidak mencegah perorangan yang berduit untuk memulai usaha yang sama dengan mempekerjakan kaum profesional, termasuk lulusan perguruan tinggi yang berlatang belakang peternakan dan manejemen.
Keberhasilan Lembaga Amil Zakat Yaumil, LNG Bontang Kalimatan Timur dalam mewujudkan desa binaan dalam peternakan sapi patut diberi perhatian. Tidak saja pendataan kaum miskin yang meliputi pekerjaan, status, surau terdekat tercatat rapi dan bisa diakses publik melalui laman sesawang mereka, tetapi juga perkembangan, evaluasi dan yang jauh lebih penting hasil audit juga diterakan. Pertanggjungjawaban dan keterbukaan semacam ini akan menjadikan lembaga tersebut bisa diperhatikan orang ramai dan sekaligus mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok lain untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak lembaga yang serupa, semakin banyak orang bekerja dan meraup berkah dari semangat berkorban ini. Kalau hanya meluang waktu berjamaah dan berderma pada hari raya, mungkin itu belum cukup untuk disebut berkorban.
Oleh karena itu, pemisahan kata hari raya dan makna kurban dalam judul di atas sebenarnya ingin menegaskan betapa perayaan itu kadang melupakan makna kurban yang sesungguhnya. Hari besar ini hanya mengisi liburan sehari. Media massa pun berlomba-lomba untuk mengulang berita yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya berbeda waktu. Padahal, pengorbanan ini menyimpan makna yang jauh lebih kaya dari sekedar bersembahyang dan membagikan daging korban. Kebersamaan pada salat id adalah kehendak bersama untuk hidup rukun dan penyembelihan hewan itu adalah simbol pengorbanan untuk menolong orang lain agar tak berkubang dalam kemiskinan. Jika semangat ini bisa diraih, maka kita bisa memperoleh makna kurban hari raya, tanpa dipisah oleh kata dan. Semoga!
Idul Adha dan Kemandirian Ekonomi
Selasa, 16 November 2010 │Koran Tempo
Ahmad Sahidah PhD, PENELITI PASCADOKTORAL DI UNIVERSITAS SAINS MALAYSIA
Sebagai ibadah, Idul Adha berkait erat dengan salat id dan penyembelihan hewan kurban. Menurut fiqh, ia merupakan puncak dari ibadah haji, yang juga dirayakan oleh umat Muslim seluruh dunia. Ritual penyembelihan kurban merupakan bagian khas yang selalu menarik perhatian. Sebelumnya, pasar sapi dan kambing dadakan bermunculan dan penyembelihan sesudah shalat juga telah mengundang banyak orang untuk datang. Sayangnya, untuk mencukupi kebutuhan daging, Indonesia harus mengimpor sapi dari luar negeri. Pada masa yang sama, kebijakan ini juga merugikan peternak lokal, karena harga jual sapi tak sepadan dengan biaya pakan dan tenaga.
Jauh sebelumnya, Yusuf Kalla (Tempo, 30/06/08) menyesalkan bahwa Indonesia harus mengimpor sapi dari luar. Sepatutnya ini tidak perlu terjadi karena sebagai negara agraris, para petani mempunyai banyak kesempatan untuk sekaligus beternak. Oleh karena itu, pemerintah mendukung usaha Nusa Tenggara Barat untuk mewujudkan “Bumi Sejuta Sapi” melalui pinjaman tanpa bunga. Di Pulau Sumbawa sendiri telah disiapkan lahan 1.007 hektar proyek percontohan Lar Limung dengan harapan pada tahun 2013 negeri seribu Masjid itu menghasilkan sejuta ekor sapi dan dengan sendirinya menggerakkan sektor ekonomi lainnya.
Kegagalan swasembada ini bermuara dari pengertian ibadah yang dirayakan pada 10 Dzulhijjah ini yang hanya dipahami sebagai pelaksanaan shalat dua rakaat dan berkurban. Sementara, bagaimana mewujudkan pesan tersirat dari Idul Adha itu sendiri tidak ditonjolkan. Penegasan Nabi bahwa tidak ada yang lebih dekat dengan Tuhan selama hari-hari Kurban selain menyembelih binatang ternak menunjukkan Tuhan hadir tidak hanya di tempat ibadah, sakral, tetapi dalam ritual ‘penyembelihan kurban’, profan. Dengan kata lain, hal ihwal duniawi merupakan jalan lain menuju ilahi. Sepatutnya, sebagaimana dalam etika Protestan Max Weber, dorongan untuk berkurban bisa dianggap panggilan atau beruf yang bisa mendorong pada kemandirian ekonomi umat.
Semangat Bederma
Idul Adha adalah momen untuk mengingatkan Muslim agar mengagungkan Tuhan dan peduli dengan masyarakat sekelilingnya. Pada hari raya inilah mereka bersua dan bercengkerama. Ini tidak berarti setelah mereka menunaikan shalat dua rakat dan berkorban seekor lembu, tugas agama telah tertunai secara sempurna. Semangat dari perintah ini adalah bagaimana rasa religiositas merembesi prilaku sehari-hari dan keprihatinan itu berbuah tindakan. Lalu, bagaimana mewujudkan semangat ini dalam kehidupan sehari-hari?
Pengagungan Tuhan tentu mengandaikan ketaatan mutlak hamba yang tidak direcoki dengan berhala-hala lain dalam kehidupan, seperti jabatan, rumah, mobil dan lain-lain. Sementara keprihatinan itu mendorong semua pihak untuk memikirkan bagaimana upaya menghapuskan kemiskinan bisa dilakukan melalui pengadaan dan pemeliharaan hewan ternak yang melibatkan peternak tak bermodal. Mungkin, inilah yang perlu dirawat lebih telaten dan teratur agar amal kedermawanan itu tidak bersifat sementara dan karikatif.
Di tengah kehendak mewujudkan perubahan itu, sebenarnya banyak lembaga amil zakat yang mencoba menjadikan usaha ternak menjadi bagian proyek yang produktif. Salah satunya adalah Lembaga Amil Zakat Yaumil LGN Bontang Kalimatan Timur. Dengan mendata rumah tangga miskin, badan tersebut mengelola ternak yang diserahkan pada peternak tanpa modal dan diawasi secara berkala. Lebih jauh dari itu, publik juga mempunyai akses terhadap perkembangan usaha tersebut melalui laman sesawang (website) dan tak hanya itu, seluruh kegiatan amal ini telah diaudit.
Dengan slogan amanah, profesional dan inovatif, lembaga di atas berhasil menjadi mediasi antara dermawan dan orang yang memerlukan modal untuk usaha kecil. Uniknya, syarat pengisian formulir pinjaman memasukkan pengesahan ketua Rukun Tetangga dan pengurus masjid (takmir) setempat. Ini berarti bahwa pemberian kredit mikro ini memusatkan pengembangan ekonomi berbasis lokal. Selain itu, ia juga melihat bahwa masjid tidak hanya dilihat sebagai tempat ibadah, tetapi juga muamalah (interaksi sosial-ekonomi). Pendek kata, fungsi sosial dari agama harus diperhatikan untuk mewujukan ketahanan dan kemandirian umat.
Tentu, banyak organisasi serupa yang telah berkiprah di tengah masyarakat. Di tengah hiruk-pikuk kelompok masyarakat yang berjuang untuk menegakkan syari’ah secara formal, organisasi yang memusatkan perhatian pada pengembangan ekonomi masyarakat luas telah maju selangkah dalam menanamkan nilai-nilai syari’ah itu dalam kehidupan praktis. Maksud syari’ah yang terkait dengan pembelaan martabat manusia akan lebih terasa dengan amal nyata, dibandingkan retorika. Untuk itu, mereka yang acapkali turun ke jalan seraya membawa spanduk dan bendera untuk mendirikan negara Islam atau khilafah, sebaiknya pulang ke kampung halaman masing-masing, karena kedaulatan umat itu ditandai dengan kesejahteraan konkrit, bukan janji-janji kemakmuran yang akan diraih dengan mengubah dasar negara.
Agama Progresif
Tarik menarik kubu liberal dan revivalis berkait dengan persoalan keagamaan selama ini masih berkisar pada isu negara Islam, perkawinan antarumat beragama, jalan keselamatan, kebenaran mutlak, yang sejatinya mengandaikan pluralisme pendapat. Memang, kita memerlukan jawaban dari persoalan tersebut, namun perseteruan yang telah berlangsung lama dan tak kunjung usai tidak harus menenggelamkan isu lain, pembebasan umat dari ketergantungan. Apatah lagi, perselisihan di atas hanya berpusar pada kalangan elit intelektual kedua kelompok. Sementara, konsep etik Islam berkait dengan pembelaan terhadap kaum miskin terabaikan.
Untuk itu, Islam Progresif tak ingin lagi berkutat pada isu-isu kontroversial tersebut, melainkan bagaimana mewujudkan keadilan sosial yang selama ini diabaikan. Pada masa yang sama, Omid Safi dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (2003) menegaskan bahwa keadilan itu tidak terwujud jika keadilan perempuan tidak diperhatikan. Tentu, tesis yang terakhir ini tidak berlebihan karena kaum perempuan memegang posisi kunci dalam ekonomi keluarga. Keberhasilan Grameenbank Mohammad Yunus dari Bangladesh dalam memberdayakan partisipasi kaum ibu dalam penguatan kemandirian keluarga tentu menjadi proyek yang patut dipertimbangkan oleh banyak pihak. Di banyak daerah di Indonesia, kaum ibu juga terlibat dalam usaha peternakan sapi, yang tentu saja usaha mereka akan makin kuat dengan dukungan banyak pihak.
Sudah saatnya, semangat revolusioner agama tidak dibekap pada jargon dan drama panggung. Energi umat yang banyak dihabiskan untuk memperebutkan kebenaran sepihak telah menghilangkan kesempatan untuk merawat pesan tersirat kewajiban agama, kepedulian terhadap yang teraniaya dan terpinggirkan. Adalah ironi jika mereka yang menabalkan dirinya cerdik pandai hanya beradu hujah, sementara umat yang mesti dibela menanggung padah. Ketimpangan distribusi kekayaan telah menimbulkan banyak mudarat. Jika ibadah Kurban itu merupakan ikhtiar untuk menciptakan keadilan sosial, maka sepatutnya semua kelompok bahu membahu untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut dan kelompok yang terakhir inilah yang seharusnya mendapatkan dukungan orang ramai. Selamat Hari Raya Berkorban!
Sunday, November 21, 2010
Buku Orang Ramai
Thursday, November 18, 2010
Merayakan Kurban 1431 H
Kami bangun lebih awal untuk menyambut hari Idul Adha 1431 H. Ia adalah pengorbanan kecil, melawan kantuk dan mandi di pagi hari. Demikian pula, si kecil dibangunkan dengan membuat kebisingan, melakukan ini itu. Aha, akhirnya Nabiyya bangun. Ketika pagi masih muram, kami melaju ke depan masjid untuk menaiki bus. Tak perlu waktu lama, kami pun berangkat ke Jalan Burma. Di tengah jalan, Pak Nuhung, mahasiswa asal Makassar, memimpin bacaan takbir. Tiba-tiba getaran merambat ke seluruh tubuh.
Melepas Anak Panah
Thursday, November 11, 2010
Tuesday, November 09, 2010
Kami Peduli
Saturday, November 06, 2010
Mencegah DPR ke Luar Negeri
Suara Karya, Kamis, 4 Nopember 2010
Yogya Menyangga Hubungan Serumpun
Kedaulatan Rakyat, 05/11/2010 08:54:23 Pernyataan Dato’ Seri Ahmad Zahid Hamidi, Menteri Pertahanan Malaysia, bahwa negeri jiran itu akan membantu Indonesia tentu melegakan banyak pihak. Meskipun demikian, politikus berdarah Yogyakarta ini tetap menunggu lampu hijau dari Indonesia. Untuk kesekian kalinya, melalui bekas ketua Pemuda UMNO ini, negeri jiran mengulurkan bantuan pada korban bencana alam di sini. Sebenarnya, pemerintah Indonesia juga melakukan hal serupa, meskipun tak sebanyak Malaysia karena bencana di negeri ini tak kunjung henti dan terjadi di banyak negeri. Tak hanya itu, mahasiswa kedokteran asal Malaysia yang belajar di Universitas Negeri Surakarta dan Universitas Gadjah Mada turut turun ke lapangan untuk menjadi sukarelawan (Utusan, 28/10/10). Berita seperti ini tentu menyerap ke dalam kesadaran warga di sana betapa mereka begitu baik dan rela membantu saudaranya. Tak ayal, kebaikan ini diungkit ketika segelintir demonstran yang membakar bendera Jalur Gemilang di depan kedutaan besar Malaysia di Jakarta. Mereka heran dengan ulah sekelompok orang yang memperlakukan saudaranya dengan kasar sementara mereka tak pernah menyakiti dan bahkan menyantuni warga Indonesia yang ditimpa bencana? Padahal, di tengah hubungan yang naik turun ini, keduanya telah menjalin hubungan yang erat untuk memastikan kerja sama dalam pelbagai bidang berjalan baik. Malaysia menanamkan modal dalam bidang perbankan, perkebunan, perminyakan dan pariwisata. Malah, bank CIMB Niaga menangguk keuntungan hingga Rp 1,79 triliun untuk tahun 2010. Dengan kenyataan ini, pemangku kepentingan harus segera memikirkan komunikasi efektif dengan negara tetangga agar riak permusuhan tak menyebabkan gelombang pertengkaran. Bagaimanapun, pembiaran isu perselisihan akan menyeret pada kemungkinan kerugian yang ditanggung keduanya. Sementara, pemulihannya tak mungkin disemai dalam waktu singkat. Apalagi, dengan penerbangan dua kali dari Kuala Lumpur-Yogyakarta, sepatutnya maskapai penerbangan Air Asia, MAS dan Garuda Indonesia, akan lebih banyak mengangkut penumpang yang akan berkunjung ke kota ini. Yogyakarta adalah kota yang relatif dikenal di negeri jiran itu. Apa lagi, iklan Visit Indonesia selalu memasukkan kota pelajar ini sebagai bagian dari daerah yang layak untuk dikunjungi. Namun, program yang tidak dilakukan oleh Yogyakarta adalah kerja sama antara pemerintah daerah untuk mewujudkan kota kembar (sister city) dengan negara yang setiap hari berhubungan secara langsung dalam banyak kegiatan ekonomi dan politik secara intensif. Biasanya, proses di atas diikuti dengan universitas kembar. Sebenarnya, kerja sama antara perguruan tinggi telah dilakukan dengan menyelenggarakan seminar internasional bersama antara Universitas Gadjah Mada dan Universitas Malaya. Dengan kekuasaan pengetahuan yang ada pada mereka, isu terkait dengan pertikaian dua negara sepatutnya bisa didiskusikan secara lebih rasional dan berkepala dingin. Namun, apa lacur, tidak semua kalangan akademikus mempunyai pandangan yang sama tentang isu yang seringkali muncul berulang-ulang. Untuk itu, kita memerlukan kuasa lain untuk turut mendorong dialog lebih sehat, politikus dan media. Keduanya harus memastikan bahwa penghalang hubungan dua negara selalu bersumber pada masalah lapuk. Kadang tak dapat dielakkan, provokasi media dan politisi membuat emosi khalayak luas ikut tersulut. Meski mayoritas orang tak bertindak kasar, namun coretan di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, membuat cemas banyak orang yang ingin melihat hubungan kedua negara berada pada kedudukan setara. Untungnya, banyak politikus dan media yang lain berusaha untuk melihat persoalan secara lebih jernih. Adalah tidak keliru mengungkit perlakuan tidak adil negara tetangga terhadap buruh migran Indonesia, misalnya, tetapi pada waktu yang sama kita di sini tidak bisa menafikan usaha aparatur di sana untuk menyelesaikan masalah yang mengganggu keduanya. Contoh yang masih segar di ingatan adalah peristiwa tragis yang menimpa Win Faidah, buruh migran asal Pacitan, yang harus menanggung penderitaan batin yang dahsyat karena diperkosa oleh majikannya. Tak hanya itu, siksaan fisik yang dialami turut merusak tubuhnya. Namun, hanya dalam hitungan hari, pihak aparat berhasil meringkus sang majikan yang berkebangsaan India. Simpati pun datang dari pejabat publik lokal, seperti gubernur dan kepala polisi daerah. Media pun turut memberitakan tragedi ini sehingga ia menjadi peringatan agar hal serupa tak berulang dan pelakunya segera dihukum berat. Pendek kata, kejahatan kemanusiaan harus diadili, tanpa harus memantik isu bahwa itu dilakukan oleh warga Malaysia secara keseluruhan. Harus diakui, sebagian besar pekerja kita di sana bisa mencari nafkah dengan baik. Pada waktu yang sama, tantangan yang jauh lebih besar adalah memastikan agar hubungan kedua negara bisa berlanjut secara mulus. Keduanya telah banyak mempertaruhkan modal dan menandatangani kerja sama untuk keuntungan kedua belah pihak. Jika ulah segelintir orang merusak kehendak yang lebih besar itu, kita takluk pada gertakan sekelompok kecil masyarakat yang marah. Apalagi, iklan Visit Indonesia ditayangkan kembali di televisi Malaysia, yang tentunya menyedot anggaran cukup besar dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Dengan makin banyaknya tujuan daerah wisata yang dijual ke warga negara tetangga, diharapkan limpahan wisatawan tak hanya berkisar di daerah terkenal, seperti Bali dan Jakarta. Yogyakarta sepatutnya mengambil inisiatif untuk mendorong kerja sama dengan kota-kota yang ada di Semenanjung untuk menarik turis dan investasi. Adalah aneh jika kota pelajar ini bisa menjalin dengan kota-kota di dunia, seperti Kyoto Jepang, Toeloes Perancis, Estevan Iran, Gangbuk-gu Korea Selatan, Hu, Vietnam, Hefei China, Baalbek Libanon dan lain-lain, namun tidak mau melirik potensi yang jauh lebih besar dengan kota-kota negeri tetangga. Tentu, kita tidak mengabaikan kerja sama dengan negara-negara yang berada nun jauh di seberang, namun alangkah mendesaknya hubungan dengan negara terdekat terjalin lebih akrab. Ini terkait dengan kemungkinan arus kedatangan turis karena faktor jarak dan biaya. Demikian pula, hubungan yang terawat ini akan makin memudahkan kedua belah pihak untuk memantau perkembangan tenaga kerja asal Yogyakarta yang bekerja di seantero Malaysia. Maukah kita? q - k. (1906 A-2010). *) Ahmad Sahidah PhD, Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia. |
Memahami Sesat
Thursday, November 04, 2010
Titik Temu antara Proyek dan Kelestarian
Monday, November 01, 2010
Makan Sate
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...