Friday, April 27, 2007

Menemukan Islam yang Asli, Mungkinkah?

Tulisan saya di Jurnal Pemikir yang bermotto Telaga Akal Pancuran Budi (Bil. 48, April-Jun 2007) lahir dari kegelisahan tentang apakah agama yang saya anut adalah asli atau bukan? Bolehkah saya mengatakan tentang agama saya seperti dalam iklan, "Ini asli lho?!"?

Mungkin, kalau kita mau membaca artikel bertajuk "Menemukan Islam Tulen: Mengatasi Tradisionaliti dan Modeniti" di dalam Jurnal di atas, kita akan dihadapkan dua pilihan: Tradisional atau Modern? Kesimpulan saya adalah bahwa Islam yang asli atau otentik itu melampaui kategori keduanya.

Tentu saja, paparan tulisan ini lebih kental sisi teoretiknya, meskipun ada beberapa pernyataan yang menuju praksis. Pendek kata, saya sedang mencari basis epistemologi dan metafisik dari doktrin Islam tentang beragama secara otentik.

Lalu, bagaimana gagasan di atas diwujudkan dalam keseharian ? Saya justeru menemukan di dalam pengajian halaqah yang diperjuangkan oleh Mas Hilal, Mas Baim, Mas Maulana dan Mas Supri. Di dalam pengajian ini, kita duduk melingkar untuk membaca dan menelaah al-Qur'an, yang disebut dengan istilah tadabbur. Selain itu, acara ini juga mencatat amaliah kita selama seminggu, seperti menunaikan salat duha, berjamaah shalat lima waktu, berapa lembar al-Qur'an yang didaras, puasa sunnah, dan tahajud. Namun demikian, kita juga membahas isu-isu kontemporer, curhat, dan apakah dalam satu minggu ini kita melakukan olahraga (riyadah). Sebagaimana dikatakan Mas Hilal, pencatatan itu dilakukan bukan untuk gagah-gagahan, tetapi cara mudah untuk mengingatkan agar tetap istiqamah. Ya, untuk menjadi muslim atau muslimah tulen memang bukan perkara gampang, tetapi tidak ada kata terlambat untuk memulainya. Hari ini, jangan menunggu esok!

Malangnya, agak susah untuk bisa melakukan shalat jamaah secara rutin atau ibadah-ibadah lain yang telah disebutkan di atas. Sebenarnya motivasi dan semangat bisa dihadirkan jika kita mau dekat dengan mereka yang terbiasa melakukannya, atawa kita boleh belajar dari pengalaman orang lain melalui bacaan. Barangkali buku yang ditulis oleh seorang sarjana Barat Muslimah Michaela Ozelsel bertajuk 40 Hari Khalwat: Catatan Harian Seorang Psikolog dalam Pengasingan diri Sufistik akan membantu kita untuk melantingkan semangat yang tertimbun dalam diri kita.

Ahmad Sahidah
Sedang membaca buku Ozelsel (Penanda buku ada di Hari ke-6).

Tuesday, April 24, 2007

Great Tradition in Ethics

Untuk keperluan disertasi, saya mencari pengertian hedonisme yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu untuk menggambarkan pandangan dunia orang Arab pada masa Nabi.

Di tengah pembacaan, saya menemukan kalimat yang menarik: In opposition to Aristippus, Epicures maintains that the duration of pleasures is more important than their intensity in achieving happiness. Consequently, he argues that the mental pleasures are in general superior to the physical, since they are longer lasting, albeit less intense. Although he finds the physical pleasures unobjectionable in themselves, he contends that the pursuit of them for their own sake does not lead to happiness, but to the reverse (see Denise (et.al), 1996: 49).

Ya, kesenangan mental sejatinya diburu, bukan material!

Selamat Hari Buku Sedunia

Kemarin, 23 April 2007, diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Mungkin tak banyak yang merayakannya sebagaimana Tahun Baru yang gegap gempita, mewah, gebyar dan penuh antusias atawa hari Valentine yang kerapkali diselingi degup dan debar jantung.

Ya, kita tak perlu melakukannya seperti pesta, sebab membaca itu mengasup jiwa dan minda. Lebih jauh, membaca sebenarnya mengubah hidup kita.

Biasanya, kata yang terkenal untuk mengenali seseorang adalah mendefinisikan “kamu sebagai apa?, ada yang mengatakan “kamu adalah siapa yang kamu temui”, “kamu adalah apa yang kamu makan”, dan yang paling menggugah “kamu adalah apa yang kamu baca”.

Jika kita membaca buku seni dan sastera kita telah menahbiskan diri sebagai seorang yang menyukai estetika, sehingga dunia dipandang sebagai keindahan. Kalau buku yang dibaca adalah karya para ulama, maka sang pembaca telah mengidentifikasi diri sebagai bagian dari pegiat agama yang ingin dunianya tak melulu dibekap oleh ihwal materi. Andaikata buku bacaannya dikarang oleh tokoh Kiri, semisal Marx, Gramsci, atau Tan Malaka, maka kita telah memosisikan diri sebagai mahasiswa kritis yang siap melawan kekuasaan tiranik dan kaum borjuasi yang menindas. Singkat kata, buku akan menggerakan kita untuk melakukan sesuatu. Jika, ia tidak mampu mendorong kita mengepalkan tangan, mungkin saja kita gagal memahaminya. Ya, membaca akan membuat kita mempunyai komitmen dan bertindak atas nama sebuah keyakinan.

Kemudian, bagaimana dengan saya? Saya membaca semuanya agar tidak terperangkap oleh 'kategori'. Ini didasarkan pada pesan QS al-Mujadilah:11 bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan mereka yang berilmu. Secara semantik, kata iman dan ilmu mempunyai hubungan erat. Tanpa iman, ilmu hanya memenuhi hasrat kognitif. Sebaliknya, iman tanpa ilmu tak lebih daripada kepercayaan tanpa roh. Hampa. Agama menghendaki akal budi, bukan sikap pasrah dan taklid (seperti kerbau yang dicucuk hidungnya). Kemana angin bertiup, ke situ kita mengikut.

Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru. Semua orang pun telah tahu. Tapi, pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa pengetahuan ternyata tidak cukup membuat kita tergerak untuk melakukannya? Taruhlah, kita yakin bahwa buku adalah gizi, tetapi pernahkah kita melahapnya setiap hari? Jika, ya jawabannya, kita akan sehat jiwa. Apakah tak perlu sehat raga? Saya tak perlu menjawabnya, sebab kita di sini termasuk orang yang cukup makan.

Ahmad Sahidah
Penikmat Buku

Sunday, April 22, 2007

Mengatasi Jenuh dengan Novel

Sehabis shalat Isya di surau Basement, saya bergegas sendirian ke warung makan. Di kepala, saya membayangkan makan roti canai dan segelas teh tarik. Tambahan lagi, saya ingin memindah 'ruangan' baca ke pelataran kedai makan, ya, saya ingin melanjutkan cerita romantik Genji dan Heiko dalam novel epik Jepang yang ditulis oleh Takashi Matsuoka. Terus terang, pertama kali saya membuka sampul belakang yang menceritakan bahwa sang penulis pernah bergiat di kuil Buddha Zen, tangan ini tergerak untuk meminjamnya. Sepertinya, saya telah menemukan cara untuk 'mengkayakan' disertasi saya. Aneh, bukan? Coba lihat, judul disertasi saya "Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam di dalam al-Qur'ān: Satu Kajian terhadap Analisis Semantik Toshihiko Izutsu melalui Pendekatan Hermeneutik". Rasanya jauh panggang dari api.

Tapi, sebenarnya novel tersebut terkait erat dengan disertasi saya. Pertama, kedua-duanya menceritakan peta kebudayaan Jepang. Kedua, Sang penulis mempunyai latar belakang yang sama, yaitu penganut Zen. Meskipun, tema dan gayanya berbeda, tetapi kedua-duanya sama-sama menceritakan tentang pergulatan manusia dan Tuhan. Saya tidak membayangkan jika tokoh yang saya teliti bisa menulis novel, mungkinkan kekayaan 'renungannya' akan juga mampu menggetarkan. Sebagaimana sang filsuf Jean Paul Sartre yang mempunyai kemampuan berfikir filsafat dan juga 'mengalihkan' bahasa yang rumit itu ke dalam sebuah novel (baca The Age of Reason di PHS1 dalam edisi terjemahan)

Lalu, mengapa saya menyiasati dengan membaca novel? Ketika saya membaca karya Izutsu Toward A Philosophy of Zen Buddhism, ternyata hal yang sama diungkapkan oleh Matsuoka dalam gaya naratif. Tentu saja, pemikiran 'diskursif' akan jauh lebih dirasakan jika ia diutarakan melalui cerita. Bukankah, al-Qur'an dalam banyak hal menyampaikan pesan moral dalam bentuk cerita (qissah)? Ya, ini dimaksudkan agar kita bisa mereguk pelajaran tanpa harus mengerutkan dahi.

Selain itu, setiap mahasiswa PhD acapkali disergap bosan dalam menulis disertasi. Nah, inilah kiat saya agar senantiasa merawat semangat dengan membaca novel, yang untungnya bisa membuka cakrawala dan membantu memahami bahasa disertasi yang kaku, rigid dan tak jarang menjemukan. Mungkin, di antara teman kita yang selalu menikmati mengerjakan disertasinya adalah Pak Nasir, karena beliau sedang menggarap novel Jean Season.

Friday, April 20, 2007

Menengok Perpustakaan di Negeri Jiran

AHMAD SAHIDAH
Mahasiswa PhD Ilmu Humaniora
Universitas Sains Malaysia

Mungkin semua orang akan mengakui bahwa wajah perpustakaan di tanah air tampak centang-perenang. Tentu saja keadaan ini sangat menyedihkan. Karena bagaimanapun ia adalah jantung dari dunia pengetahuan. Detaknya yang lambat akan membuat tubuh pengetahuan lemah, tidak energik dan tidak responsif menanggapi persoalan.

Mental ‘ambtenaar’ para pegawai perpustakaan adalah wajah pendidikan muram kita, meskipun harus dimaklumi gaji yang diterimanya tidak cukup untuk bekerja secara profesional. Mereka adalah pegawai biasa yang dilahirkan untuk mencatat peminjam buku, bukan membacanya. Terlalu berlebihan jika kita ingin membandingkannya dengan pustakawan perpustakaan universitas di Barat.

Kenyataan lain adalah bahwa hampir semua perpustakaan di seluruh negeri ini tampak mengenaskan, tidak hanya buku-buku baru bisa dihitung dengan jari, tetapi juga langganan jurnal hampir tidak dilakukan. Lalu, mungkinkah para mahasiswanya mengikuti diskursus terbaru? Malangnya lagi, saya mempunyai pengalaman yang mengharukan ketika menyambangi sebuah perpustakaan Pasca Sarjana UIN Jakarta yang tampak tak terurus dan koleksi yang tak layak untuk sekolah tingkat lanjut. Sebuah kenyataan yang menggerus nama besarnya sebagai universitas papan atas.

Tentu kita tak perlu meratapi ini, karena di tengah keadaan yang mengenaskan masih ada tangan-tangan terampil yang menulis buku, cerpen dan novel baru untuk dinikmati pembaca. Dalam hal ini, negeri Jiran harus gigit jari. Di sana, kita hanya akan disuguhkan ‘deretan’ karya asing. Bahkan, jika kita membaca buku terlaris di media massa, rata-rata adalah karya asing. Memang, secara rata-rata pelajar negeri Jiran terbiasa membaca literatur bahasa Inggeris. Apalagi, dua koran berbahasa Inggeris terkenal, the Star dan Newstraits juga menjadi menu harian bacaan mahasiswa sebagaimana koran berbahasa Melayu, Utusan dan Berita Harian.

Lalu, bagaimana sebenarnya wajah perpustakaan negera tetangga? Hampir semua perpustakaan universitas di sana buka sampai pukul sepuluh malam. Bahkan, pada hari minggu dan liburan semester kita masih bisa mengunjunginya. Geliat untuk menjadi lembaga pendidikan bertaraf internasional membuat pengelolanya menyesuaikan dengan standar ISO [International Organization for Standardization). Tidak hanya dipenuhi dengan buku-buku baru yang selalu dipajang di display, tetapi juga secara teratur mereka berlangganan jurnal baru berkaitan dengan pelbagai disiplin. Journal Foreign Affairs yang membuat artikel pertama Samuel Huntington tentang ‘Benturan Peradaban’ secara berkala dipampang di rak khusus majalah sehingga setiap mahasiswa bisa mengakses informasi terbaru tentang isu-isu hubungan internasional.

Bahkan, jurnal kiri (seperti New Left Review atau International Socialism) juga secara rutin diterima bersamaan dengan jurnal lain berkaitan dengan feminisme, kerja sosial, antropologi, sosiologi, kebudayaan populer dan disiplin lain sehingga ia benar-benar surga bagi mereka yang haus akan informasi terkini. Belum lagi, majalah terbitan luar seperti TIME, Newsweek, dan lain-lain. Fenomena semacam ini dapat ditemui di seluruh perpustakaan Negeri Jiran. Paling tidak, saya telah mendatangi 4 perpustakaan universitas di sana dengan fasilitas yang tak jauh berbeda.

Kerani perpustakaan dengan tanggap mengantarkan kita untuk menunjukkan buku yang kita cari tanpa wajah cemberut, meskipun kita tidak bisa berharap banyak ia akan bercerita isi buku. Bahkan, kotak saran tidak hanya menjadi aksesoris, namun benar-benar menjadi penghubung antara mahasiswa dan staf perpustakaan. Bahkan dengan sepotong kertas pengantar dari pembimbing disertasi, kita bisa meminta untuk membeli buku yang kita perlukan.

Selain itu, setiap perpustakaan di sana dilengkapi dengan ruangan untuk mendengarkan musik dengan sound system dan tempat yang nyaman dengan koleksi lagu dari klasik hingga modern. Sebuah tempat rehat yang nyaman ketika suntuk menyerang disebabkan mata lelah memelototi huruf-huruf, atau pengguna bisa pindah ke ruangan lain, tempat kita bisa meminjam pelbagai jenis film populer, dokumenter dan pengetahuan. Di sini, pembaca akan menemui banyak koleksi kuliah dalam bentuk kaset video dari beberapa sosiolog, filsuf dan bahkan seri kuliah Edward Said. Bahkan di sini para mahasiswa bisa menikmati film Hollywood. Oh ya, saya pernah ‘meminjam’ kaset CD ‘Instinct’ (tanpa Basic), lakonan Anthony Hopkins yang menceritakan seorang antropolog yang mengadakan penelitian kehidupan gorilla. Dalam perjalannya, sang tokoh ‘secara emosional’ menjadi keluarga besar binatang raksasa ini.

Fasilitas ini tentu saja tidak lahir begitu saja. Ia lahir bersama waktu dan keinginan untuk membenahi jantung pengetahuan. Tidak itu saja, bulan membaca diisi dengan banyak kegiatan meliputi seminar, workshop dan pameran. Bahkan, di ruang kosong perpustakaan dihiasi dengan foto peraih nobel. Uniknya, dalam sebuah pameran untuk menarik minat mahasiswa buku-buku Pram dan Hamka dipajang sebagai karya besar Nusantara (bukan Indonesia!).

Sebagaimana negara yang pernah belajar pada bangsa kita, seperti mendatangkan guru Indonesia pada tahun 1970-an, dan banyak para guru besarnya keturunan Indonesia, maka Malaysia telah memantapkan posisinya untuk menjadi universitas Internasional, meskipun kebanyakan mahasiswa berasal dari Timur Tengah, Asia Tenggara dan Asia Tengah. Tentu, ini belum seberapa dibandingkan dengan Amerika dan Eropa, namun kata teman teman saya dari UGM yang sedang menyelesaikan PhDnya di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) bahwa UGM mungkin tidak perlu malu untuk belajar mengurus perpustakaan dari Negeri Jiran ini. Sebagai mahasiswa bidang biologi, dia merasa dimanjakan oleh puluhan jurnal biologi yang dilanggan oleh pihak universitas. Aneh bukan?

Belum lagi, jika kita membandingkan dengan perpustakaan Universitas Nasional Singapura. Dalam sebuah kunjungan singkat, saya betul-betul menemukan tempat yang nyaman untuk menerokai khazanah pemikiran karena koleksi yang lengkap, baik dalam bentuk cetak atau elektronik. Bahkan, keramahan keraninya membuat kita seperti di rumah sendiri. Hebatnya lagi, di salah satu perpustakaan yang mengkhususkan kajian Asia tenggara, kita bisa membaca koran terbitan Indonesia (termasuk Republika) pada hari yang sama.

Namun jangan gundah, kita tak perlu menggantungkan pada tumpukan buku, yang kata Oka Rusmini dalam Sagranya, aku ingin mereka tidak sekadar kakus-kakus intelektual orang-orang luar. Ya, hampir semua buku yang ada di sana adalah karya orang luar. Penulis dari negera tetangga ini sendiri bisa dihitung dengan jari. Malah, buku-buku yang ditulis para pengarang Indonesia turut memenuhi rak-rak panjang perpustakaan universitas tempat saya belajar. Bahkan, dua buku teman sekelas saya di UIN Yogyakarta Kuswaidi Syafi’ie juga tersedia. Ah, betapa bangganya!

Dari paparan sekilas di atas, sudah waktunya para pendidik dan pejabat publik memikirkan bagaimana mewujudkan perpustakaan yang memenuhi standar internasional agar memungkinkan para mahasiswa dan masyarakat umum bisa mengakses informasi aktual dan memperoleh buku baru dengan mudah.

Wednesday, April 18, 2007

Haruskah Belajar Islam di (dari) Malaysia

Koran }} Opini

Kamis, 18 April 2007


Oleh:

Ahmad Sahidah
Graduate Research Assistant di Universitas Sains Malaysia

Tajuk di atas mengandaikan kemungkinan belajar tentang Islam dan sekaligus mengenal bagaimana gerakan keagamaan di negeri Jiran ini mengayomi pemeluknya? Mungkin pilihan belajar Islam tingkat lanjut di tanah Melayu ini tidak akan jadi pilihan utama mahasiswa di Indonesia. Atau, bahkan kita tak perlu mengaca bagaimana pegiat keagamaan di sana berkiprah untuk memajukan idealisme keislamannya?

Dalam sejarah Islam nusantara, agama ini lebih dulu berkembang di Aceh dan kemudian menyebar ke seluruh tanah pertiwi yang sekarang menjadi bagian dari Indonesia. Adalah tidak aneh jika kita menemukan karya ulama terdahulu dan tradisi keilmuan yang berjalan marak karena para ulama pada masa itu tidak hanya rajin menyampaikan pesan keagamaan di atas panggung tetapi mereka juga berkarya untuk mengembangkan keilmuan. Sejarah panjang ini telah memberikan ilham untuk mengembangkan kajian Islam melalui pendidikan formal maupun tidak.

Sekarang, gairah keagamaan juga ditopang dengan tumbuhnya pelbagai organisasi kemasyarakatan. Bahkan, lebih jauh mereka telah berhasil membangun sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan pesantren. Pendek kata, bangsa Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam dunia intelektualisme Islam dan beragam perkumpulan. Tidak boleh dinafikan, keberhasilan ini juga turut mempengaruhi perkembangan ‘pemikiran’ dan organisasi Islam di Malaysia. Lalu, mengapa sekarang kita harus menengok kesuksesan negeri jiran ini mengelola pendidikan Islam dan kelompok keagamaannya?

Organisasi keagamaan

Negara Jiran yang menabalkan dirinya sebagai negara Islam membuat peruntukan bajet negara untuk aktivitas keagamaan. Tak jauh berbeda dengan kita, negara menggelontorkan uang untuk Departemen Agama. Tambahan lagi, kedua-duanya juga mempunyai organisasi keagamaan partikelir yang digerakkan oleh pelbagai aliran. Sayangnya, secara umum organisasi keagamaan di Indonesia tidak berhasil mengelola kegiatan ekonomi yang bisa mendukung aktivitas keagamaan secara mandiri. Bahkan, sebuah ormas keagamaan modern di sini juga gagal melejitkan kehidupan ekonomi warganya meskipun dianggotai oleh para profesional dan sarjana.

Ketika saya mengikuti salah satu acara Rufaqa, metamorfosis Darul Arqam, Dr. Abdurrahman Efendi asal Indonesia menceritakan bahawa modal dari kegiatan ekonomi mereka adalah Allah, sementara 200 peserta dari salah satu ormas Islam terbesar Indonesia, tak perlu Tuhan, hanya perlu uang 200 juta untuk membuka outlet ketika mengikuti sebuah pelatihan yang diselenggarakan al-Arqam. Padahal, kata Efendi, seandainya seluruh anggota dari cabang salah satu organisasi tersebut meminta anggotanya untuk berhenti merokok dan menyisihkan uangnya niscaya terkumpul dana yang cukup besar untuk memulai sebuah usaha. Tetapi, siapakah yang sanggup melakukannya?

Sayangnya lagi, kita lebih banyak berdebat tentang substansi ajaran keagamaan. Agama telah dikebiri menjadi urusan ‘ibadah’ oleh kaum tradisional, sementara kelompok liberalnya lebih suka membincangkan substansi Islam dan menafikan kaitan Islam dengan kehidupan yang lebih luas, seperti ekonomi misalnya. Sedangkan sebagian pemuka agama lebih asyik dengan bermain ‘politik’.

Di sini kita banyak menemui institusi keagamaan progresif yang mengusung tema-tema besar seperti demokrasi, kesetaraan jender, dan sekulerisme. Sebuah fenomena yang jarang ditemui di Malaysia. Mungkin hanya Sisters in Islam yang mengusung isu yang sama. Padahal apa yang dipersoalkan itu boleh dikatakan sebagai turunan daripada masalah ‘ekonomi’. Jika para pegiat keagamaan tidak segera memperhatikan kemiskinan yang mendera anggotanya, maka upaya menyebarkan ide-ide besar itu seperti menegakkan benang basah. Energi kita terkuras habis hanya untuk bertengkar, manakal masalah yang sangat mendasar terabaikan.

Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi

Sentral pemikiran Islam boleh dikatakan berpusat di ISTAC UIAM, UKM, USM dan UM. Tentu saja, lembaga yang layak mendapat perhatian adalah ISTAC. Di bawah pengayoman Prof Naquib al-Attas, para mahasiswanya dikenal sebagai kelompok terdepan membela ‘otentisitas’ Islam dari rongrongan hegemoni intelektual Barat. Hampir secara keseluruhan, para sarjana di tanah Melayu ini berada di bawah bayang-bayang kebesaran Naquib.

Sebuah motto ISTAC A unique opportunity to study with Muslim Scholars from around the World adalah sebuah petanda ikhtiar untuk memosisikan dirinya sebagai pusat pembelajaran di tingkat internasional. Jargon ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi didukung oleh para dosen yang didatangkan dari seluruh dunia Islam dan tentu saja ditopang oleh perpustakaan yang bisa dikatakan salah satu terbaik di dunia. Para dosen tersebut menulis karya di dalam bahasa Arab atau Inggeris yang diterbitkan oleh universitas tempat mereka berkhidmat.

Selain itu, promosi yang gencar di sejumlah negara Asia, Afrika dan Arab serta kemampuan stafnya dalam bahasa Inggeris memungkinkan kemasukan (enrollment) mahasiswa asing makin besar. Apalagi, banyak calon mahasiswa dari Arab yang mendapatkan kesulitan untuk belajar di Amerika dan Eropah setelah peristiwa 9/11, sehingga mereka memilih Malaysia karena dianggap sebagai salah satu negara yang mempunyai citra yang baik dalam dunia pendidikan.

Selain itu, birokrasi yang efisien, fasilitas yang memadai dan perpustakaan yang nyaman adalah upaya nyata agar citra yang ingin dibangun makin menjulang. Adalah tidak aneh, teman saya dari Iran, Mohsin J Bagjiran menulis disertasi tentang pemikiran Rumi di Universitas Sains Malaysia. Padahal kultur Rumi adalah negara Persia, tempat dia lahir dan belajar.

Pesona pemikiran keislaman di sana juga disemburatkan oleh kegigihan para sarjananya dalam berkiprah di dunia intelektual. Sekadar menyebut contoh adalah Naquib al-Attas dan Candra Muzaffar yang dikenal di dunia Internasional. Selain didukung oleh kemampuan orasinya dalam bahasa Inggeris, mereka juga menulis karya tentang Islam dalam bahasa ini. Bahkan, ketika Ziauddin Sardar menulis sebuah karya cemerlang bertajuk Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come beliau merujuk kepada dua sarjana di atas. Secara tersirat beliau meletakkan ‘masa depan’ pemikiran Islam di pundak sarjana negeri Jiran ini.

Kita bukan tidak memiliki sarjana jebolan luar negeri yang pintar dan menulis di dalam bahasa Inggeris. Tetapi prestasi ini belum mengatasi kemasyhuran karya Naquib yang telah diterjemahkan ke dalam lebih duapuluhan bahasa di dunia. Lagi-lagi, beliau membawa ‘nama Malaysia’, meskipun penggagas Islamisasi pengetahuan ini lahir di Bogor. Bahkan, kalau saya perhatikan, diskursus keilmuan Islam di Indonesia lebih marak dan beragam, dibandingkan dengan tanah Melayu yang masih banyak diwarnai pemahaman ortodoksi. Tetapi, itu tidak cukup untuk membuat negeri kita diperhitungkan jika tidak dibarengi dengan perbaikan administrasi dan strategi ‘pemasaran’ sebagaimana dilakukan oleh Malaysia.

Tuesday, April 17, 2007

Mencari Jejak Sebuah Manuskrip

kepada Yang Terhormat
Mas Imam Adhita
di Universitas Pontianak

Saya adalah Ahmad mahasiswa USM teman dari Pak Supriyanto. Kita pernah bertemu sebelumnya di flat Restu.

Insyaallah, saya akan melakukan penelitian tentang konsep metafisika Abdullah 'Arif di dalam kitabnya al-Bahr al-Lahut yang ditulis abad ke-12 M.

Menurut Hawash Abdullah penulis Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara kitab tersebut dimiliki oleh beliau yang diperoleh dari Syaikh Yusuf Tajul Khalwati (ulama Sufi dari Tanah Bugis). Tidak itu saja, kitab ini juga diwariskan kepada keturunannya.

Oleh kerana itu, saya mohon informasi tentang Hawash Abdullah yang mengakui memiliki kitab tersebut. Dalam pengantar bukunya, beliau menulis karya ini pada tahun 1980 di Pontianak, tetapi diterbitkan oleh al-Ikhlas Surabaya. Jadi, saya rasa mungkin beliau masih berada di Kalimantan Barat.Terima kasih atas bantuannya.

Ahmad Sahidah
Graduate Research Assistant
Universiti Sains Malaysia
Tel. +166074894

Menemukan Islam Tulen


[dimuat di Jurnal Pemikir Malaysia (Bil. 48, April-Jun 2007)]
Ahmad Sahidah

ABSTRAK

Dalam sejarahnya, Islam telah mengalami pertemuan dengan pelbagai agama, kebudayaan dan peradaban. Tidak menghairankan, tafsir terhadap agama Islam adalah pelbagai. Kepelbagaian ini telah melahirkan berbagai-bagai aliran, yang boleh dikategorikan ke dalam dua fahaman besar iaitu tradisi dan moderniti. Kedua-dua puak ini sama-sama mendakwa sebagai tulen. Merujuk kepada tokoh pemikir tulen Islam, kita boleh memahami lebih jauh tentang upaya untuk tidak terjebak pada jargon ‘tradisi’ dan ‘modeniti’.
Kata Kunci: Islam, ketulenan, tradisional, dan modeniti

A. Pendahuluan

Perpecahan dalaman daripada agama Islam adalah sesuatu yang tak terelakkan. Ini adalah ekoran penyebaran agama ini daripada tanah asal (Mekah dan Madinah) yang bertemu dengan tradisi dan budaya tempatan. Proses akulturasi ini – tidak jarang asimilasi – makin mengaburkan ajaran asal. Boleh jadi Islam hanya tampalan bagi sebuah kepercayaan yang lebih dominan meskipun diberi label Islam. Namun demikian, apakah ketulenan itu bererti Arabisasi? Atau ia muncul dari pemahaman eksistensial terhadap nilai-nilai Islam yang telah mengalami perpindahan?

Kenyataan ini kerap melahirkan polarisasi keagamaan yang ekstrim. Sayangnya, kritisisme tidak dimunculkan sebagai cara menyikapi perbezaan. Masing-masing kutub mendakwa telah menemukan bentuk ketulenan dari ajarannya tanpa membuka diri bagi pandangan komuniti atau orang lain tentang dirinya sebagaimana ia melakukan penyangkalan terhadap yang lain.

Idea ketulenan menjadi penting ketika ia mengandaikan sebagai upaya untuk mengatasi kedua-dua paradigma aliran tradisi dan modeniti, sebagaimana diandaikan oleh Robert D Lee dalam buku Overcoming Tradition and Modenity: the Search for Islamic Authenticity. Kedua-dua aliran tersebut terakhir telah menjadi penyangga bagi pemeliharaan ajaran agama sama ada bersifat teori ataupun praktikal. Meskipun pembezaan binar ini adalah penyederhanan terhadap realiti yang rumit dan kompleks, namun pembahagian domain agama ke dalam tradisi dan modeniti membantu kita untuk memahami fenomena keagamaan yang semakin terbelah.

Pembezaan setentang antara dua ranah pemikiran ini tidak hanya tidak menguntungkan, namun telah mencederai proses sejarah sebagai sebuah kepastian. Pengingkaran modeniti terhadap tradisi sekali gus merupakan penyangkalan terhadap dirinya, bukan pengakuan kewujudan dirinya. Seperti dikatakan Adorno dan Horkheimer, bahawa modeniti sebagai akibat dari pencerahan adalah kelanjutan dari tradisi yang dikembangkan sedemikian rupa dan mendapatkan pemaknaan baru. Namun demikian, bahannya tetap dari domain tradisi.[1]

Di dalam Islam, sebagaimana ditulis oleh Khalil Abdul Karim, bahan bakunya (mâdah) adalah bangsa Arab. Pernyataan yang diadopsi dari Umar oleh Taha Husain berkaitan dengan pusat kekuatan tentera Islam. Tetapi, pentafsiran ini mengalami pemutarbalikan kerana hanya mengacu pada satu dimensi saja, dan melupakan dimensi-dimensi lain, yang justeru paling penting iaitu Arab merupakan sumber daripada berbagai hukum, norma, sistem, adat istiadat, dan tradisi.[2] Lebih jauh dapat dikatakan bahawa Islam telah mewarisi sesuatu yang mencukupi, bahkan berlebihan dalam segala aspek kehidupan Islam: ritual peribadatan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan hukum.

B. Satu Pendekatan
Sosiologi pengetahuan yang dicadangkan Karl Mannheim adalah sangat membantu di dalam menjelaskan kesinambungan pemikiran gagasan tentang ketulenan. Ia mengatakan bahawa pengetahuan manusia itu tidak murni. Ia berkaitan dengan eksistensi manusia tempat dia hidup.[3] Hal yang sama juga dikatakan oleh Betti:

Secara fundamental saya tidak mencadangkan sebuah kaedah, tetapi saya menggambarkan apakah persoalan sebenar. Bahawa ia sebagaimana saya gambarkan ia tidak boleh dipertanyakan secara serius... Anda, misalnya, mengetahui secara langsung ketika anda membaca sebuah esai klasik oleh Mommsen hanya ketika ia telah ditulis. Bahkan seorang mahaguru kaedah sejarah tidak boleh sepenuhnya bebas dari prasangka pada masanya, lingkungan sosialnya dan situasi kebangsaannya dan lain-lain. Apakah ini sebuah kegagalan? Dan bahkan jika demikian, saya menganggapnya perlu tugas falsafah untuk mempertimbangkan mengapa kegagalan ini selalu ada ketika sesuatu dicapai. Dengan kata lain, saya mengambil kira satu-satunya hal ilmiah untuk mengakui sesuatu apa adanya, di samping memulakan dari apa yang seharusnya atau mungkin. Oleh itu, saya mencuba untuk melampaui konsep kaedah yang ditegaskan oleh ilmu pengetahuan moden (yang mempertahankan justifikasinya yang terbatas) dan untuk membayangkan apa yang selalu terjadi di dalam sebuah cara universal yang mendasar’.[4]

Secara umum, sosiologi pengetahuan Mannheim menyatakan tiga ujian bagi kesahihan sesuatu yang diajukan sebagai pengetahuan. Pertama, ia harus menunjukkan fungsi penguasaan dan orientasi pengetahuan. Kedua, ia harus didasarkan secara tulen pada wujud yang didakwa sebagai pengetahuan. Dan ketiga, ia harus memiliki properti yang selaras dengan struktur sistematisasi dengan mana ia berhubungan, dengan kata lain konsep-konsep di mana ia dirumuskan dan hubungan-hubungan di antara mereka harus sesuai dengan masing-masing tipa realiti.[5] Atas dasar inilah, idea tentang ketulenan akan difahami secara utuh dan diharapkan lebih jauh menguak sisi-sisi keagamaan kontemporari.

C. Pelbagai Perspektif

Persoalan ketulenan telah banyak menarik perhatian para pemikir sama ada yang mengasaskan basisnya pada iman (agama) mahupun sekular. Yang pertama mengandaikan bahawa secara etik seluruh tindakan itu disandarkan pada dan bertanggung jawab kepada yang transenden (Tuhan) selain kepada diri sendiri sedangkan yang terakhir sepenuhnya bertanggungjawab pada diri sendiri.

Mohammed Arkoun menolak isu ketulenan hanya kerana kuatir tergelincir pada ideologisasi Islam, namun demikian dia melakukan upaya pencarian kebenaran yang bersumber pada pemahaman terhadap kitab suci. Untuk itu, dia menulis Essais Sur La pensée Islamique yang merupakan kumpulan tulisan berkenaan dengan perkembangan pemikiran Islam dari Klasik hingga moden. Bagi Arkoun, tema-tema kembali kepada sumber-sumber Islam berasal dari hubungan Islam dan Barat berkaitan dengan penolakan global dengan penuh semangat terhadap imperialisme. Perasaan keunggulan Islam dan peradabannya secara tidak adil ditekan oleh mubaligh Kristian dalam hubungannya dengan imperialis. Yang terakhir muncul secara berterusan sejak umat Kristian dan Yahudi di Madinah tidak mengakui Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah. Kembali ke sumber-sumber Islam dijelaskan dengan berbagai cara dibahas oleh penganut yang berpandangan integralistik dan kalangan intelektual Barat. Mereka membanggakan nilai-nilainya sendiri di hadapan nilai-nilai Barat sebagai nilai-nilai yang masih lebih kuno dan antik (baca: tulen).

Untuk membebaskan dari semua ini, Mohammed Arkoun mengusulkan tiga syarat: melepaskan korelasi Timur-Barat, mengetahui secara alamiah tingkat-tingkat tradisi Islam, dan mengakui tradisi Islam dalam mengendalikan dialektika pembangunan ekonomi dan dan pembangunan budaya.[6] Idea ini sangat strategik untuk menempatkan Islam secara harmoni dengan peradaban lain, belajar dari kegagalan Muslim terdahulu dan memperhatikan keselarian pembangunan ekonomi dan budaya secara serempak.

Tulisan lain yang membicarakan tentang ketegangan antara tradisi dan modeniti adalah Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Tradisional Islam in the Moden World. Karya ini menghuraikan perbezaan respons tradisi dan modeniti terhadap ajaran Islam. Bagi dia, Islam tradisional mesti dipertimbangkan, yang sering dirancukan dengan istilah ‘fundamentalisme’. Sekalipun terdapat gelombang-gelombang modenisme, reaksi-reaksi puritan, mesianisme dan bentuk-bentuk ‘fundamentalisme’ yang keras dan revolusioner atau secara teologikal limitatif, Islam tradisional tetap bertahan. Sebahagian besar kaum Muslimin masih berdiam di sebuah dunia yang di dalamnya keseimbangan (equilibrium) diajarkan oleh al-syari’ah dan ketentraman spiritualiti Islam dapat dijumpai, sekalipun terdapat pengalaman-pengalaman kolonialisme, kemunduran dalam darjah tertentu dalam dunia Islam (yang mulai nampak pada abad ke-18 hingga sepanjang abad ke-19), kekacauan-kekacauan politik dan sejumlah besar masalah yang dihadapi banyak negeri Muslim.[7]

Islam tradisional cenderung bertahan di masa yang akan datang, kerana struktur tradisi Islam itu sendiri yang menekankan hubungan langsung antara manusia dan Tuhan dan tiadanya pihak berkuasa keagamaan sentral, mengandung perlindungan maksima untuk menjamin kelangsungan hidup dalam sebuah dunia seperti sekarang ini. Selain itu, kelas yang baru terbentuk yang terdiri dari para cendekiawan dan pemikir Muslim tradisional yang juga sepenuhnya menyedari watak dunia moden, aliran pemikiran, falsafah dan sainsnya, cenderung meningkat.[8] Kondisi ini akan memberikan suasana kondusif bagi tumbuhnya dialektika pemikiran antara berbagai pemikiran, sehingga perdebatan itu akan memunculkan perbahasan-perbahasan yang terpikirkan, yang hilang dan minoriti dalam Islam sendiri.

E. Ketulenan di dalam Tradisi Barat

Kata tulen yang dalam bahasa Inggerisnya authentic berasal dari kata Yunani yang berarti “memiliki tenaga penuh” atau “kehendak untuk membunuh”.[9] Ketulenan adalah kondisi dari orang-orang, menurut Heidegger, yang memahami struktur eksistensial kehidupannya. Ia menegaskan bahawa masing-masing dari kami menemukan sebuah identiti dari situasi kita – keluarga, kebudayaan dan lain-lain. Biasanya kita hanya menyerap identiti ini secara tidak kritis, tetapi membiarkan nilai dan tujuan tetap seperti semula tanpa refleksi kritis terhadapnya adalah ‘tidak tulen’. Individu tulen yang didorong dari perhatian sehari-hari oleh Kebimbangan (Angst), bertanggung jawab terhadap kehidupannya dan memilih identitinya sendiri. Tetapi Heidegger juga menegaskan beberapa tingkat ketidakketulenan tak terelakkan: penilaian Kristianterhadap nilai mengandaikan sebuah penerimaan tidak kritis terhadapnya, dan keniscayaan kehidupan praktikal memberikan sebuah keutamaan pada tindakan tidak-reflektif dibandingkan pembebasan kritik, sehingga, sebagaimana dijelaskan Heidegger, ketulenan seperti keselamatan Kristian - sebuah keadaan di mana individu yang “jatuh” tidak boleh menjamin dengan usahanya sendiri.[10]

Pengujian terhadap diri adalah dengan memahami sebuah potensialiti-tulen-dari-menjadi diri-sendiri. Kedirian dari Da-Sein secara formal dirumuskan sebagai cara mengada (the way of existing) iaitu bukan sebagai wujud yang ada secara objektif. Saya sendiri bukan untuk sebahagian besar dari siapakah Da-sein, tetapi mereka-sendiri (they-self). Wujud otentik-seorang-diri menunjukkan dirinya sebagai modifikasi eksistensial tentang “mereka” yang dirumuskan secara eksistensial.[11]

Wujud secara objektif itu, seperti Kata Søren Kierkegaard, adalah kita harus menunjukkan dirinya di dalam kecenderungan untuk menerima aturan-aturan yang mengatur tindak-tanduk dan pemikiran. Setiap pokok persoalan yang diikat oleh aturan-aturan bukti, atau yang diajarkan di ruang-kelas, berada di dalam genggaman objektiviti. Sejarah adalah bersifat objektif jika ia diajarkan sebagai sesuatu di dalam mana yang benar dan keliru boleh secara tegas, untuk pertama kalinya, dipilah dan dibezakan. Adalah bersifat objektif jika beberapa proposisi ditolak atas dasar sesebuah aturan umum, apakah sesuatu itu dianggap sebagai bukti, atau sesuatu yang boleh diterima sebagai prilaku manusia yang masuk akal. Sosiologi dan psikologi sepenuhnya menjadi kajian-kajian objektif, dan oleh itu pada prinsipnya tidak boleh diterima, kerana keduanya berusaha untuk memampatkan, memprediksikan atau menjelaskan prilaku kelompok manusia atau individu sesuai dengan hukum-hukum ilmiah. Moraliti bersifat objektif segera ia diikhtisarkan ke dalam sebuah kod atau aturan, yang disampaikan dari guru pada murid.[12]

Dalam pengertian paling umum, ketulenan individu bererti saya sebagai manusia harus menjadi diri sendiri, dan bukan orang lain. Saya tidak perlu mengikuti petunjuk dari luar tentang prilaku dan kesuksesan, tetapi cukuplah dibimbing oleh oleh insting batiniah diri saya sendiri. Jika pengertian ini diperluas, masyarakat haruslah merumuskan agenda-agendanya secara bersama yang mencerminkan kekayaan budaya masyarakat itu sendiri, bukan berdasarkan perencanaan Barat.[13]

Bagi Heidegger, selain menunjukkan sebuah pembezaan metafisik antara diri (yang difahami sebagai sebuah individu murni yang sedar secara reflektif) dan dunia (yang difahami sebagai sebuah kumpulan objek-objek yang ada di hadapannya), pemahaman seseorang yang luar biasa terbuka bagi panggilan kesedaran adalah benar-benar pengakuan terhadap kemungkinan ketulenan (Eigentlichkeit). Panggilan kesedaran ini adalah pengingat eksistensial terhadap kehilangan khas seseorang di dalam ‘mereka’ – banaliti dan sifat kebetulan kehidupan sehari-hari – dan ia menuntut dijawab dengan pengubahsuaian, betapapun bersifat marginal dan sementara, terhadap situasi eksistensial normal. Dasein dalam kehidupan biasa menjalaninya dari keterlemparan, sebuah kehidupan yang dibentuk oleh praktik sosial yang telah ada, dibangun dengan baik, tindan-tindih (sebagai pensyarah, suami, anak, laki-laki, dan sebagainya) masing-masing dengan sesebuah norma publik dan harapannya sendiri. Jelasnya, di dalam keseharian, Dasein tidak lebih dari beberapa aturan sosial.[14]

Perlu ditegaskan di sini, Dasein mengakui kelenyapan dirinya dalam mereka yang terlempar, tetapi di dalam persoalan ini ia tidak merespons “kejatuhan” dengan menyembunyikan (dari dirinya dan yang lain) kontingensi keterlemparannya. Ketulenan juga (dengan sendirinya ilusi dan rapuh) bukan usaha untuk lari dari kontingensi. Dasein masih dan selalu berupa “they-self” (das-Man-selbst). Ketulenan sepenuhnya merupakan pengakuan terhadap diri – bukan pembatalan (abrogation) terhadap “mereka”. Seperti kata Heidegger:

Keberadaan tulen adalah bukan sesuatu yang mengatasi kejatuhan keseharian. Secara eksistensial, ia hanya sebuah cara mengubahsuai dari kebimbangan keseharian. Diri-Ada-Tulen tidak diasaskan pada kondisi subjek yang lain, sebuah kondisi yang menampal pada “mereka”, melainkan ia merupakan pengubahsuaian eksistensiel terhadap mereka – mereka sebagai sebuah eksistensi esensial.[15]

Ada beberapa unit analisis yang perlu dijelaskan untuk memasuki perdebatan ketulenan lebih jauh iaitu: keunikan, radikalisme, autonomi, kesatuan, tindakan kelompok, kesamaan dan institusi.[16] Yang pertama adalah penolakan adanya asumsi Pencerahan tentang pengitlakan dari proposisi. Bahkan Kant menjelaskan bahawa kehendak, kendati memiliki sifat universal, tetap memungkinkan definisi individual yang unik. Lebih jauh, penulis seperti Rousseuau, Wordsworth dan Schiller merumuskan ketulenan dengan memandang diri bukan sekedar abstraksi, melainkan sebagai pribadi yang berakarumbi pada “sentimen wujud” individual – keras, kuat, mandiri, batin dan pikiran kuat.

Radikalisme lahir sebagai respons terhadap kekuatan-kekuatan yang mengingkari sifat, keaslian, kreativiti dan wujud seseorang. Kekuatan-kekuatan itu dikenali sebagai tradisi – yakni sebagai “cara hidup, cara bertindak yang telah terbentuk dalam keanggotaan sosial.”

Autonomi sebagai wujud kebangkitan manusia dari kepasifan mereka menjadi pencipta dunianya sendiri. Mereka mencoba membebaskan diri dari masa silam buatan mereka yang telah berada di luar pengawalan untuk membentuk masa depan yang sesuai dengan keperluan, insting dan keinginan mereka sendiri.

Kesatuan adalah jalan keluar bagi kehampaan makna dan penolakan terhadap nihilisme serta menerima kelaziman dalam pengalaman manusia. Meskipun menurut Heidegger ini bermasalah, kerana tindakan tulen itu lahir dari kesendirian, kerana hanya individu yang dapat mencari kebenaran. Atas asumsi ini, beliau menyepi ke hutan dengan isterinya.

Tindakan kelompok sebagai penyangga bagi idea-idea radikal menjadi revolusioner. Jadi pemikiran tulen yang berdasarkan kepada tindakan individual itu dapat digunakan untuk mengkonstruksi secara teoretikal tindakan kelompok. Gustavo Gutierez mempostulatkan adanya kesatuan tindakan bagi mereka yang secara serentak mencari kebenaran, semangat revolusioner Kristian, dan keperluan revolusioner bagi negara-negara mereka. Manusia sendiri yang harus menemukan kesamaan tujuan dalam sejarah yang mereka ciptakan, tetapi Tuhanlah yang membantu menyatukan temuan-temuan individual ini menjadi gerakan yang efektif.

Semua agama mengesahkan kesamaan seluruh manusia di hadapan Tuhan dan menyelar ketidakadilan. Semua versi pemikiran tulen menilai ketidakadilan dalam masyarakat tradisional – entah berdasarkan prestij, wang, kesalihan atau politik – sebagai sumber ketidaktulenan. Kepasifan di hadapan wajah kekuasaan yang lebih besar mencegah manusia dari mewujudkan potensi mereka sebenarnya.

F. Mengatasi Tradisi dan Modeniti

Tradisi adalah sebuah kepercayaan atau praktik di dalam domain kebudayaan yang diterima dari tangan, lisan, atau contoh-contoh lain berbanding ditemukan; diterima atas dasar asumsi bahawa penulis dan penyampai dapat dipercaya dan oleh itu tradisi itu sahih; dan menerima dengan perintah dan maksud sedar terhadap periwayatan lebih jauh tanpa perubahan substansial. Dengan demikian, sebagai sumber pengetahuan tradisi dibezakan dari desas-desus dan fesyen. Kedua-dua tersebut terakhir ini, meskipun diterima dari yang lain, tidak dengan sendirinya dipercaya atau periwayatan yang layak tanpa perubahan; sebaliknya, kedua-duanya menuntut spekulasi dan huraian. Bagaimanpun juga, tradisi berisi inti untuk mewujudkan sebuah kepastian kebenaran dari sebuah sumber autoritatif.[17]

Menurut Anthony Giddens, tradisi berhubung kait dengan ingatan, terutama dengan apa yang diistilahkan oleh Maurice Halbwachs dengan ‘ingatan kolektif’; tradisi melibatkan ritual, terkait dengan apa yang dia sebut dengan gagasan kebenaran formulatif (penekanan dari Giddens). Tradisi memiliki penjaga dan tidak seperti adat-istiadat, memiliki kekuatan pengikat yang merupakan kombinasi moral dan emosi.[18] Hal ini boleh dilihat di dalam tradisi ritual yang melibatkan orang ramai pada doa bersama.

Berkaitan dengan tradisi, Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahawa tradisi menyiratkan sesuatu yang suci, seperti disampaikan kepada manusia melalui wahyu mahupun pengungkapan dan pengembangan peran suci itu di dalam sejarah kemanusiaan yang membabitkan sama ada kesinambungan horizontal dengan Sumber mahupun rantai-rantai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan Realiti Transenden metahistorikal.[19] Oleh itu, menurut Nasr, tradisi boleh bererti agama (din) dalam erti seluas-luasnya yang berkaitan dengan semua aspek agama dan pencabangannya; atau as-sunnah iaitu sesuatu yang – diasaskan pada model-model suci – sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya difahami, demikian juga boleh diartikan as-silsilah, iaitu rantai yang mengaitkan setiap period, episod atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak jelas di dalam dunia sufisme.

Georg-Hans Gadamer lebih jauh menekankan hubungan rapat antara tradisi dan kuasa.[20] Penafsiran yang merujuk kepada teks yang dipisah oleh waktu dan ruang yang panjang dan berbeza, memerlukan rehabilitasi kuasa dan tradisi. Tidak diragukan bahawa ekoran nyata dari Pencerahan adalah penaklukan semua kuasa oleh akal. Tetapi kata ini bukan esensi kuasa yang dikritik oleh pencerahan. Kuasa di sini adalah sesuatu yang diasaskan pada pengakuan dan pengetahuan. Selain itu, dalam pentafsiran kita selalu berpijak pada tradisi dan ini bukan pengobjektifan proses, dengan kata lain kita tidak memahami apa yang dikatakan tradisi sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang asing. Ia selalu merupakan bahagian dari kita, sebuah teladan dan sebuah pengakuan terhadap diri kita sendiri.

Konsep modeniti sebagai antitesis terhadap tradisi pertama kali digunakan oleh Hegel sebagai konsep epoche – zaman baru adalah zaman moden. Penemuan dunia baru, renaisans dan Reformasi membentuk tiga pintu gerbang epoche bagi zaman baru dan pertengahan.[21] Dari dialektika tradisi dan modeniti Hegel memunculkan adanya falsafah sejarah yang bertumpu pada Roh absolut.

Di dalam Islam, modeniti adalah upaya untuk memurnikan ajaran dari pertambahan dan takhyul yang diperkenalkan oleh ordo sufi dan persaudaraan, sebagaimana juga penafsiran yang kaku yang diwariskan oleh zaman awal. Pemenuhan terhadap tugas ini perlu kembali pada sumber Islam yang asli, al-Qur’an dan al-Sunnah serta mentafsirkan semula terhadap kedua-duanya. Posisi ini dipinjam kaum modenis dari gerakan revivalisme abad kedelapanbelas, khususnya Wahabi di Saudi Arabia, tetapi pemanfaatan sumbernya berbeza. Sementara puak revivalist mengambil pendekatan harfiah dan kaku terhadap teks, sedangkan modenis adalah menemukan semangatnya dan membezakan antara aturan-aturan Islam universal dan aturan yang khas yang sahih hanya untuk period khusus.[22]

G. Perebutan Wacana Ketulenan dalam Islam

Terdapat keberterusan topik yang diangkat oleh para penggagas ketulenan iaitu: keunikan, radikalisme, autonomi, kesatuan, tindakan kelompok, kesamaan dan pelembagaan.[23] Di antara tokoh yang akan dijadikan representasi pemikiran ketulenan dalam Islam adalah Muhammad Iqbal, Sayyid Qutb, Ali Syari’ati dan Mohammed Arkoun. Mereka telah memberikan warna kepelbagaian perspektif dalam melihat semua ajaran Islam untuk diaplikasikan dalam dunia kontemporari.

Keempat pemikir ini adalah pelopor kebangkitan Islam di dunia ketiga sebagai respons terhadap kegagalan developmentalisme yang diwujudkan demi memperbaiki kesalahan kolonialisme, kegagalan liberalisme yang semestinya menyertai pembangunan dan kegagalan modenisme yang berniat menyediakan logika bagi kolonialisme, developmentalisme. Pada waktu yang sama, pencarian ketulenan berupaya melepaskan diri dari dilema subjektivisme, relativisme dan kehampaan makna yang sering terjalin dengan pandangan posmoden mengenai manusia.[24] Para penganjur konsep ketulenan menegaskan adanya piawaian yang dapat digunakan untuk menilai pemikiran dan tindak-tanduk. Mereka menekankan kemungkinan norma-norma yang dipilih secara bebas untuk mengganti norma-norma luaran yang diperoleh dari perspektif Barat yang dominan.

Iqbal mengkritik terjadinya penghakisan identiti, yang disebabkan komitmen terhadap tradisi yang telah lapuk atau semangat nasionalisme yang berapi-api. Justeru, pemahaman realiti itu berangkat dari pemahaman eksistensial tentang diri sendiri.[25] Ia mengajak Muslim sejati untuk melawan mullahisme, mistisisme, dan monarki, serta melawan cara-cara asing.[26] Berbeza dengan Sayyid Quthb yang dikenal sebagai penggagas ketulenan, ia menolak pembahagian mistisisme Timur dan rasionaliti Barat, namun justeru penekanannya pada bagaimana umat manusia boleh bertindak di dunia ini dan tetap menjadi diri sendiri dan mengatasi insting dasarnya demi kualiti spiritual dalam dunia yang dipenuhi keserakahan, kepentingan peribadi, materialisme dan rasionaliti impersonal.

Keunikan juga menjadi perhatian besar Ali Syari’ati sebagai gugatan terhadap tradisionalisme yang telah memburuk menjadi sekadar tata cara yang rutin, dan memfosil kerana mengisolasi Iran dari kekuatan sejarah.[27] sedangkan bagi Arkoun, wacana ketulenan (ashâlah) justeru kembali pada kerangka berpikir ortodoksi yang didukung oleh Nalar Islam, seruan kembali pada gagasan-gagasan transenden yang akan menjadi sebab pengasingan dunia Arab. Arkoun mengatakan:

Wacana tentang ashâlah secara tidak langsung mengekspresikan semua kesenjangan ini bersama-sama dengan penderitaan individu dan kolektif, ketidakberdayaan hidup (mal de vivre) yang selama ini mereka alami. Akibatnya, sebagai ganti dari membuat diagnosis yang dramatik dan brutal – yang efeknya adalah mandeknya energi pada fase krusial tertentu – wacana ini mendukung cara lazim dan damai untuk mengusir kepedihan, menegaskan diri, sebagai mengatasi kesulitan hidup. Dengan alasan tersebut, wacana ashâlah secara struktural lebih baik ketimbang wacana-wacana lainnya untuk diadaptasi ke dalam kerangka pemahaman dan tindakan sosio-kultural di wilayah Maghribi Kontemporari.[28]

Dalam hal keunikan, Arkoun berbeza dengan ketiga pemikir di atas. Iqbal menghidupkan semula bentuk-bentuk kesusastraan lama sebagai alat untuk mengangkat keutamaan kehendak manusia di atas ortodoksi dan penalaran seperti yang dilakukan Nietzsche,[29] untuk menghindari kritik dari skolastisisme. Qutb menyelubungi tafsir al-Qur’an radikalnya dalam jubah ortodoksi, suatu dakwaan bahawa wahyu yang mengatasi sejarah memiliki kekuasaan terhadap historisasi itu sendiri. Bagi Arkoun, pertanyaan epistemologinya, yang mendahului semua pertanyaan adalah bagaimana seseorang boleh mengetahui apa yang terjadi pada masyarakat lama maupun kontemporari. Oleh itu, jika kaum Muslim mencari kebenaran tentang dirinya, mereka bukan hanya harus mengkaji semula “kebenaran” wahyu, melainkan juga menelaah semula semua cara khas yang dengannya “kebenaran” itu dirasakan, difahami, dielaborasi, dijustifikasi, diberi wajah ortodoksi serta dihayati di dalam konteks, waktu dan ruang geografi tertentu. Untuk itu, mereka memerlukan kaedah moden seperti antropologi, psikologi, sosiologi, semiotika, linguistik, ekonomi, falsafah, dan barangkali berbagai disiplin yang lain.
Dari keunikan inilah, Iqbal menyerukan perlawanan terhadap tradisi dan kemodenan yang melanda India dan bagian dunia bukan Eropa lainnya. Kegelisahan ini muncul dari kekhawatiran akan hilangnya jati diri Timur kerana pesona kemajuan material yang ditawarkan Barat, selain menyerang kekuatan mistisisme, mullahisme dan monarki Timur. Semangat inilah yang mendorongnya memasuki kancah politik praktis. Hal yang sama dilakukan oleh Quthb dengan menyerukan sebuah revolusi.

Tidak jauh berbeza dengan kedua pemikir tersebut, Ali Shari’ati meneladankan tindakan revolusioner Muhammad dalam mengubah kehidupan Madinah, lalu Mekah dan akhirnya dunia Arab secara keseluruhan. Sedangkan Arkoun menurunkan oposisi radikalnya terhadap semua bentuk ideologi konvensional: demokrasi, nasionalisme, sosialisme dan fundamentalisme. Masing-masing mendakwa eksklusiviti yang ditolaknya kerana beberapa alasan, iaitu sifat yang menentang sejarah, pengabaiannya terhadap realiti masa silam dan masa kini, dan niatnya untuk menyebarkan pemikiran yang salah.[30]

Dari huraian di atas, Robert D. Lee mengungkapkan pemikiran tulen dari tradisi Barat dan Iqbal, Quthb dan Shari’ati serta Arkoun dengan ciri khas sebagai berikut:[31]

1. Pemikiran ini dimulai dengan pemahaman tentang diri sebagai sesuatu yang unik. Manusia, pertama dan utama, bukanlah pikiran dan kesedaran melainkan daging dan darah yang terlahir dalam keluarga dan kondisi-kondisi sosial tertentu. Pemikiran otentik berangkat dari asumsi bahawa manusia itu memiliki sesuatu yang sama, kecuali keragaman. Meskipun demikian, ada sesuatu yang dinamakan “diri” yang mencari-cari dengan membuat pilihan-pilihan membezakan dirinya dari yang lain. Pilihan-pilihan membezakan dirinya dari yang lain. Pilihan-pilihan ini, agar menjadi tulen, harus mencerminkan kekhasan-kekhasan yang menegakkan konteks. Dalam pengertian tertentu, proses ini tak boleh dielakkan. Diri seseorang menegaskan keberadaannya sendiri dalam dialog dengan orang-orang yang melingkupinya; hal ini mencerminkan cakrawala-cakrawala makna ditentukan oleh konteks, kendatipun dia boleh menolak semua cakrawala makna itu. Kekhasan eksistensial dengan demikian merupakan pemikiran tulen.[32] Sebagaimana kata Heidegger, pemahaman sejati seorang pemikir adalah memahami dirinya sendiri secara kreatif dengan kata lain memahami orang lain berbeza dengan cara dia memahami dirinya sendiri.[33]

2. Aktiviti manusia melahirkan keragaman kondisi yang melandasi individualiti manusia. Pemikiran tulen, dalam segala bentuknya, menekankan bahawa umat manusia menciptakan sejarah mereka dan bererti menciptakan diri mereka sendiri. Yang membentuk manusia bukan hanya apa yang mereka pikirkan atau percayai, melainkan juga apa yang mereka perbuat.[34]

3. Pemikiran tulen menumbuhkan perlawanan terhadap kemodenan dan tradisi. Tradisi menekankan pilihan manusia dan melemahkan inisiatif manusia. Ide utama tradisi mengaburkan fakta bahawa tradisi itu sendiri merupakan produk dari pilihan manusia, tetapi sekarang malah menghalang-halangi pilihan selanjutnya. Oleh itu, sumber tradisi terkadang disebut mitologisasi kerana menganggap pilihan itu telah diberikan semula jadi. Berbeza dengan modeniti yang mengasalkan sumbernya pada rasionaliti.

4. Pemikiran tulen boleh berubah menjadi individualisme radikal, subjektivisme kognitif, dan relativisme nilai. Individu membuat pilihan dalam konteks cakrawala makna tertentu dalan dalam dialog dengan manusia lain tanpa menenukan seberapa luas cakrawala atau dialog itu. Iqbal mencoba menunjukkan bahawa idea tentang diri mencerminkan suatu ikatan dengan Tuhan, yang pada akhirnya mengaitkan umat manusia. Bagi Qutb, Muslim tulen adalah mereka – seperti para sahabat awal Nabi – yang memikirkan kondisi-kondisi mereka dan bekerja sama guna mencapai tujuan. Shari’ati dengan indah melukiskan haji sebagai pengalaman yang mendefinisikan diri, tetapi dalam konteks kesamaan manusia yang amat inspiratif. Arkoun mencuba untuk menunjukkan bahawa umat Islam, Kristian dan Yahudi lahir dari kondisi-kondisi sejarah yang membentuk struktur-struktur keyakinan dan pilihan-pilihan yang terbentuk oleh persekitarannya masing-masing.

H. Penutup

Ketulenan telah berhasil mengatasi ancaman keseragaman terhadap identiti tempatan, namun pada sisi lain ia melampaui tradisi kerana tradisi adalah memutlakkan pada satu pilihan sehingga melemahkan kreativiti manusia. Ketulenan juga tidak memajukan modeniti sebagai pilihan terhadap kebuntuan tradisi, tetapi merangsang penentuan nasib sendiri. Berhadapan dengan kekuatan sains dan penalaran yang begitu dominan, ketulenan mengangkat kembali peranan ketidakmasukakalan dari kondisi dan keyakinan pada peran-peran tertentu.

Seperti diakui sendiri oleh Robert D. Lee, adalah sulit untuk mewakili semua pemikiran gerakan Islam yang secara eksplisit menyatakan dan mengartikulasikan pentingnya ketulenan, selain Shari’ati. Namun demikian dari Iqbal sampai Hassan Hanafi tanpa ada kemajuan pemikiran yang jelas.

Penggagas ketulenan mewakili genre yang berbeza, Iqbal dan Arkoun mencarinya dari elit budaya sedangkan Qutb dan Syari’ati menoleh pada orang ramai. Iqbal dan Arkoun lebih memusatkan pada akar falsafah dan sosial dari kejumudan pemikiran sedangkan dua yang terakhir mewujudkan ketulenan sebagai bentuk perubahan yang berdasarkan mesej-mesej asli al-Qur’an.

Hakikatnya, ketulenan itu adalah bentuk realisasi diri konkrit yang berkaitan dengan persekitaran sosio-kultural dan tidak diuar-uarkan dalam simbol-simbol mercusuar yang dirujuk sebagai keaslian semu. Persoalannya adalah apakah ia berpijak pada asas tertentu atau tidak. Jika yang pertama sebagai pilihan maka seluruh pertanggungjawabannya pada diri dan Tuhan – yang diperlihatkan oleh pemikir seperti ‘Ali Shari’ati, Kierkegaard, Qutb, Iqbal dan Arkoun, dan yang kedua akan mengantarkan pada kekuatan diri dengan mengabaikan Ada di luar dirinya – yang ditunjukkan oleh kaum eksistensialis ateis seperti Heidegger, Nietzsche, dan Sartre.

Namun bagi saya, ketulenan yang berdasarkan wahyu adalah jalan terbaik bagi mewujudkan cita-cita kemanusiaan. Kerana, ia membolehkan untuk menciptakan sebuah masyarakat yang sejajar, adil dan tidak ada kuasa yang boleh mengatasi keadilan Tuhan.

I. Pustaka

Abdul Karim, Karim. Syari’ah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Adorno, Theodor W. The Jargon of Authenticiy, terj. Knut Tarnowski dan Frederic Will (London: Routledge & Kegan Paul, 1973)

Adorno, Theodor W. dan Max Horkheimer. Dialectic of Enlightenment (New York: The Seabury Press, 1972)

Arkoun, Mohammed. Membedah Pemikiran Islam, terj. Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 2000)

_________________. Aina Hua al-Fikr al-Islâmî al-Ma’ashir, terj. Hâsyim Shâlih (Beirut: Dar al-Saqi, 1992)


Berger, Peter dan Thomas Luckmann, “Sociology of Religion and Sociology of Knowledge” di dalam Roland Robertson, Sociology of Religion (New York: Penguin Education, 1978)

Dessouki, Ali E. Hallil. “Modenism” dalam Encyclopedia of Religion, vol. 19 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987)

Edwards, James C. The Plain Things: The Fate of Religion in an Age of Normal Nihilism (The United States of America: The Pensylvania State University, 1997)


Gadamer, Georg-Hans. Truth and Method, terj. Garret Barden dan John Cumming (New York: The Seabury Press, 1975)

Giddens, Anthony. Masyarakat Post-Tradisional, terj. Ali Noerzaman (Yogyakarta: Ircisod, 2003)

Habermas, Jürgen. The Philosophical Discourse of Modenity, terj. Frederick G Lawrence (Massachusetts: The MIT Press, 1987)

Heidegger, Martin. Being and Time, terj. Joan Staumbaugh (New York: State University of New York, 1996)

Honderich, Ted. The Oxford Companion to Philosophy (Oxford, New York: Oxford University Press, 1985)

Kettler, David. (et.al), Karl Mannheim: Key Sociologists (London and New York: Ellis Horwood Limited Publisher and Tavistock Publications, 1984)

Levine, Peter. Nietzsche: Krisis Manusia Moden, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Ircisod, 2002)

Manheim, Karl. Ideology and Utopia: an Introduction to Sosiology of Knowledge, terj. L. Wirth dan Edw. Shils (New York: Harvest, 1989)

Mun’im DZ, Abdul. “Mempertahankan Keragaman Budaya”, Tashwirul Afkar, Edisi no. 14 tahun 2003

Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Moden (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994)

Rahner, Karl dan Herbert Vorgrimmer. Theological Dictionary (New York: Herder and Herder, 1965), hlm. 44.

Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, cet. II, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)

Warnock, Mary. Existentialism (New York: Oxford University Press, 1989)

Valerie, Paul. “Tradition”, dalam Mircea Eliade, Encyclopedia of Religion, vol. 15 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987)



Nota Hujung

[1] Tentang kritik terhadap modeniti sebagai pengekalan mitos semula boleh dibaca dalam Gretel W. Adorno dan Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment (New York: The Seabury Press, 1972). Dengan meyakinkan, kedua penulis ini membalikkan ‘mitos’ telah menjadi pencerahan dengan pencerahan menjadi mitologi semula. Huraian ini boleh dibaca di dalam Pengantar dan dikembangkan di dalam bentuk pentafsiran terhadap Odyssey. Semua produk Barat, dari film, radio, majalah, mesin penjawap hingga hasil teknologi yang lain tidak lagi dipandang sebagai pencapaian yang menunjukkan rasionaliti Barat tetapi bahagian dari pengekalan mitos-mitos baru. Kebudayaan telah menjadi komoditi industrialiasi yang boleh diperjual-belikan demi pengumpulan modal yang buta.
[2] Lihat Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 1-2.
[3] Untuk bacaan lebih lanjut lihat Karl Manheim, Ideology and Utopia: an Introduction to Sosiology of Knowledge, terj. L. Wirth dan Edw. Shils (New York: Harvest, 1989), khususnya bab V tentang “Sociology of Knowledge”. Lihat juga penjelasan David Kettler (et.al) bahawa titik tolak pencarian pengetahuan, menurut Mannheim, mesti merupakan usaha oleh pemikir untuk memahami situasi intelektual pada masanya. Dia harus memulai penelitiannya dengan pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan yang dibahas secara luas di dalam komunitinya. Selain itu, Mannheim juga mengemukakan prasangka berdasarkan pendekatan dan kaedah penalaran yang memperoleh kekuatan di dalam generasi pemikirnya, dan ini juga terjadi pada intelektual sastra dan pemikir politik, di mana konflik dan ketidakpaduan menandakan pemandangan bahawa pemikir harus mencari cara untuk menerjemahkan situasi yang lebih jelas dan lebih produktif. Dia tidak menyangkal hubungan integralnya antara pemikirannya sendiri dan pemikiran sezamannya. David Kettler (et.al), Karl Mannheim: Key Sociologists (London and New York: Ellis Horwood Limited Publisher and Tavistock Publications, 1984).
[4] Lihat Georg-Hans Gadamer, Truth and Method, terj. Garret Barden dan John Cumming (New York: The Seabury Press, 1975), hlm. 465. Bandingkan juga dengan Peter Berger dan Thomas Luckmann yang mengatakan bahawa tugas sosiologi pengetahuan adalah menganalisis bentuk-bentuk sosial pengetahuan, proses dengan mana individu-individu memperoleh pengetahuannya serta akhirnya, organisasi institusional sekali gus distribusi sosial dari pengetahuan. Lihat “Sociology of Religion and Sociology of Knowledge” dalam Roland Robertson, Sociology of Religion (New York: Penguin Education, 1978), hlm. 69.
[5] Karl Mannheim, op. cit., hlm. 52. Menurut Nietzche bahawa sejarah itu bersifat kebetulan, yang terbatas ruang dan waktunya. Lihat Peter Levine, op.cit., hlm. 277.
[6] Mohammed Arkoun, Ibid., hlm. 300. Untuk bacaan lebih jauh tentang hubungan Islam dan Barat baca di dalam Aina Hua al-Fikr al-Islâmî al-Ma‘âshir, terj. Hâsyim Shâlih (Beirut: Dar al-Saqi, 1992), hlm. 131-138.
[7] Ibid., hlm. 320.
[8] Ibid..
[9] Lihat Robert D. Lee, Ibid., hlm. 24.
[10] Diambil dari Ted Honderich. The Oxford Companion to Philosophy (Oxford, New York: Oxford University Press, 1985), hlm. 68.
[11] Martin Heidegger, Being and Time, terj. Joan Staumbaugh (New York: State University of New York, 1996), hlm. 247. Pemahaman terhadap diri (Da sein) tidak boleh dilepaskan daripada pemahaman terhadap ketersituasian manusia (being-there). Seperti dikatakan oleh Heidegger: “Penelitian ontologi adalah sebuah cara penafsiran yang mungkin yang kita cirikan sebagai sebuah perkembangan dan apropriasi sebuah pemahaman. Setiap pemahaman mempunyai “memiliki lebih dulu” (vorhabe), melihat lebih dulu (vorsicht), dan menangkap lebih dulu (vorgriff).” Ertinya, sebelum menafsirkan, seseorang telah memiliki prasangka. Heidegger, Ibid., hlm. 219.
[12] Mary Warnock, op.cit., hlm. 8.
[13] Robert D. Lee, op.cit., hlm. 11. Oleh itu, agenda-agenda itu haruslah sesuai dengan masyarakat terbabit, meskipun boleh berlawanan dengan rasionaliti pengatur sosial. Masyarakat haruslah merancang sistem politik, ekonomi, dan sosial agar sesuai dengan kebudayaan mereka sendiri. Di sinilah, awal kesalahan Barat mengimport budaya demokrasi ke Timur tanpa mempertimbangkan situasi lokal yang khas dan unik. Dakwaan universaliti nilai-nilai demokrasi bukan jaminan dan penyelesaian bagi segala persoalan yang dihadapi Timur.
[14] Dikutip dari James C. Edwards, The Plain Things: The Fate of Religion in an Age of Normal Nihilism (The United States of America: The Pensylvania State University, 1997), hlm. 135.
[15] Ibid., hlm. 137.
[16] Baca lebih jauh dalam Robert D. Lee, op.cit, hlm. 35-67.
[17] Paul Valerie, “Tradition”, dalam Mircea Eliade, Encyclopedia of Religion, vol. 15 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), hlm. 1. Kuasa di sini adalah keterpecayaan dan dakwaan legal terhadap peribadi atau sesuatu (kitab) yang lugas dan boleh diungkapkan, yang mampu meyakinkan orang lain tentang beberapa kebenaran atau kesahihan sebuah perintah dan mewajibkan seseorang untuk menerimanya, meskipun kebenaran atau karakter sahih itu tidak terbukti. Penerimaan terhadap sebuah perintah dari kuasa disebut ketaatan; penerimaan dengan motivasi yang sama terhadap sebuah kebenaran disebut iman. Keduanya adalah mod pengakuan langsung yang didasarkan pada kuasa sebuah perantara. Lihat Karl Rahner dan Herbert Vorgrimmer, Theological Dictionary (New York: Herder and Herder, 1965), hlm. 44.
[18] Anthony Giddens, op.cit., hlm. 19.
[19] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Moden, terj. Luqman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), hl. 3.
[20] Lihat Georg-Hans Gadamer, op.cit, hlm. 245-253.
[21] Dipetik daripada Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modenity, terj. Frederick G Lawrence (Massachusetts: The MIT Press, 1987), hlm. 5.
[22] Lihat Ali E. Hillal Dessouki, “Modenism” dalam Encyclopedia of Religion, vol. 19 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), hlm. 15.
[23] Tema-tema ini sepenuhnya merujuk kepada pemikiran ketulenan Barat, seperti Jean-Jacques, Rousseau, Friederich Nietzsche, Johan von Herder, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Antonio Gramsci, Frantz Fanon, Aimé Césare, Léopold Senghor, Julius Nyerere, dan Charles Taylor. Lihat Robert D. Lee, op.cit., hlm. 13.
[24] Ibid.,., hlm. 13.
[25] Simak dalam puisi pendeknya:
tiap atom sangat mengharap kemuliaan:
mendamba buah-diri dari Syahadat seisi bumi!
Hatimu adalah lilinmu,
Dirimu sendiri adalah seluruh cahaya yang kaudambakan;
Kaulah satu-satunya keberadaan dunia ini, yang lain tidak
Ilusi laksana sihir
Dari Gurun menusukkan keraguan pada banyak orang:
Jangan mengeluh bila kaki telanjangnya berdarah
[26] Ibid., hlm. 69. Tetapi, Iqbal dihinggapi ambiguiti dan keterpecahan ketika ia menerima gelar Sir dari Kerajaan Inggris. Ironik, ia tidak menolak dan menerimanya sebagai warga kehormatan dari negara yang justeru menjajah negerinya.
[27] Ibid., hlm. 137.
[28] Ibid., hlm. 167.
[29] Tentang keunggulan budaya Yunani pra-Sokrates sebagai bentuk ideal dari kebudayaan baca Peter Levine, op.cit, hlm. 141-162.
[30] Ibid., hlm. 175.
[31] Diambil dari Robert D. Lee, op.cit., hlm. 27-29.
[32] Sangat jelas, asumsi ini berasal dari pemahaman eksistensialis tentang Ada (Sein). Menurut Heidegger ada (Sein) itu lenyap ke dalam “mereka” (they), oleh kerana itu ia harus pertama kali menemukan dirinya. Untuk menemukan dirinya secara penuh, maka harus “diperlihatkan” pada dirinya di dalam semua kemungkinan otentiknya. Untuk itu kata Heidegger maka Da-sein perlu ditafsirkan dengan penafsiran sehari-hari terhadap dirinya. Untuk bacaan lebih lanjut tentang relasi autentisiti dan Da-sein baca Heidegger, op.cit., hlm. 247-277.
[33] Dikutip dari Peter Levine, Nietzsche: Krisis Manusia Moden, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Ircisod, 2002), hlm. 252.
[34] Bandingkan dengan Nietzsche, di dalam Genealogy of Morals, yang mengasalkan semua kebenaran terhadap penilaian-penilaian kontingen tentang kebaikan dan kejahatan. Diambil dari Peter Levine, op.cit, hlm. 274.



Ahmad Sahidah adalah mahasiswa PhD Bidang Tamadun Islam Universiti Sains Malaysia. Selain sedang menyelesaikan disertasi bertajuk “Hubungan Tuhan, manusia dan alam dalam al-Qur’an: Satu Kajian terhadap Analisis Semantik Toshihiko Izutsu melalui Pendekatan Hermeneutik”, beliau juga aktif menulis rencana di akhbar dan menerjemahkan beberapa buku dalam bidang kajian keislaman dan falsafah.

Transliterasi

TRANSLITERASI*

Panduan merumikan perkataan, frasa, dan nama-nama khas dalam bahasa Arab yang dijelaskan di sini adalah berasaskan kaedah transliterasi yang digunakan peringkat antara bangsa dan selaras dengan kaedah yang terdapat dalam Pedoman Transliterasi Huruf Arab ke Huruf Rumi terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka. Senarai Istilah Agama dan Daftar Istilah MBIM juga boleh dijadikan rujukan semasa merumikan perkataan dan sebagainya.

ABJAD ARAB

Abjad Arab dan sebutannya hendak ditransliterasikan mengikut panduan yang berikut:

Abjad Sebutan Arab Transliterasi Rumi

ا (alif) a
ب (bā) b
ت (tā) t
ث (thā) th
.ج (jīm) j
ح (hā) h
خ (khā) kh
د (dāl) d
ذ (dhāl) dh
ر (rā) r
ز (zāy) z
س (sīn) s
.ش (shīn) sh
.
ص (sad) s
.ص (dād) d
.ط (tā) t
ظ (zā) z
ع (‘ayn) ‘
غ (ghyn) gh
ف (fā’) f
ق (qāf) q
ك (kāf) k
ل (lām) l
م (mīm) m
ن (nūn) n
و (wāw) w
ه (hā) h
ء (hamzah) ,
ي (yā) y
ة (tā marbutah) h (ketika dimatikan bunyinya)
- t (ketika perlu dihidupkan bunyinya)
KONSONAN
Semua huruf konsonan Arab ditransliterasikan berserta dengan bunyi barisnya. Bunyi huruf akhir dimatikan

Tanpa ‘al’ Berserta ‘al’
ا اسم ism الاسم al-ism
ب ابل ibil الابل al-ibil
.
.ت تمر tamar التمر al-tamar
ظ ظهرٌ zuhr الظهر al-zuhr
ي يوم yaum اليوم al-yaum

VOKAL PANJANG

Semua vokal panjang atau madd (di atas, di bawah, dan di hadapan) ditandai degnan ā, ī, ū.

Di atas di bawah di hadapan

ادم Ādam ايلاء īla’ اولى ūlā
.
-صفا safa قيل qīla سورة sūrah, sūrat

BARIS DUA

Beberapa perkataan Arab yang perlu dinyatakan bunyi baris dua (tanwin) pada setiap masa hendaklah ditransliterasikan sepenuhnya tanpa dimatikan bunyi akhir.
.
.
.رَاضى radin معنى ma’nan
قَاضى qadin رضى ridan

Jika sesuatu frasa daripada al-Qur’an perlu dinyatakan bunyi baris huruf yagn akhir untuk tujuan penegasan makna, frasa itu boleh ditransliterasikan seperti berikut:

امة وسطا ummatan wasatan
قولا شديد qawlan sadīdan
قول معروف qawlun ma‘rūfun
لهو ولعب lahwun wa la‘ibun

TASHDID/SHADDAH
Huruf Arab yang bertashdid hendaklah ditransliterasikan dengan huruf rumi dan dinyatakan vokal sebelumnya

بواب bawwāb
غي ghayy
حي hayy

NAMA ARAB

Nama Arab, panggilan nama Arab, dan nama kitab Arab hendak dieja berdasarkan kaedah yang dijelaskan di atas. Huruf pertama bagi nama khas dicetka degnan huruf Besar. Lihat di bawah.
.
ابو بكر الصديق Abu Bakar al-Siddiq
عمر بن العزيز ‘Umar ibn+ ‘Abd al-‘Aziz
ابن رشد Ibn* Rushd
.الامام الشافعى al-Imam al-Shafi’iyy
قاموس المحيط Qamus al-Muhit

Tiap-tiap perkataan dalam frasa nama ditransliterasikan suatu per satu menurut kaedah yang dijelaskan di atas

الفتوحات الكبرى al-Futūhāt al-Kubrā
.ام القرأن umm al-Qur’ān
.صدقة جاربة sadaqah jāriyah
- sadaqah jariyat


FRASA KATA KERJA
Huruf akhir bagi kata kerja hendaklah dihidupkan bunyinya setiap masa

من وجد man jadda wajada
.من مات فات man māta fāta
اللهم صل على محمد Allāhumma salli ‘alā Muhammad

FRASA KEKAL BUNYI ASAL
Terdapat beberapa perkataan dan frasa dalam bahasa Arab yang lazim digunakan dan perlu dikekalkan bunyi setiap hurufnya.

تكبيرة الاحرام Takbīratu’l-ihrām
السلام عليكم as-salāmu‘alakum
وعليكم السلام wa‘alaikum’s-salām

FRASA YANG MENGANDUNGI LAFAZ
Lafaz الله yang ditransliterasikan mengikut kaedah yang biasa iaitu ‘Allah’. Jika lafaz ini didahului oleh sesuatu kata gabungan, kata kerja atau kata sendi, huruf ‘L’ yang kedua adalah huruf besar, sementara perkataan lain dalam frasa itu dieja mengikuti kaedah di atas.

ذكرالله dhikrulLāh
ما شاء الله ma shā’alLah
استغفرالله astaghfirulLāh
رسول الله RasūlulLah/rasululLāh
وباالله التوفيق wabilLāhittawfīq
الله اعلم walLāhu a‘lam­

* Mengikut Gaya Dewan: Sebuah Panduan Kerja Penerbitan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990)
+ بن asalnya ابن . Oleh itu kata ini hendaklah ditransliterasikan ‘ibn’ dan dicetak huruf kecil kerana fungsinya seperti ‘bin’
* ‘Ibn’ dieja dengan huruf besar kerana fungsinya sebagai kata nama khas

Penghargaan


بسم الله الرحمن الرحيم

Saya mengucapkan syukur ke hadirat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberi kekuatan untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Demikian juga, semoga salawat dan salam sentiasa tercurahkan kepada jungjungan kita Nabi Muhammad sallalLahu ‘alaihi wasallam.

Disertasi ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan yang telus daripada penyelia Profesor Madya Zailan Moris. Kesabaran dan kecermatan beliau untuk mendiskusikan pelbagai masalah yang berkaitan dengan tema disertasi dan bagaimana menggunakan sebuah pendekatan yang boleh diterapkan agar boleh mengantarkan karya ini pada kedudukan yang kukuh sebagai usaha ilmiah dan akademik adalah sangat membantu.

Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Profesor Abu Talib Ahmad, Dekan Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan dan seluruh staf Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia kerana memungkinkan saya menjalani masa-masa luang dengan nyaman di kampus dan boleh menggunakan kemudahan yang disediakan, seperti perpustakaan, akses internet dan bilik sumber.

Suasana akademik yang nampak hidup dengan sering diselenggarakan kegiatan seminar telah memantik semangat saya untuk terus bergiat di dalam aktiviti ilmiah yang dijalankan oleh Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan dan Pusat Sains dan Falsafah Islam dalam beberapa pertemuan. Kegiatan yang membabitkan sarjana dari seluruh semenanjung telah menghidupkan perbincangan pelbagai isu dari sudut pandang keilmuan. Di sini, saya boleh belajar dari Chandra Muzaffar, Datuk Harussani Zakaria dan Osman Bakar, untuk menyebut sebahagian dalam menyampaikan gagasan dan melihat dunia lebih luas.

Persekitaran kampus juga turut memberi kenyamanan. Tasik yang dipenuhi ikan boleh menghiburkan saya di tengah kepenatan membaca. Padang bola, badminton, tenis, bola keranjang, pingpong dan track stadium adalah kemudahan lain yang selalu menyenangkan untuk membuat tubuh sihat dan cergas.

Demikian juga, saya tak lupa untuk memberikan penghargaan kepada staf perpustakaan, Universiti Islam Antarabangsa, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Malaya dan ISEAS Universiti Kebangsaan Singapore. Mereka telah memberikan perkhidmatan yang berharga pada saya untuk menerokai sumber-sumber rujukan yang berhubungan dengan tema disertasi. Secara khusus, saya tidak melupakan profesionaliti yang ditunjukkan oleh para staf perpustakaan Hamzah Sendut Universiti Sains Malaysia yang banyak menyediakan bahan disertasi dan bahkan buku-buku lain yang menjadi minat saya, seperti novel, politik, sosial dan ilmu kemanusiaan. Ketersediaan jurnal dan akhbar melengkapi keperluaan saya akan maklumat terbaru mengenai wacana ilmiah dan informasi semasa.

Tentu sahaja, dukungan dari keluarga, Ibu, kakak dan adik serta isteri tersayang Tetty Noor ‘Aini yang rela masa indahnya direnggut kerana memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar di Malaysia. Demikian pula, teman-teman PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) yang memberikan suasana rumah di negeri rantau sehingga saya menemukan wajah kampung di sini, bumi Minden.

Ahmad Sahidah

Monday, April 16, 2007

TKI di Negeri Orang

Rapat kecil 'sore' itu menyisakan sejuta tanya karena perhelatan yang akan digelar tangal 3 Mei melibatkan sebuah badan yang baru yang dibentuk Susilo Bambang Yudoyono, bernama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2T). Badan yang berada langsung di bawah koordinasi Presiden dan diketuai oleh Jumhur Hidayat sebenarnya pernah memunculkan kontroversi karena mengerdilkan otoritas Departemen Tenaga Kerja yang dinahkodai oleh Erman Suparno dari Partai Kebangkitan Bangsa.

Kita tentu saja tidak akan terjebak pada ranah politik karena kita berada di luar 'drama' senayan dan istana. Mahasiswa akan menjaga jarak dari seluruh kepentingan yang dibawa oleh para politisi. Meskipun, keberadaan mereka penting untuk merawat demokrasi.

Secara pribadi, saya sangat menghargai usulan Pak Mohammad Tahir, yang kebetulan bersedia memberikan sumbang saran, bahwa PPI USM harus juga merumuskan hasil pertemuan agar tidak hanya dibaca oleh birokrasi Jakarta. Paling tidak, kita juga membuat rumusan alternatif terhadap jalannya acara yang bertajuk Pekerja Bermasalah di Indonesia: Strategi Komunikasi dan Harmonisasi. Untuk itu, saran teman-teman sangat diharapkan agar strategi pembacaan kita terhadap diskusi ini juga turut mewarnai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah RI.

Rapat kecil sore itu dihadiri oleh Mas Baim (ketua Sidang), Mas Tejar (sekretaris), Mbak Forient (Koordinator Luar), Mbak Nia dan Mas Supri, Mas, Pak Tahir, Mas Maulana, Mas Taufik, Mas Ayi, Mbak Wulan dan saya sendiri. Percakapan sempat 'memanas' karena ragam pandangan terhadap acara ini muncul. Untungnya, semua yang hadir bisa menampilkan kematangan baik ecara emosional dan rasional. Saya rasa ada penanda yang bisa menyatukan perbedaan, yaitu huruf I pada organisasi kita PPI.

Senyampang acara ini masih lama, alangkah baiknya teman-teman Mahasiswa Indonesia turut memberikan saran agar aktivitas ini tidak hanya sebatas seremoni dan diskusi alot, tetapi lebih jauh mampu mengubah keadaan. Kalau kita perhatikan sebenarnya 'masalah' TKI telah dirumuskan dan diberikan jalan keluar oleh berbagai organisasi yang menaruh perhatian pada buruh, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di Indonesia, misalnya, kita bisa membaca pandangan pegiat Buruh Migran, Mbak Anis atau rekomendasi yang telah dihasilkan oleh Human Rights Watch yang berbasis di Amerika.

Sekarang, menurut saya, kita tidak lagi belajar bagaimana mencari 'solusi' dari masalah yang membelit tenaga kerja kita di sini, tetapi mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi International Convention the Rights of All Migrant Workers, sebagaimana diusulkan oleh Prof. Dr. Jorge Bustamante dari PBB bagian Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran. Tanpa ini, kita sepertinya ingin menegakkan benang basah. Susah, bukan?

Namun demikian, saya sangat menghargai usaha pengurus PPI untuk menggelar lokakarya bekerja sama dengan Badan Baru yang dibentuk oleh Presiden RI untuk membantu TKI, tanpa harus direcoki kecurigaan bahwa ini tidak lebih dari gimmick dari sebuah akrobat kekusaaan menjelang pesta demokrasi tahun 2009.


Ahmad Sahidah
Anggota PPI USM

Saturday, April 14, 2007

Memartabatkan PRT di Negeri Jiran

§ Oleh Ahmad Sahidah

TULISAN Sdr Achmad Maulani bertajuk "Menanti Perlindungan Hukum TKI" (SM 12/4/07) memberi empati kepada nasib TKI Indonesia di Luar Negeri. Kritik terhadap ketidakbecusan pemerintah sebenarnya telah banyak diulas, namun pengungkapan kembali persoalan ini memang harus diulang-ulang agar pembuat kebijakan dan pelaksaan lapangan tergerak untuk segera berbuat yang semestinya dikerjakan.

Jumlah mereka yang dianiaya kecil, tapi tidak ada pembenaran untuk membiarkan yang tertindas diabaikan. Ke-alpaan untuk melindungi sebuah profesi yang rentan terhadap perlakuan tidak manusiawi akan melahirkan tindak kekejaman lain yang tersembunyi
Ada banyak istilah menyebut profesi ini, di antaranya jongos, pesuruh, babu, khadam, dan sahaya. Secara semantik kata ini menunjukkan pada seseorang yang melakukan pekerjaan yang dinginkan oleh majikannya.

Tidak susah menemukan keberadaan mereka. Keseharian, mereka menjadi bagian kehidupan pada umumnya, atau sedang mengasuh anak majikan yang sedang belanja di Mall, ngobrol dengan sejawatnya dipintu rumah.

Indonesia Kurang Diperhatikan

Christine B N Chin (1988) di dalam In Service and Servitude mengkaji tentang pekerja rumah tangga dari Indonesia dan Filipina di Malaysia. Dalam kesimpulannya, berbeda dengan sejawatnya, para pembantu dari Indonesia tidak mendapat perhatian yang selayaknya, sedangkan pekerja dari negeri Pagoda didukung oleh pemerintah, NGO dan masyarakatnya sendiri.

Di antara pelanggaran yang dilakukan majikan terhadap hak mereka ialah jam kerja yang lama, tidak ada waktu istirahat, kurungan ilegal, gaji tidak dibayar atau dikurangi, pelecehan fisik dan psikologis, serangan seksual, tidak ada tempat tidur yang layak dan akomodasi yang memadai, tidak diberi makan atau tidak cukup, tidak bisa mempraktikkan agama atau mengganggu praktik agama mereka.

Laporan Human Rights Watch (HRW - 2004), organisasi hak asasi manusia yang berpusat di AS, merangkum lengkap persoalan itu. Ketidakberesan dalam proses pengambilan, pelatihan di tempat penampungan, proses dokumentasi adalah awal dari pelanggaran selanjutnya terhadap hak-hak pekerja.

Berbeda dengan pekerja migran lain, untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT), mereka tidak membayar satu sen pun, kecuali melalui agen tenaga kerja tidak resmi. Kemudahan ini dianggap oleh sebagian pengerah tenaga kerja sebagai pembenaran untuk memeras mereka dengan memotong gaji empat bulan pertama dan melepaskan tanggung jawab ketika mereka ditimpa masalah.

Angin Perubahan

Dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dengan Malaysia tentang tenaga informal (PRT)Juni 2006 seyogianya akan berdampak positif. Ironisnya, di Indonesia sendiri, tidak ada aturan untuk melindungi para PRT. Mengingat centang-perenang pengurusan masalah ini, ada baiknya seluruh unsur dalam masyarakat di Indonesia dan Malaysia memberi perhatian terhadap upaya memartabatkan pembantu di negeri Jiran ini.

Rekomendasi HRW terhadap kedua negara bisa dijadikan acuan. Sayangnya, kementerian tenaga kerja dan imigrasi serta kementerian dalam negeri Malaysia menganggap pekerja NGO musuh yang menggerogoti wewenangnya.

Kedua negara ini perlu segera mewujudkan saran HRW untuk membuat UU dalam upaya melindungi para pekerja migran, termasuk pembantu. Selain itu, kementerian yang berwenang juga harus memonitor praktik agen tenaga kerja, menginspeksi tempat kerja dan kondisi tahanan serta menciptakan mekanisme komplain, memberikan dukungan pelayanan serta memperkuat kemampuan NGO untuk membantu mereka, menyebarkan informasi tentang hak-hak pekerja serta kewajiban agen, majikan dan pemerintah.

Mahasiswa yang tersebar di negeri jiran bisa menjadi ujung tombak mendampingi para pembantu. Upaya Persatuan Pelajar Universitas Sains Malaysia yang akan mengadakan lokakarya (2 Mei 2007) "Pekerja Bermasalah di Indonesia: Strategi Komunikasi dan Harmonisasi" patut mendapat perhatian. Kegiatan ini melibatkan institusi resmi dan NGO, baik dari Malaysia maupun Indonesia. (11)

--- Ahmad Sahidah, kandidat doktor Ilmu Humaniora di Universitas Sains Malaysia
[Sumber: Suara Merdeka, Wacana, 14/4/07]

Tuesday, April 10, 2007

Mengapa Harus Humor?

Saya membaca humor yang dikirimkan oleh sahabat kita ini setelah penat memelototi huruf-huruf yang berserakan di layar komputer. Benar-benar humor yang membuat perut terguncang.

Namun, saya tidak akan mengomentari kejenakaan dari humor di bawah [termaktub dalam milis PPI], tetapi takjub ternyata Mas Supri suka melucu. Sebelumnya, kami hanya direkatkan dengan perbincangan serius dan terkadang pergi olahraga bareng. Tak ada tawa.

Ya, bersama waktu, kita akan mengenal lebih jauh orang yang menjadi bagian dari hidup kita. Ini sesungguhnya petanda bahwa sejalan dengan waktu kita akan tahu lebih banyak tentang orang lain, sehingga tak perlu 'menilai' liyan karena pasti gagal sebab masih ada segudang karakter yang masih terbenam di dalam kepribadiannya. Belum lagi, setiap orang akan mengalami transformasi disebabkan pengalaman hidupnya yang panjang.Ia adalah masa lalu, sekarang dan masa depan. Lalu, Anda mengukurnya dari sudut mana?

Selain itu, Mas Supri juga mengilhami saya untuk tak mengenal lelah menyapa Tuhan di surau flat Restu. Hampir dalam kesehariannya, beliau selalu menyempatkan diri untuk melakukan shalat jamaah lima waktu. Memang, ada juga teman lain, seperti Mas Hilal, Mas Ismet yang sering shalat berjamaah di musolla. Mengapa harus berjamaah? Saya rasa Mas Supri dan Mas Hilal bersedia menyediakan waktunya untuk berbagi di sini.

Pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa shalat jamaah tidak akan merampas waktu kita? Ia hanya memerlukan waktu 10 menit. Untuk itu, kita tak perlu menunda lagi untuk tidak menyambangi rumah Tuhan selagi kita masih bisa mereguk napas yang diberikan secara gratis oleh Zat Maha Segala. Lebih dari itu, kata Bang Deddy Mizwar, Kiamat Sudah Dekat!

Ahmad Sahidah
Belajar istiqamah

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...