Tuesday, November 30, 2010

Mencegah TKI Menjadi Korban

Hakikatnya, semua pihak terkait mengetahui apa yang harus dilakukan untuk melayani buruh migran. Kehendak yang kuat harus tertanam agar suara-suara kepedihan seperti di atas tak terus berdengung, mengusik telinga. Kami pun melakukan apa yang bisa disuarakan dari mereka yang bisu. Kami mengumpulkan cerita-cerita yang terbiar, yang mungkin telah banyak beredar. Semoga!

Agar Terhibur

Karena ada dua vocer, kami pun melaju untuk menikmati hadiah. Kalau tidak, mungkin kami tak perlu makan di KFC (Kentucky Fried Chicken) dan menyesap kopi di Starbuck. Bukan karena menuruti ajakan boikot terhadap perusahaan Amerika yang terkait dengan Israel, namun bagi saya, keduanya mahal. Lagipula, pemilik lisensi KFC di Malaysia adalah Johor Corporation, yang diterajui oleh Ali Hashim, dan produk starbuck juga menjual kopi Sulawesi dan pelayannya sebagian memakai kerudung. Masihkah batas antara kawan dan lawan di dunia normal sejelas di medan perang?

Di hari libur, banyak orang pergi ke mall agar terhibur. Tak salah, namun apa yang dicari? Aha, di sana toko buku yang besar, Borders, perusahaan buku asal Inggeris, yang memberi saya vocer senilai RM 10 untuk menikmati kopi Starbuck. Sesampai di toko buku itu, kami pun berhamburan, memilih rak buku sesuai dengan kesukaan masing-masing. Selalu saja, untuk pertama kali, saya menuju ke rak filsafat, yang hanya terdiri dari satu rak, tak sebanyak buku jenis lain. Untungnya, ada buku baru, Living in the End Times (2010), Slavoj Žižek, sehingga saya duduk agak lama di kursi empuk berwarna hitam, menekuri huruf. Saya pun sempat mencatat ucapan Mao, setelah bertemu Nixon dan Kissinger, "I like to deal with the rightists. They say what they really think - not like the leftists, who say one thing and mean another (hlm. xiii). Ternyata orang kiri itu banyak menggunakan metafora ya?

Lalu, kami pun beranjak untuk makan siang di KFC. Layaknya tempat makanan cepat saji, standar pelayanan dan desain ruang minimalis dan tak banyak menghadirkan ornamen lokal. Gambar besar Colonel Sanders tentu menjadi penanda dari warung goreng ayam ini. Sayangnya, kami pun tak sempat menukarkan vocer untuk menikmati kopi karena harus pulang, untuk mengunjungi teman di sore itu. Kadang, keinginan dan rencana kita tak selalu berbuah kenyataan. Toh, waktu masih terbentang luas, kita pun akan segera mewujudkannya, meskipun tak jauh-juah dari kebutuhan dasar yang diulang-ulang. Hanya beda kemasan dan rupa.

Saturday, November 27, 2010

Meregang Otot

Bermain bola untuk pertama kalinya setelah Nabiyya lahir mendatangkan sensasi tersendiri. Ya, kemarin kami, mahasiswa dan staf konsulat melakukan pertandingan persahabatan di lapangan sepak bola milik Majlis Perbandaran Pulau Pinang, di belakang rumah sakit Adventist, sepelemparan batu dari kantor konsulat Indonesia. Karena kurang peregangan, otot pegal, meskipun setiap inci dari urat terasa lebih kencang dan nyaman. Belum lagi, saya bisa mereguk udara lebih leluasa dan melempar pandangan lebih jauh.

Sedianya ingin berlari kecil, namun jika mendapatkan umpan, saya pun sekuat tenaga berlari membawa bola dan kembali mengumpan bola pada kawan. Tiba-tiba, otot dan urat terasa ditarik kuat, ada sedikit nyeri di situ. Tak hanya menggunakan kaki, mulut pun tak berhenti bersuara, meminta umpan dan memberi ide agar bola ditendang ke kawan di sayap kiri, atau umpan tarik ke depan gawang. Kadang di tengah permainan tawa pun pecah karena melihat kelucuan, apakan tidak, Pak Usman menggunakan tangan agar bola tak menembus gawang dan wasit pun, Mas Didi, mengeluarkan kartu ATM untuk menghukum kartu kuning, meski pemain lawan meminta kartu merah.

Untungnya, matahari berselimut awan, sehingga terik tak menerjang bumi. Di sela-sela permainan, kami pun masih sempat ngobrol ringan. Seorang staf berujar baru pertama kali main bola, yang lain membanyol, bahwa salah seorang pemain adalah pemain dunia, bukan akhirat. Aha, kelakar yang lumayan menerbitkan tawa ketika napas ngos-ngosan. Akhirnya, permainan usai, lalu bersiap-siap ke konsulat untuk menikmati nasi goreng dan kerupuk udang.



Thursday, November 25, 2010

Karapan Sapi

Apakah Nietzsche akan mengalami goncangan kejiwaan jika dia hidup kembali dan menonton karapan sapi? Dulu, filsuf Jerman itu gila karena tak tega melihat seekor kuda dipukul dengan cemeti oleh sang kusir. Karapan sapi tentu memantik goncangan lebih dahsyat karena hewan itu tidak hanya dicambuk, tetapi juga bokongnya dilukai dengan paku agar berlari kencang. Malah, tak jarang kedua mata sapi itu dibubuh balsem agar makin 'berlari' karena tak kuat menahan pedih. Inikah kebudayaan lokal itu? Lalu, kearifan lokal (local wisdom) seperti apa yang akan diperlihatkan dengan menyiksa binatang?

[Gambar di atas diambil dari AsianGeographic No 75 Issue 6│2010]

Wednesday, November 24, 2010

Hari Raya dan Makna Kurban

Rabu, 17 November 2010 Seputar Indonesia

Ahmad Sahidah PhD Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia

Shalat dua rakat, takbir, dan penyembelihan korban merupakan kegiatan yang identik dengan perayaan Idul Adha. Media cetak dan elektronik akan memuat gambar ribuan orang berjamaah menunaikan sembahyang dan sejumlah orang kaya menyumbang seekor sapi atau lebih ke tempat ibadah. Gambaran ini selalu hadir di hari suci itu. Betapa damai kita melihat ribuan orang mengagungkan Tuhan dalam suasana syahdu dan khusyu’. Betapa tersentuh kita melihat begitu banyak orang bermurah hati, peduli pada si miskin. Selang beberapa waktu kemudian, penganutnya terperangkap dalam rutinitas, seakan-akan gairah religiositas dan sikap filantrofis itu hilang tak berbekas.

Jika umat Muslim bisa meluangkan waktu berjamaah dan kaum kaya tak keberatan menyisihkan uangnya untuk berderma, maka di luar hari raya itu, sepatutnyan mereka juga bisa melakukan hal yang sama. Namun, boleh dikatakan setelah itu, masjid dan surau dibekap sepi, dan orang-orang miskin mengais rezeki dalam kesusahan tak terperi dan penganggur menanggung beban berhari-hari. Tak ayal, tebersit dalam benak bahwa kebiasaan perayaan itu seakan-akan untuk menebus kealpaan beribadah dan keteledoran mengabaikan nasib yang teraniaya selama setahun.

Padahal, jika suasana kebersamaan itu merembesi dalam keseharian, betapa hidup bisa tertanggungkan. Bukankah, komunitas yang bertetangga itu perlu ruang untuk saling menyapa dalam suasana damai dan tentram. Dengan meluangkan waktu berjamaah di lingkungan tempat kita tinggal, tentu keadaan semacam ini menjadi ruang bertegursapa dengan jiran. Sayangnya, kebanyakan mereka tak hirau. Kalaupun alasannya tak ada waktu karena kesibukan, namun di hari Minggu atau libur tempat ibadah itu pun masih lengang. Di tengah banyak peternak atau petani membutuhkan sapi untuk dipelihara, orang-orang berduit itu seakan-akan tak melihat, padahal jika sedikit uangnya dibelikan seekor sapi tak akan membuatnya bangkrut. Lalu, kemanakah mereka?

Menyemai Semangat

Dalam wacana antropologi, berkorban (sacrifice) berkait keadaan pelaku sebagai pembawa polusi, dosa atau kesalahan dan persembahan itu dianggap sarana untuk membersihkan tubuh seseorang atau sosial dari noda moral ini (Veena Das, 1983). Dalam Islam, subjek itu adalah orang kaya yang dermawan dan murah hati. Dengan kemurahan hati inilah, mereka juga turut menyucikan batin dari sifat-sifat tercela. Dengan memberi sebagian hartanya, hakikatnya mereka telah merasa cukup dan perasaan inilah yang membuat manusia bersyukur, salah satu kunci kebahagiaan.

Masalahnya, apakah keutamaan bersembahyang jamaah, seperti shalat Id, dan berderma hanya dilakukan pada hari raya Kurban? Jawabannya jelas tidak, justeru kehendak mewujudkan ‘suasana’ hari raya Kurban di hari-hari yang lain merupakan keberhasilan memaknai kategori imperaktif dari sebuah kewajiban. Hari raya itu adalah momentum untuk merayakan keutamaan berjamaah dan memeriksa kembali apakah solidaritas Muslim terjalan berjalan dengan baik. Hari raya Id adalah puncak dari berkumpulnya komunitas-komunitas dalam ruang yang lebih besar, selanjutnya masyarakat memelihara kebersamaan dalam lingkungan yang lebih kecil, di tingkat Rukun Tetangga misalnya. Demikian pula, kedermawanan yang dirayakan di ruang terbuka pada hari raya sebagai wujud dari kepedulian yang dipupuk sepanjang tahun. Nabi tidak meminta umatnya untuk peduli pada kaum terpinggir itu hanya setahun sekali.

Dengan tingkat mobilitas yang tinggi, sepatutnya mereka yang berpunya tak perlu merasakan kesulitan untuk menafkahkan rezekinya melalui lembaga yang mengembangkan amal itu menjadi modal produktivitas. Hampir semua lembaga tersebut telah menyediakan fasilitas on line untuk beramal. Kalaupun mereka ingin melihat amal itu berbuah, mereka bisa datang untuk menengok kelompok-kelompok binaan sehingga terjalin silaturahmi yang erat. Diharapkan dengan sikap seperti ini akan mendorong pemerataan. Seperti ditegaskan Paul Wachtel (1989) bahwa timbulnya bermacam-macam penyakit sosial karena arah pembangunan yang selalu menekankan pada pertumbuhan (growth), bukan pendistribusian hasil pembangunan dengan merata dan adil. Melalui semangat berkorban, ikhtiar meneteskan rezeki ke bawah itu akan terwujud.

Teladan

Jika banyak orang yang bisa berkorban sapi pada hari raya itu, mengapa kedermawanan itu juga tidak dilakukan di luar hari yang telah ditentukan wakatunya dan juga lebih produktif? Padahal jika hal yang sama dilakukan melalui program penyertaan dalam program desa binaan ternak sapi, kegiatan ini akan mendongrak sektor ekonomi yang lain. Apalagi seperti telah diketahui umum untuk memenuhi kebutuhan sapi korban, Indonesia harus mengimpor binatang pemamah biak ini dari Australia dan negara lain, yang tentu saja menghabiskan devisa negara.

Tentu, pelibatan mereka yang berduit untuk berinvestasi dalam ternak akan menggairahkan ekonomi pedesaan. Jauh dari itu, ikhtiar semacam ini menjadi jembatan menumbuhkan hubungan masyarakat yang saling memercayai, sebagai bagian penting dari modal sosial. Memang sebelumnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal) telah melibatkan warga pedesaan untuk beternak sapi, namun sayangnya sebagian mereka menjual hewan tersebut untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Namun, hal ini tidak mencegah perorangan yang berduit untuk memulai usaha yang sama dengan mempekerjakan kaum profesional, termasuk lulusan perguruan tinggi yang berlatang belakang peternakan dan manejemen.

Keberhasilan Lembaga Amil Zakat Yaumil, LNG Bontang Kalimatan Timur dalam mewujudkan desa binaan dalam peternakan sapi patut diberi perhatian. Tidak saja pendataan kaum miskin yang meliputi pekerjaan, status, surau terdekat tercatat rapi dan bisa diakses publik melalui laman sesawang mereka, tetapi juga perkembangan, evaluasi dan yang jauh lebih penting hasil audit juga diterakan. Pertanggjungjawaban dan keterbukaan semacam ini akan menjadikan lembaga tersebut bisa diperhatikan orang ramai dan sekaligus mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok lain untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak lembaga yang serupa, semakin banyak orang bekerja dan meraup berkah dari semangat berkorban ini. Kalau hanya meluang waktu berjamaah dan berderma pada hari raya, mungkin itu belum cukup untuk disebut berkorban.

Oleh karena itu, pemisahan kata hari raya dan makna kurban dalam judul di atas sebenarnya ingin menegaskan betapa perayaan itu kadang melupakan makna kurban yang sesungguhnya. Hari besar ini hanya mengisi liburan sehari. Media massa pun berlomba-lomba untuk mengulang berita yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya berbeda waktu. Padahal, pengorbanan ini menyimpan makna yang jauh lebih kaya dari sekedar bersembahyang dan membagikan daging korban. Kebersamaan pada salat id adalah kehendak bersama untuk hidup rukun dan penyembelihan hewan itu adalah simbol pengorbanan untuk menolong orang lain agar tak berkubang dalam kemiskinan. Jika semangat ini bisa diraih, maka kita bisa memperoleh makna kurban hari raya, tanpa dipisah oleh kata dan. Semoga!

Idul Adha dan Kemandirian Ekonomi

Selasa, 16 November 2010 Koran Tempo

Ahmad Sahidah PhD, PENELITI PASCADOKTORAL DI UNIVERSITAS SAINS MALAYSIA

Sebagai ibadah, Idul Adha berkait erat dengan salat id dan penyembelihan hewan kurban. Menurut fiqh, ia merupakan puncak dari ibadah haji, yang juga dirayakan oleh umat Muslim seluruh dunia. Ritual penyembelihan kurban merupakan bagian khas yang selalu menarik perhatian. Sebelumnya, pasar sapi dan kambing dadakan bermunculan dan penyembelihan sesudah shalat juga telah mengundang banyak orang untuk datang. Sayangnya, untuk mencukupi kebutuhan daging, Indonesia harus mengimpor sapi dari luar negeri. Pada masa yang sama, kebijakan ini juga merugikan peternak lokal, karena harga jual sapi tak sepadan dengan biaya pakan dan tenaga.

Jauh sebelumnya, Yusuf Kalla (Tempo, 30/06/08) menyesalkan bahwa Indonesia harus mengimpor sapi dari luar. Sepatutnya ini tidak perlu terjadi karena sebagai negara agraris, para petani mempunyai banyak kesempatan untuk sekaligus beternak. Oleh karena itu, pemerintah mendukung usaha Nusa Tenggara Barat untuk mewujudkan “Bumi Sejuta Sapi” melalui pinjaman tanpa bunga. Di Pulau Sumbawa sendiri telah disiapkan lahan 1.007 hektar proyek percontohan Lar Limung dengan harapan pada tahun 2013 negeri seribu Masjid itu menghasilkan sejuta ekor sapi dan dengan sendirinya menggerakkan sektor ekonomi lainnya.

Kegagalan swasembada ini bermuara dari pengertian ibadah yang dirayakan pada 10 Dzulhijjah ini yang hanya dipahami sebagai pelaksanaan shalat dua rakaat dan berkurban. Sementara, bagaimana mewujudkan pesan tersirat dari Idul Adha itu sendiri tidak ditonjolkan. Penegasan Nabi bahwa tidak ada yang lebih dekat dengan Tuhan selama hari-hari Kurban selain menyembelih binatang ternak menunjukkan Tuhan hadir tidak hanya di tempat ibadah, sakral, tetapi dalam ritual ‘penyembelihan kurban’, profan. Dengan kata lain, hal ihwal duniawi merupakan jalan lain menuju ilahi. Sepatutnya, sebagaimana dalam etika Protestan Max Weber, dorongan untuk berkurban bisa dianggap panggilan atau beruf yang bisa mendorong pada kemandirian ekonomi umat.

Semangat Bederma

Idul Adha adalah momen untuk mengingatkan Muslim agar mengagungkan Tuhan dan peduli dengan masyarakat sekelilingnya. Pada hari raya inilah mereka bersua dan bercengkerama. Ini tidak berarti setelah mereka menunaikan shalat dua rakat dan berkorban seekor lembu, tugas agama telah tertunai secara sempurna. Semangat dari perintah ini adalah bagaimana rasa religiositas merembesi prilaku sehari-hari dan keprihatinan itu berbuah tindakan. Lalu, bagaimana mewujudkan semangat ini dalam kehidupan sehari-hari?

Pengagungan Tuhan tentu mengandaikan ketaatan mutlak hamba yang tidak direcoki dengan berhala-hala lain dalam kehidupan, seperti jabatan, rumah, mobil dan lain-lain. Sementara keprihatinan itu mendorong semua pihak untuk memikirkan bagaimana upaya menghapuskan kemiskinan bisa dilakukan melalui pengadaan dan pemeliharaan hewan ternak yang melibatkan peternak tak bermodal. Mungkin, inilah yang perlu dirawat lebih telaten dan teratur agar amal kedermawanan itu tidak bersifat sementara dan karikatif.

Di tengah kehendak mewujudkan perubahan itu, sebenarnya banyak lembaga amil zakat yang mencoba menjadikan usaha ternak menjadi bagian proyek yang produktif. Salah satunya adalah Lembaga Amil Zakat Yaumil LGN Bontang Kalimatan Timur. Dengan mendata rumah tangga miskin, badan tersebut mengelola ternak yang diserahkan pada peternak tanpa modal dan diawasi secara berkala. Lebih jauh dari itu, publik juga mempunyai akses terhadap perkembangan usaha tersebut melalui laman sesawang (website) dan tak hanya itu, seluruh kegiatan amal ini telah diaudit.

Dengan slogan amanah, profesional dan inovatif, lembaga di atas berhasil menjadi mediasi antara dermawan dan orang yang memerlukan modal untuk usaha kecil. Uniknya, syarat pengisian formulir pinjaman memasukkan pengesahan ketua Rukun Tetangga dan pengurus masjid (takmir) setempat. Ini berarti bahwa pemberian kredit mikro ini memusatkan pengembangan ekonomi berbasis lokal. Selain itu, ia juga melihat bahwa masjid tidak hanya dilihat sebagai tempat ibadah, tetapi juga muamalah (interaksi sosial-ekonomi). Pendek kata, fungsi sosial dari agama harus diperhatikan untuk mewujukan ketahanan dan kemandirian umat.

Tentu, banyak organisasi serupa yang telah berkiprah di tengah masyarakat. Di tengah hiruk-pikuk kelompok masyarakat yang berjuang untuk menegakkan syari’ah secara formal, organisasi yang memusatkan perhatian pada pengembangan ekonomi masyarakat luas telah maju selangkah dalam menanamkan nilai-nilai syari’ah itu dalam kehidupan praktis. Maksud syari’ah yang terkait dengan pembelaan martabat manusia akan lebih terasa dengan amal nyata, dibandingkan retorika. Untuk itu, mereka yang acapkali turun ke jalan seraya membawa spanduk dan bendera untuk mendirikan negara Islam atau khilafah, sebaiknya pulang ke kampung halaman masing-masing, karena kedaulatan umat itu ditandai dengan kesejahteraan konkrit, bukan janji-janji kemakmuran yang akan diraih dengan mengubah dasar negara.

Agama Progresif

Tarik menarik kubu liberal dan revivalis berkait dengan persoalan keagamaan selama ini masih berkisar pada isu negara Islam, perkawinan antarumat beragama, jalan keselamatan, kebenaran mutlak, yang sejatinya mengandaikan pluralisme pendapat. Memang, kita memerlukan jawaban dari persoalan tersebut, namun perseteruan yang telah berlangsung lama dan tak kunjung usai tidak harus menenggelamkan isu lain, pembebasan umat dari ketergantungan. Apatah lagi, perselisihan di atas hanya berpusar pada kalangan elit intelektual kedua kelompok. Sementara, konsep etik Islam berkait dengan pembelaan terhadap kaum miskin terabaikan.

Untuk itu, Islam Progresif tak ingin lagi berkutat pada isu-isu kontroversial tersebut, melainkan bagaimana mewujudkan keadilan sosial yang selama ini diabaikan. Pada masa yang sama, Omid Safi dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (2003) menegaskan bahwa keadilan itu tidak terwujud jika keadilan perempuan tidak diperhatikan. Tentu, tesis yang terakhir ini tidak berlebihan karena kaum perempuan memegang posisi kunci dalam ekonomi keluarga. Keberhasilan Grameenbank Mohammad Yunus dari Bangladesh dalam memberdayakan partisipasi kaum ibu dalam penguatan kemandirian keluarga tentu menjadi proyek yang patut dipertimbangkan oleh banyak pihak. Di banyak daerah di Indonesia, kaum ibu juga terlibat dalam usaha peternakan sapi, yang tentu saja usaha mereka akan makin kuat dengan dukungan banyak pihak.

Sudah saatnya, semangat revolusioner agama tidak dibekap pada jargon dan drama panggung. Energi umat yang banyak dihabiskan untuk memperebutkan kebenaran sepihak telah menghilangkan kesempatan untuk merawat pesan tersirat kewajiban agama, kepedulian terhadap yang teraniaya dan terpinggirkan. Adalah ironi jika mereka yang menabalkan dirinya cerdik pandai hanya beradu hujah, sementara umat yang mesti dibela menanggung padah. Ketimpangan distribusi kekayaan telah menimbulkan banyak mudarat. Jika ibadah Kurban itu merupakan ikhtiar untuk menciptakan keadilan sosial, maka sepatutnya semua kelompok bahu membahu untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut dan kelompok yang terakhir inilah yang seharusnya mendapatkan dukungan orang ramai. Selamat Hari Raya Berkorban!

Sunday, November 21, 2010

Buku Orang Ramai

Setiap orang akan memilih bacaan yang sesuai dengan kehendak, kemampuan dan kecenderungan alam pikirannya. Jika kita menemukan buku ini diletakkan di rak sebuah toko yang mengisi ruang pasaraya, TESCO, perusahaan multinasional Yahudi Inggeris itu, maka kita bisa membayangkan apa yang diingikan orang ramai tentang kehidupan. Agama itu hal praktis. Sementara, hanya segelintir yang memikiran masalah keagamaan secara teoritis. Keduanya tak perlu bersitegang, namun pasar menghendaki mereka beradu hujah agar banyak barang jualan yang laku, seperti buku, koran dan CD.

Begitu banyak khalayak membaca doa dan kitab suci agar hidupnya tentram, sementara sedikit orang bergelut dengan teori untuk mencari jawaban mengapa mereka melakukan hal itu. Celakanya, tak jarang masyarakat luas dibuat bingung oleh wacana yang diurai oleh segelintir bahwa jalan mereka perlu disoal ulang. Meskipun khalayak itu tak bersuara, mereka mempunyai pengawal yang berteriak lantang bahwa pemikiran keagamaan itu tidak boleh diringkus dengan akal. Sikap pasrah adalah kunci untuk menemukan berkah. Adakah yang segelintir itu menolak berkah? Tidak, hanya maknanya mungkin tak sama.

Coba lihat sampul buku yang mengungkap tentang dunia kematian yang berada di sebelah buku Ustaz Yusuf Mansur, Mencari Tuhan yang Hilang. Tentu, ia bukan perenungan filsafat. Di dalamnya, orang diminta berbuat baik karena keburukan membawa padah di alam kubur. Lalu, filsuf menyebut alasan kategori imperatif untuk menyuruh kita berbuat baik. Bahasa dan penalarannya berbeda, namun sama-sama ingin memberikan dasar agar kita melakukan kebaikan. Setiap pribadi tentu menanggung rasa nyaman masing-masing dengan memilih alasan. Tentu saja, alasan yang terakhir tidak diucapkan dengan alesan seraya merengus dan berlalu pergi dengan bermuka masam.

Thursday, November 18, 2010

Merayakan Kurban 1431 H


Kami bangun lebih awal untuk menyambut hari Idul Adha 1431 H. Ia adalah pengorbanan kecil, melawan kantuk dan mandi di pagi hari. Demikian pula, si kecil dibangunkan dengan membuat kebisingan, melakukan ini itu. Aha, akhirnya Nabiyya bangun. Ketika pagi masih muram, kami melaju ke depan masjid untuk menaiki bus. Tak perlu waktu lama, kami pun berangkat ke Jalan Burma. Di tengah jalan, Pak Nuhung, mahasiswa asal Makassar, memimpin bacaan takbir. Tiba-tiba getaran merambat ke seluruh tubuh.

Sesampai di sana, kantor konsulat masih lengang. Pak Chilman, konsul, menyambut warga dengan riang. Kami masih sempat mengambil gambar sebagai kenangan, sebelum beranjak ke tempat shalat Id akan digelar. Secara bergantian, mereka memimpin bacaan takbir, tahlil dan tahmid. Pada pukul 8.15, shalat Id dilakukan dengan diimami oleh Ustaz Yasir, mahasiswa asal Aceh. Lalu, khutbah tentang pengorbanan mengisi udara pagi yang terang. Setelah usai, para jamaah bersalaman dengan melingkar agar satu sama lain bisa berjabat tangan. Tanpa menunggu lama lagi, mereka pun berhamburan ke ruang sebelah kantor imigrasi untuk menikmati ketupat dan rendang.

Di sela-sela makan lontong, saya berjumpa dengan Pak Said, pekerja migran asal Lamongan, yang telah lama bekerja di negeri jiran. Dengan ringan dia bercerita bahwa pekerjaan itu memerlukan kegiatan lain untuk membuat hidup lebih tentram. Oleh karena itu, dia masih menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian keagamaan. Beberapa hari sebelumnya, bersama mahasiswa asal Indonesia, dia bertandang ke Kulim Kedah untuk mengaji bersama para buruh. Sebelum mengakhiri pertemuan, kami pun bertukar nomor telepon.

Melepas Anak Panah

Seperti orang tua yang lain, saya membiarkan si kecil untuk mencari dunianya. Gambar yang bertebaran di majalah mencuri perhatian, tak hanya sekali, berulang kali. Acapkali ia menekuri wajah orang-orang. Adakah dia sedang membandingkan watak orang tuanya dan liyan? Mungkin. Wajah tak pernah menipu kita, bukan? Oh ya, setiap kali saya berkata tegas, ia pun berucap ayah, ayah, seraya menuju pada gambar kami yang digantung di tembok, tak jauh dari meja membaca. Ya, gambar itu adalah pengalaman kami berdua menelusuri kebersamaan di Bukit Cameron, Pahang. Di situ, kami tampak sumringah. Mungkin, si kecil ingin menyampaikan kalimat, mbok ya santai, Dab!

Orang tua memang selalu direpotkan tingkah anaknya. Ketika kami merapikan kamar, dengan santai si kecil akan mengacak hingga suasana bilik itu seperti kapal pecah. Sepertinya ia meledek kami, bahwa rumah itu harus meriah, di mana pelbagai benda bertaburan. Malah, dengan tenang, tangan mungilnya menarik apa pun yang digeletakkan di meja. Apa pun yang menarik perhatian dan bisa dijangkau, semua harus digenggam, lalu dibuang. Adakah rasa nyaman hadir dalam keadaan centang-perenang? Mungkin, apabila kita mau melihat itu dari cara si kecil melihat keadaan. Apalagi, dalam sebuah penelitian, anak yang aktif cenderung cerdas.

Kami pun mencoba memahaminya, menerima tingkahnya yang mengusik rasa nyaman. Toh, tak hanya di rumah, kami pun juga dihadapkan dengan cara pandangan lain di luar. Pendek kata, rumah kami adalah tempat paling dekat untuk belajar menerima perbedaan. Tapi, saya pun tak henti-henti mengajarkan si kecil untuk belajar membersihkan rumah dan sering mengajaknya ke tempat sampah, membuang sisa-sisa masakan. Meskipun, dengan senang hati, kami bisa membuangnya melalui jendela, tanpa bersusah payah ke bawah, hanya untuk membuang sampah.

Thursday, November 11, 2010


Kadang hidup tak selalu berjalan seperti yang diinginkan. Niat hati melaju ke kampus, saya tertahan karena langit ambrol. Di bulan November, hujan datang tanpa bisa diramalkan. Saya pun hanya mengail ingatan, apa yang pernah terjadi di sini? Lapangan sepak bola kampus menyeret saya pada pengalaman pertama kali menginjakkan kaki, merasakan keras konblok ketika berlari di pagi hari setelah Subuh, atau sore ketika matahari masih bertengger di atas bukit. Bahkan, saya pernah bermain bola, baik satu lapangan penuh atau hanya separuhnya dengan teman-teman.
Di sini, saya pernah duduk di tribun seraya menonton pertandingan bola. Di lain waktu, saya juga bermain tenis di sebelah kiri lapangan. Setiap kali hujan, saya membayangkan lapangan itu basah dan rumput naik, berwarna hijau segar. Mata pun bugar. Adakah hujan itu ingin memberitahu saya bahwa saya telah lama tak singgah ke sini untuk melemaskan otot dan memeras keringat? Pengalaman yang juga tak dilupakan tentu pertandingan final Nike bawah 15 tahun antara tim Indonesia-Malaysia. Meskipun kalah, saya menemukan semangat para remaja itu. Semoga mereka masih berjalan lurus untuk menjadi pemain handal.
Lalu, setelah hujan berhenti, saya pun bergegas ke kampus. Diiringi rintik, saya menembus jalan yang masih muram. Bau rumput dan pohon menyengat. Alam selalu membuat saya nyaman. Dalam hujan dan panas, pesonanya tak hilang. Hanya saja setelah bumi diterjang panas, hujan yang menderu dan hilang, memercik keindahan tersendiri. Udara lebih bersih dan pandangan mata lebih jernih karena debu tak berkeliaran, beringas.

Tuesday, November 09, 2010

Kami Peduli

Hari Sabtu, para mahasiswa dan pekerja asal Indonesia di Pulau Pinang senantiasa duduk bersama, mendengar dan bertanya hal ihwal keagamaan di Masjid Kampus al-Khalid. Secara bergiliran, para ustaz tampil untuk berbagi dengan warga agar batin mereka tak meranggas. Selain mengasup pengetahuan, mereka pun menjalin silaturahim. Di sini, gagasan lain bermunculan, tak melulu tentang bagaimana merawat iman, tetapi juga lebih jauh menyuburkan amal kebajikan. Bahkan, sebagian lain memupuk literasi kesusastraan di sini.

Mengingat negeri dirundung bencana, para mahasiswa mengambil inisiatif untuk mengumpulkan dana bagi korban gempa, banjir dan letusan Merapi. Mungkin, sumbangan itu tak banyak, namun keprihatinan ini semoga berguna bagi mereka bahwa korban tak sendirian. Bahkan, di akhir acara pengajian, sang ustaz, Bapak Riswan, memimpin doa agar mereka tabah dan siap untuk terus berusaha keluar dari nestapa. Bagi kami di sana, jalan selamat, tema pengajian, adalah perwujudan dari doa-doa kami dalam surat al-Fatihah, agar kami menemukan jalan lurus (sirat al-mustaqim), jalan para hamba yang diberi nikmat, yaitu para nabi, pencari kebenaran, martir dan saleh.

Selanjutnya, di bawah koordinasi Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Sains Malaysia, mahasiswa mengedarkan kotak sumbangan di kampus setelah mendapatkan izin dari rektorat. Meski negeri tetangga ini juga dilanda banjir, namun warga di sana turut menyumbang sebagai bentuk kepedulian. Dengan menanggung bersama, kita akan menjadi manusia yang tak lagi melihat cobaan ini adalah hukuman, tetapi pelajaran untuk menata hidup bersama lebih baik. Semoga! Dalam keadaan seperti ini, satu sama lain saling menyangga agar penderitaan ini tertanggungkan.

Saturday, November 06, 2010

Mencegah DPR ke Luar Negeri

Oleh Ahmad Sahidah

Suara Karya, Kamis, 4 Nopember 2010

Ketika banyak orang menyoal anggota legislatif yang bertandang ke Yunani, media massa Ibukota melaporkan bahwa DPR sendiri terbelah mengenai peri pentingnya mereka melawat ke negeri seberang untuk melakukan studi banding. Ironis, sebagai kaum terpelajar mereka masih harus bersekolah kembali untuk mengerti etika. Meskipun dengan alasan kesungguhan, logika tentang pengalaman, bukan hanya pengetahuan, ia tetap melawan akal sehat. Hakikatnya, mereka bisa dengan mudah membuka buku Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, yang ditulis oleh wakil presiden pertama RI. Meski orang nomor dua di awal kemerdekaan itu tidak pernah melawat ke negeri Dewa itu, namun dia memahami dengan baik filsafat negeri Zeus.

Dengan pemahaman yang utuh ini, Hatta hampir-hampir merupakan cermin yang sempurna dari kearifan yang ingin ditimbulkan dari kedalaman berpikir. Meskipun ia bisa meraup kekayaan dengan cara culas, namun lelaki asal Sumatera Barat ini memilih hidup sederhana. Cerita sepasang sepatu yang ingin dibelinya pun menunjukkan bahwa keinginan itu tak semestinya menghalalkan segala cara. Dengan analogi ini, sepatutnya, anggota DPR yang berkunjung ke Yunani akan meneladani perilaku mulia itu, meski berharap cemas ini tidak akan terwujud karena alasan mereka pun tidak kokoh dan hanya didasarkan dari kekacauan berpikir.

Masihkah tersisa persangkaan baik untuk mereka yang ingin melakukan studi banding ke luar negeri? Tidak! Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa aroma tidak sedap selalu mengiringi program jalan-jalan yang dibungkus dengan alasan studi banding. Lagi pula, sebagai orang yang terpilih dan dipercaya banyak orang, sepatutnya anggota dewan yang terhormat itu memiliki mandat (credential) yang teruji, baik moral maupun pendidikan. Adalah berlebihan jika mereka menghabiskan anggaran hanya untuk menengok kembali pelajaran tentang etika dan cara mengurus negara.

Baca Buku

Memang benar, pengetahuan dan pengalaman adalah dua hal yang berbeda. Secara kognitif, pengetahuan tentang baik bisa diperoleh oleh manusia, namun pengalaman tentang baik bersifat subjektif, lain lubuk lain ikannya. Adalah wajar jika seseorang atau kelompok ingin mengetahui kebiasaan yang baik dari orang lain. Mungkin ada keuntungan praktis yang akan diperoleh oleh anggota DPR yang melakukan studi banding ke Yunani. Masalahnya, apakah anggota legislatif tidak melihat bahwa Yunani yang dulu dan sekarang jauh berbeda?

Jasad pemikir besar, seperti Socrates, Aristoteles dan Plato, telah menjadi abu. Pemikiran mereka yang cemerlang pun telah menyebar yang bisa dilihat dari dekat. Kalaupun ingin mempelajari pemikiran mereka secara langsung, anggota DPR bisa bertandang ke Kunikunoya, toko buku asal Jepang, yang menyediakan buku-buku asing dengan mudah. Mereka hanya perlu melangkahkan kaki sepelemparan batu ke Plaza Senayan. Kalaupun buku Aristoteles, Politics, dan Plato, Republics, tak tersedia, mereka bisa memesan pada petugas yang hanya berbandrol harga 5 dolar AS dan 3 dolar AS. Kedua buku ini berharga murah karena dicetak dengan kertas koran. Dengan uang Rp 150 ribu, mereka bisa menekuri ide cerdas dari filsuf kawakan itu.

Hakikatnya, bangsa ini telah menyerap pemikiran besar itu dalam praktik kenegaraan. Harus diakui tata kelola Republik ini mengacu pada pengalaman Eropa yang diilhami dan dikembangkan dari pemikiran besar para filsuf itu. Adalah berlebihan jika mereka masih kagok untuk melihat kembali praktik politik dan etik itu ke negara asalnya. Apatah lagi, pengalaman panjang sebagai negeri yang pernah mempunyai kerajaan besar di Asia Tenggara dan mengalami transisi ke demokrasi yang sejati, hakikatnya bangsa Indonesia telah berhasil menyemai nilai-nilai etika itu dalam praktik politik.

Hanya saja, tantangan terbesar untuk mereka yang duduk di parlemen adalah mewujudkan tugas mereka yang terkait dengan keterwakilan, pembuatan undang-undangan dan pengawasan. Di atas kertas, semua ini telah diterakan dalam peraturan. Namun, implementasi di lapangan lancung. Betapa banyak undang-undang yang seharusnya telah disahkan terbengkalai. Demikian pula, betapa banyak masalah konstituennya diabaikan oleh wakilnya dan pengawasan terhadap eksekutif hanya berbuah kongkalikong. Masih segar di ingatan, perebutan jabatan elit publik adalah lubuk rezeki bagi banyak anggota dewan, yang telah menjebloskan mereka ke hotel prodeo.

Atas dasar kenyataan ini, mereka tidak perlu belajar ke Yunani untuk memastikan apakah praktik di atas keliru atau tidak. Akal sehat saja jelas-jelas menampik apa yang disebut dengan Nudirman Munir sebagai 'pengalaman' itu tidak bisa ditemukan di internet. Kealpaan untuk menyemai nilai etik lebih disebabkan para anggota itu gagap menjadi petinggi. Ukuran 'luar negeri' masih dijadikan standar untuk belajar sesuatu. Padahal, di negeri ini, hampir semua aliran filsafat telah didiskusikan. Malah, buku-buku filsafat, dari klasik hingga posmodern, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Belum lagi, betapa banyak perguruan tinggi yang mempunyai jurusan filsafat.

Kalau pun kita masih menyisakan empati terhadap anggota dari pelbagai fraksi yang berkunjung ke negeri Xena itu, mari kita membuat panggung rakyat untuk menguji sejauh mana mereka mengambil pelajaran dan kehendak untuk mewujudkan hasil studi banding itu menjadi kenyataan. Jika laporan yang dibuat tak jauh berbeda dengan makalah, buku dan opini yang telah banyak beredar di masyarakat, dengan senang hati kita bisa menerakan tanda 'silang' dan menulis dengan tinta merah di dahi mereka, 'pecundang'. ***

Penulis adalah peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia



Yogya Menyangga Hubungan Serumpun

Kedaulatan Rakyat, 05/11/2010 08:54:23

Pernyataan Dato’ Seri Ahmad Zahid Hamidi, Menteri Pertahanan Malaysia, bahwa negeri jiran itu akan membantu Indonesia tentu melegakan banyak pihak. Meskipun demikian, politikus berdarah Yogyakarta ini tetap menunggu lampu hijau dari Indonesia. Untuk kesekian kalinya, melalui bekas ketua Pemuda UMNO ini, negeri jiran mengulurkan bantuan pada korban bencana alam di sini. Sebenarnya, pemerintah Indonesia juga melakukan hal serupa, meskipun tak sebanyak Malaysia karena bencana di negeri ini tak kunjung henti dan terjadi di banyak negeri.

Tak hanya itu, mahasiswa kedokteran asal Malaysia yang belajar di Universitas Negeri Surakarta dan Universitas Gadjah Mada turut turun ke lapangan untuk menjadi sukarelawan (Utusan, 28/10/10). Berita seperti ini tentu menyerap ke dalam kesadaran warga di sana betapa mereka begitu baik dan rela membantu saudaranya. Tak ayal, kebaikan ini diungkit ketika segelintir demonstran yang membakar bendera Jalur Gemilang di depan kedutaan besar Malaysia di Jakarta. Mereka heran dengan ulah sekelompok orang yang memperlakukan saudaranya dengan kasar sementara mereka tak pernah menyakiti dan bahkan menyantuni warga Indonesia yang ditimpa bencana?

Padahal, di tengah hubungan yang naik turun ini, keduanya telah menjalin hubungan yang erat untuk memastikan kerja sama dalam pelbagai bidang berjalan baik. Malaysia menanamkan modal dalam bidang perbankan, perkebunan, perminyakan dan pariwisata. Malah, bank CIMB Niaga menangguk keuntungan hingga Rp 1,79 triliun untuk tahun 2010. Dengan kenyataan ini, pemangku kepentingan harus segera memikirkan komunikasi efektif dengan negara tetangga agar riak permusuhan tak menyebabkan gelombang pertengkaran.

Bagaimanapun, pembiaran isu perselisihan akan menyeret pada kemungkinan kerugian yang ditanggung keduanya. Sementara, pemulihannya tak mungkin disemai dalam waktu singkat. Apalagi, dengan penerbangan dua kali dari Kuala Lumpur-Yogyakarta, sepatutnya maskapai penerbangan Air Asia, MAS dan Garuda Indonesia, akan lebih banyak mengangkut penumpang yang akan berkunjung ke kota ini. Yogyakarta adalah kota yang relatif dikenal di negeri jiran itu. Apa lagi, iklan Visit Indonesia selalu memasukkan kota pelajar ini sebagai bagian dari daerah yang layak untuk dikunjungi. Namun, program yang tidak dilakukan oleh Yogyakarta adalah kerja sama antara pemerintah daerah untuk mewujudkan kota kembar (sister city) dengan negara yang setiap hari berhubungan secara langsung dalam banyak kegiatan ekonomi dan politik secara intensif. Biasanya, proses di atas diikuti dengan universitas kembar.

Sebenarnya, kerja sama antara perguruan tinggi telah dilakukan dengan menyelenggarakan seminar internasional bersama antara Universitas Gadjah Mada dan Universitas Malaya. Dengan kekuasaan pengetahuan yang ada pada mereka, isu terkait dengan pertikaian dua negara sepatutnya bisa didiskusikan secara lebih rasional dan berkepala dingin. Namun, apa lacur, tidak semua kalangan akademikus mempunyai pandangan yang sama tentang isu yang seringkali muncul berulang-ulang. Untuk itu, kita memerlukan kuasa lain untuk turut mendorong dialog lebih sehat, politikus dan media. Keduanya harus memastikan bahwa penghalang hubungan dua negara selalu bersumber pada masalah lapuk.

Kadang tak dapat dielakkan, provokasi media dan politisi membuat emosi khalayak luas ikut tersulut. Meski mayoritas orang tak bertindak kasar, namun coretan di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, membuat cemas banyak orang yang ingin melihat hubungan kedua negara berada pada kedudukan setara. Untungnya, banyak politikus dan media yang lain berusaha untuk melihat persoalan secara lebih jernih. Adalah tidak keliru mengungkit perlakuan tidak adil negara tetangga terhadap buruh migran Indonesia, misalnya, tetapi pada waktu yang sama kita di sini tidak bisa menafikan usaha aparatur di sana untuk menyelesaikan masalah yang mengganggu keduanya. Contoh yang masih segar di ingatan adalah peristiwa tragis yang menimpa Win Faidah, buruh migran asal Pacitan, yang harus menanggung penderitaan batin yang dahsyat karena diperkosa oleh majikannya. Tak hanya itu, siksaan fisik yang dialami turut merusak tubuhnya. Namun, hanya dalam hitungan hari, pihak aparat berhasil meringkus sang majikan yang berkebangsaan India. Simpati pun datang dari pejabat publik lokal, seperti gubernur dan kepala polisi daerah. Media pun turut memberitakan tragedi ini sehingga ia menjadi peringatan agar hal serupa tak berulang dan pelakunya segera dihukum berat. Pendek kata, kejahatan kemanusiaan harus diadili, tanpa harus memantik isu bahwa itu dilakukan oleh warga Malaysia secara keseluruhan.

Harus diakui, sebagian besar pekerja kita di sana bisa mencari nafkah dengan baik. Pada waktu yang sama, tantangan yang jauh lebih besar adalah memastikan agar hubungan kedua negara bisa berlanjut secara mulus. Keduanya telah banyak mempertaruhkan modal dan menandatangani kerja sama untuk keuntungan kedua belah pihak. Jika ulah segelintir orang merusak kehendak yang lebih besar itu, kita takluk pada gertakan sekelompok kecil masyarakat yang marah. Apalagi, iklan Visit Indonesia ditayangkan kembali di televisi Malaysia, yang tentunya menyedot anggaran cukup besar dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Dengan makin banyaknya tujuan daerah wisata yang dijual ke warga negara tetangga, diharapkan limpahan wisatawan tak hanya berkisar di daerah terkenal, seperti Bali dan Jakarta. Yogyakarta sepatutnya mengambil inisiatif untuk mendorong kerja sama dengan kota-kota yang ada di Semenanjung untuk menarik turis dan investasi. Adalah aneh jika kota pelajar ini bisa menjalin dengan kota-kota di dunia, seperti Kyoto Jepang, Toeloes Perancis, Estevan Iran, Gangbuk-gu Korea Selatan, Hu, Vietnam, Hefei China, Baalbek Libanon dan lain-lain, namun tidak mau melirik potensi yang jauh lebih besar dengan kota-kota negeri tetangga.

Tentu, kita tidak mengabaikan kerja sama dengan negara-negara yang berada nun jauh di seberang, namun alangkah mendesaknya hubungan dengan negara terdekat terjalin lebih akrab. Ini terkait dengan kemungkinan arus kedatangan turis karena faktor jarak dan biaya. Demikian pula, hubungan yang terawat ini akan makin memudahkan kedua belah pihak untuk memantau perkembangan tenaga kerja asal Yogyakarta yang bekerja di seantero Malaysia. Maukah kita? q - k. (1906 A-2010). *) Ahmad Sahidah PhD, Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia.

Memahami Sesat

Kami pergi untuk memahami fenomena ajaran sesat. Sebelumnya, saya ngobrol dengan kawan karib, Ismae Katih, peneliti, tentang sisi sosiologis dari kaum sesat. Ternyata, individu atau kelompok yang dianggap menyimpang itu sepatutnya tidak hanya dilihat dari sisi teologis, tetapi juga sisi lain yang menjelaskan mengapa mereka mengambil jalan yang berbeda. Adakah ini juga petanda bahwa pengawal agama gagal menyapa mereka? Jangan-jangan kita pun turut abai karena tak peduli.

Untuk menambah pengetahuan, kami pun pergi ke kantor agama propinsi, berjumpa salah seorang pegawainya untuk berbagi cerita. Di sana pun, kami mencoba mencari asal-muasal ajaran sesat, tetapi juga bertukar kabar tentang genealogi pemikiran keagamaan di Pulau Pinang dan sekitarnya. Mungkin, ini akan selalu terjadi, kita akan berbincang hal ihwal di luar kewajiban, mencari tahu tentang pertanyaan penelitian. Lalu, setelah informasi di tangan, kami pun pamit dan sempat berfoto di depan kantor. Malah, kami sempat membeli goreng pisang dan ketela.

Selanjutnya, kami berempat, Halim, Ismae, dan Saiku menuju pantai. Di sana, cerita mengalir sahdu di tepi laut yang berlatar jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Kebetulan, si pemilik kedai mau bergabung dan bercerita bahwa pihak berwenang memintanya untuk pindah karena warung ini tidak memenuhi syarat, seperti tempat pembuangan air kumbahan, fasilitas kamar mandi dan tentu mengambil ruang publik, pantai. Aha, ternyata saya selalu menemukan masalah setiap kali ingin mengerti tentang hidup.

Thursday, November 04, 2010

Titik Temu antara Proyek dan Kelestarian


Acara pengukuhan guru besar (profesor) di kampus kali ini menggema jauh. Spanduk telah dibentang jauh hari sebelumnya. 3 November 2010 adalah hari perayaan sebuah prestasi, sebagaimana ini telah dilakukan di Yunani. Dosen arsitektur, Omar Osman, membawa pidato itu dengan judul "Pengurusan Projek dan Kelestarian: Titik Pertemuan". Namun, acara tersebut tak melulu tentang kuliah umum yang dihadiri oleh banyak orang, tetapi juga melalui pameran apa yang telah dilakukan kampus untuk mendekatkan mahasiswa dengan lingkungan agar tak punah.

Ruang pameran di depan gedung pertemuan Dewan Budaya mempelihatkan papan yang berisi hal ihwal apa yang telah dilakukan mahasiswa dalam pelbagai kegiatan, kebudayaan, olahraga dan program penyelamatan alam. Malah, panitia penyelenggara sempat membawa alam buatan di mana air menyembur pelan di sebuah gentong hitam. Gemericik itu beradu dengan suara manusia. Di ujung, sekelompok orang menampilkan persembahan Silat Gayung yang diiringi bebunyian. Sambil menunggu kehadiran Raja Muda Perlis, hiruk-pikuk berjalan serentak.

Di acara inti, penyampaian kuliah, semua yang hadir tampak khusyuk mendengar uraian tentang pentingnya mempertemukan kepentingan modal dan idealisme tentang kehidupan yang berkelanjutan (di Malaysia, kata sustainable diterjemahkan dengan lestari). Sang profesor menyadari bahwa uang itu menggerakan pembangunan, namun kalau tak ada kuasa yang mencegah efek buruk dari 'keserakahan', biaya perbaikan akan menelan modal dan bahkan mendatangkan bencana, seperti terjadi pada penggundulan hutan di Sumatera. Tujuh unsur penting untuk mewujudkan harmoni adalah institusi, governans, sumber, bakat, luaran dan metodologi.

Lalu, setelah kuliah usai, peserta berhamburan ke tenda untuk makan siang.


Monday, November 01, 2010

Makan Sate

Semalam saya menikmati kembali sate di warung pinggir jalan. Tetapi, saya datang dengan orang yang berbeda, tak lagi dengan kawan baik, Pak Isyam dan Mas Ayi (lihat gambar). Untuk kesekian kalinya, saya mengasup daging bakar dan sambal kacang. Meski bisa dihitung dengan jari, makan malam di sini memantik banyak ingatan. Sejauh mugkin saya mengajak pengunjung lain untuk berbincang ringan. Di sebelah meja, tampak dua orang sedang menunggu dan dengan senang hati memberikan kami 'ruang' untuk berkongsi.

Pemilik warung pulang kampung untuk menunaikan haji. Anaknya, Mas Ainurrahman, menggantikan bapaknya menjalankan perniagaan. Meski baru memulai, si anak sudah cepat belajar. Namun, ia pun kelabakan karena begitu banyak pelanggan yang menuntut pelayanan segera. Ada banyak yang tercecer, seperti ketimun dan bawang merah yang tak sempat dikupas. Kami pun memaklumi. Toh, sepuluh tusuk sate dan sambal kacang telah mengobati kangen pada aroma daging dibakar. Hanya beberapa kerat bawang merah mampir di piring.

Dengan hanya menempel di warung makan China, warung ini menarik banyak warga lokal, kebanyakan Indonesia dan Melayu. Tidak susah membedakan mereka, kami hanya mendengar cara mereka memesan makanan. Saya pun memilih untuk berbincang dengan beberapa pekerja migran, yang kebanyakan berasal dari Tanah Sumatera dan Jawa. Semalam, bapak setengah baya yang berasal dari Gresik sempat bercerita banyak dan saya pun mendengar penuh takzim. Sambil menyedot rokok Gudang Garam coklat 16, bapak itu berkisah hal ihwal pengalamannya sebagai pekerja asing.

Di sela-sela kepulan asap, saya sempat mendengar seorang pekerja berteriak ringan, woi, kenapa sate lewat sangat! Belum lagi, beberapa orang berdiri menunggu dilayani: 10 ayam, 15 kambing. Tangan lincah Ainur mencoba beradu dengan pesanan, memasukkan sate ke piring yang dipenuhi sambal cabe dan kacang yang dilumuri kecap ABC-Heinz. Dua orang pekerja yang sedang membakar pun makin cepat mengipas seraya membolak-balik daging agar terbakar rata. Orang-orang bergegas agar makan malam tak terlambat. Ya, semua terburu-buru. Hidup tak ubahnya perlombaan, masing-masing berlari kencang agar segera sampai ke garis akhir. Sekilas, mereka mencoba memenangkan perhatian agar segera mendapatkan pelayanan.

Ayo, berlari sebelum malam berakhir. Esok pagi, kita pun masih berlari untuk tujuan yang lain pula. Mungkin kita tak memenangkan perlombaan, tetapi sampai ke garis akhir dengan selamat tentu melegakan. Namun, setelah kenyang, kita akan berlari lagi. Hanya saja kita perlu sabar, agar tak dirundung lelah, sebab di waktu jeda, kita tak sempat memikirkan bahwa hidup tak melulu berlari, tetapi juga berhenti untuk menghela napas. Tarik perlahan, ternyata hidup itu lebih indah dalam keadaan tenang, tak terburu-buru mereguk kepuasan.

Oh ya, kunjungan kali ini tak direncanakan sejak awal berangkat dari rumah. Kami dengan jiran yang baik, Pak Cik dan Mak Cik, ingin mengisi ujung minggu ke pasaraya, berbelanja kebutuhan sehari-hari. Di tengah jalan, ide makan sate muncul. Lalu, saya menelepon pemilik warung, memastikan buka malam ini. Aha, hidup ternyata tak selalu berada di atas kertas, kadang ia mengalir begitu saja, tanpa harus memikirkan ke mana ia bermuara. Ujung-ujungnya, kita hanya perlu kenyang, lalu berpikir bahwa di ujung sana, ada banyak orang yang sedang memikirkan menu apa malam ini? Ironis, saya melakukannya setelah mengasup sepuluh tusuk sate dan ingin menghapus kesalahan ini dengan berkilah bahwa saya masih memikirkan orang lain.

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...