Saturday, June 27, 2009
Menikmati Milik Sendiri
Kalau saya hanya menunjukkan gambar di atas begitu saja, pasti Anda tak bisa menggambarkan seutuhnya peristiwa yang ada di balik sepotong jepretan kamera di atas. Demikian pula, sekuat apa pun saya menerakan latar dari gambar ini, ada kehilangan momen, karena saya menulisnya satu hari setelah peristiwa tersebut. Pasti ada banyak 'tafsir' yang telah bercampur aduk dengan suasana hati ketika goresan ini diterakan.
Belum lagi, ada banyak benda yang ada di selembar kertas itu yang tak sempat ditangkap kamera secara utuh, seperti buku yang ada di meja. Sebagai makluman, buku itu adalah karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi (Yogyakarta: Bentang, 2008). Demikian pula, dua minuman yang tergelak di atas meja yang mungkin susah untuk disebut jenisnya karena warna yang tak begitu jelas. Sekali lagi saya katakan bahwa dua minuman itu adalah kopi yang dicampur hazelnut, yang satu kopi putih dan satunya lagi dicampur coklat.
Lalu, botol kosong itu adalah tempat susu kaleng yang telah habis diteguk si kecil. Tentu para perawat di rumah sakit tempat kami sering memeriksakan si kecil akan marah besar karena belum waktunya si kecil diasup dengan susu pabrikan. Tapi, apa boleh buat, kami sedang berada di ruang publik. Lalu, warung kopi itu akan menjadi tanda tanya besar yang lain. Ia adalah warung yang terletak di dekat rumah dan merupakan perusahan lokal, bukan asing, seperti Starbucks atau Coffee Bean. Jadi, saya betul-betul menikmati tegukan dan suasanya karena merasa inilah yang harus kita lakukan untuk keluar dari rasa tidak percaya diri kepada milik kita sendiri. Anda setuju?
Manohara, Perspektif Malaysia
Sumber: Suara Merdeka, 16 Juni 2009
Palace says it is a private affair (New Straits Times, 3 Juni 2009)
KUTIPAN itu adalah jawaban istana terhadap hiruk-pikuk drama pelarian Manohara dari ”kekangan” Istana Kelantan. Kalangan istana melihat persoalan rumah tangga Manohara dan Tengku Temenggong Muhammad Fakhry Petra tidak seharusnya diusung ke khalayak.
Namun media massa Indonesia telah mengumbar kasus ini hingga yang terkecil, berbeda dari media Malaysia yang sangat berhati-hati mengulas isu ini karena menyangkut kerabat istana, institusi yang menempati posisi tertinggi dalam hierarki masyarakat. Bagaimanapun, kedudukan raja menempati posisi nomor dua setelah Tuhan dalam dasar Kebangsaan Malaysia. Malah lagu kebangsaannya pun memberi tempat istimewa kepada raja.
Kalau sang putri bukan dari Indonesia, mungkin persoalan ini tidak memaksa media Malaysia turut memuat berita heboh ini. Pemberitaan yang sangat gencar di Tanah Air telah membuka ”dalaman” Istana yang selama ini cenderung tidak dipublikasikan menempatkan media Malaysia pada posisi sulit. Apalagi, kasus ini telah melibatkan wakil pemerintah Indonesia dan wakil istana sejak awal. Meskipun demikian, media Malaysia, seperti The Sun, hanya sebatas mengulas kasus ini telah mendapatkan perhatian 10 televisi swasta, tanpa mencoba menekankan sensasi berkaitan dengan pelecehan fisik dan seksual yang menimpa Manohara.
Tak Tersentuh
Sebagai istri dari salah seorang kerabat istana, gelar Cik Puan untuk Manohara adalah sebuah jaminan kehidupannya akan bergelimang popularitas dan harta. Pesawat jet pribadi sang pangeran akan mengantarkan sang putri ke mana dia melanglang buana. Namun cerita indah itu tidak menjadi kenyataan. Sang putri menderita lahir dan batin karena ”mengaku” kepada media telah didera oleh Pangeran.
Tidak tanggung-tanggung, mantan model ini sesumbar mempunyai bukti rekaman dalam telepon genggam dan disimpan dalam compact disk sebagai back up. Sebaliknya, media Malaysia tidak memberikan ruang yang luas untuk bersuara bagi sang putri. Malah koran The New Straits Times (5/5/09) mencoba mengalihkan isu dengan membuat judul besar “Ibu Manohara masuk dalam daftar Interpol” (Manohara’s mum on Interpol arrest list).
Namun jauh berbeda dari media alternatif, seperti di blog aktivis terkemuka Hishamuddin Rais. Dengan nada kelakar, penulis terkenal Malaysia ini mengolok-olok Manohara yang dianggap bertindak durhaka dan tidak tahu diri karena lawannya adalah seorang ”untouchable” dan bahkan bisa mengutuknya menjadi batu akik.
Tentu, pernyataan ini bisa ditafsirkan sebagai kritik rakyat kepada istana secara halus yang selama ini tak pernah digugat oleh kawula. Hal ihwal istana yang coba ditutup rapi telah menjadi sorotan publik, sesuatu yang terlarang sebelumnya. Sosok anggota keluarga istana yang karismatik telah menjadi bahan olok-olok.
Celakanya lagi, drama ini telah mengungkit sesuatu yang tabu di negeri jiran. Pernyataan seorang VJ MTV Daniel Mananta (Detik, 5/5/09) bahwa sang putra mahkota itu adalah pedofil tentu makin memburukkan citra ”Kerajaan” Kelantan di publik Malaysia dan bisa memancing kemarahan rakyat Malaysia.
Agaknya komentar ngawur semacam ini tidak akan dikutip oleh media di sana, namun adalah tidak mustahil pernyataan keras tentang perilaku anggota keluarga Raja menjadi konsumsi media alternatif. Lagi-lagi, persoalan ini akan menempatkan Istana pada citra yang tak lagi keramat, setelah sebelumnya Istana Negara Bagian Perak dikritik keras oleh sebagian rakyat karena dianggap tidak adil dalam menyelesaikan perebutan kekuasaan antara koalisi Barisan Nasional dan Pakatan Rakyat.
Beberapa demonstran sanggup merebahkan badan untuk menghalang mobil yang membawa Putra Mahkota Perak, Raja Nazrin. Adalah tidak aneh jika adagium raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah berhamburan keluar dari mulut orang ramai.
Mengelak Sensasi
Sebenarnya cerita ini melengkapi kasus hubungan dua negara yang lebih seram, Ambalat. Jika dalam kasus terakhir melibatkan dua kuasa mengenai perbatasan, yang pertama berkait dengan perseteruan budaya. Bagaimanapun harus diakui Manohara adalah wakil dari budaya ”keterbukaan” dan Fakhri dibatasi oleh banyak aturan protokol istana.
Karena itu, masyarakat luas hanya mendengar pernyataan dari teman dekat Fakhri mengenai sikap istana. Apalagi, pihak kesultanan di sana cenderung menggunakan juru bicara dan lebih menyukai menggunakan kata-kata bersayap. Acara infotainment TV Malaysia juga tidak akan mengambil risiko untuk menyiarkan kasus ini secara gamblang, sebagaimana di Indonesia. Dengan demikian, publik Malaysia akan melihat kasus ini sebagai pertikaian rumah tangga biasa, tidak lebih.
Nyata, kejadian ini membuka mata hati kita bahwa kata serumpun tidak lagi ampuh untuk membuat kedua warga negara ini menjadi dekat. Padahal, kasus kekerasan suami terhadap istri semacam ini acapkali terjadi di masing-masing negara, namun tidak kemudian menyeret isu yang lebih besar bahwa Malaysia cenderung mengasari Indonesia.
Kesan ini tampaknya telah terpatri pada kebanyakan benak warga Indonesia bahwa apa pun yang berkait dengan hubungan keduanya selalu berakhir buruk. Untuk itu, biarlah Manohara menyelesaikan kasus pribadinya secara hukum.
Seyogyanya seteru Istana Kelantan ini tidak perlu menjadikan persoalan pribadinya sebagai panggung untuk menarik simpati dan menimbulkan hujatan masyarakat di sini terhadap kehidupan istana Malaysia. Bagaimanapun, media mempunyai peran untuk menjernihkan masalah ini agar hubungan baik antara dua negara tidak semakin kisruh setelah Ambalat menyeruak ke permukaan.
Lebih jauh, sejatinya kasus ini tidak perlu menjadi drama panjang di layar kaca dan media cetak, seandainya Manohara membawa kasus kekerasan rumah tangga ini ke pengadilan. Di Malaysia, suami yang melakukan kesalahan tindakan kekerasan menurut seksyen 127 Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah Federal) 1984 bisa dihukum denda tidak lebih RM 1000 (sekitar 3 jutaan) dan penjara 6 bulan atau keduanya sekaligus.
Selain akta ini, Akta Kekerasan (Keganasan) Rumah Tangga 1994 menegaskan bahwa seorang suami yang telah memukul istrinya sehingga cedera fisik atau seksual, memungkinkan sang istri bisa meminta perlindungan pengadilan dan suaminya bisa dihukum jika terbukti bersalah. Selain itu, sebenarnya banyak lembaga swadaya masyarakat yang siap membantu memberikan pembelaan terhadap kasus seperti ini, seperti Sisters in Islam dan Tenaganita. Lalu, apa yang kau cari, Manohara?
Perempuan blasteran Bugis-Prancis ini sedang mencari keadilan. Di Malaysia, dia merasa tak bisa berbuat banyak karena kekuasaan sultan yang tak bisa disentuh. Pengakuannya yang direkam dan tersebar telah memengaruhi pandangan publik bahwa perselisihan ini mengandaikan David dan Goliath.
Sekarang, kasusnya sedang bergulir menuju pengadilan. Keduanya telah mempunyai pasukan pengacara untuk mencari kebenaran. Media Malaysia telah menempatkan diri sebagai corong suara dari sang Pangeran. Portal Berita Malaysia Kini mencoba untuk berlaku adil, sama-sama memuat berita dari kedua belah pihak. Jika demikian, kita tunggu saja dewi keadilan menjawab semua carut marut ini.
—Ahmad Sahidah, Peneliti dan Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
Friday, June 26, 2009
Buah Tangan dari Teman Karib
Saya menyukai kudapan ini. Oleh-oleh yang dibawakan teman dari Bandung sempat juga didinginkan dan ternyata enaknya bertambah-tambah. Untuk memperlama kenikmatan, saya mengasupnya satu biji setiap hari. Kata sang filsuf yang sempat mampir di benak, kenikmatan itu adalah kemampuan menahan diri. Ya, saya belajar untuk tak mengumbar mengasup makanan sekali asup. Ada semacam upacara yang perlu mendahului, pagi-pagi sekali saya telah menyangga perut ini dengan kudapan ini, lalu minum kopi panas.
Saya membiasakan mengisi perut dengan makanan sebelum kopi menghajar lambung. Jika tidak, lambung merasa perih. Hebatnya lagi, pencernaan lancar dengan minuman yang terakhir ini. Meski, kadang tebersit, bahwa saya tak perlu meminumnya tiap hari karena tak baik bagi kesehatan jantung. Kadang, pagi hari, saya hanya minum teh-jahe untuk menghangatkan badan.
Oh ya, kawan baik itu tak hanya memberi kami Legieta di atas, tetapi juga memberikan bumbu pecel, yang terdiri dari bahan utama kacang yang ditelah ditumbuk. Meski akhirnya diolah tanpa rempeyek, saya menikmati makanan ini dengan krupuk dan tempe goreng. Tanpa mengabaikan menu yang lain, saya sangat menikmati hidangan seperti ini. Bahkan, setiap hari saya bisa melakukannya tanpa merasa bosan. Ya, kadang saya belajar melawan jemu dengan melakukan hal yang sama setiap hari, termasuk makan. Kadang gagal, tetapi saya menjalaninya.
Thursday, June 25, 2009
Mewujudkan Ide Itu Mendebarkan
Gambar ini diambil dinihari di sela-sela menemani celotehan si kecil. Meski sederhana, ia menyimpan banyak cerita panjang. Sebuah ikhtiar untuk memakmurkan surau tempat saya tinggal berjalan sesuai rencana, yaitu pertemuan kedua akan diadakan pada hari Jumat, 26 Juni 2009. Salah satu agendanya adalah mewujudkan pengajaran al-Qur'an untuk anak-anak flat. Sebelumnya, kami telah berbincang dan mencoba mencari cara agar program ini berhasil.
Terlintas di benak, pada sore hari, pengeras suara memperdengarkan lagu-lagu rohani untuk anak-anak, seperti di kampung dulu. Belum lagi, riuh-rendah dan tingkah laku mereka yang membuat senang siapa pun yang melihatnya akan menambah keceriaan menjelang senja. Ya, mereka harus mempunyai tempat untuk belajar dengan riang dan surau adalah ruang mereka mewujudkan tempat 'bermain' sambil belajar, atau sebaliknya. Pembelajaran ini diarahkan pada pengembangan kognitif dan psikomotorik mereka, sehingga proses belajar tak membosankan. Kira-kira begitu.
Sekilas, anak-anak yang tingal di flat mungkin mencapai 30, sebuah angka yang cukup besar untuk memenuhi surau itu. Tentu, dari angka sebesar itu tidak bisa diharapkan untuk mengikuti program ini karena sebagian telah mengikuti kelas al-Qur'an (yang disana disebut KAFA, Kelas Fardhu Ain). Namun, jauh dari itu, kegiatan ini diharapkan juga untuk meramaikan jamaah shalat, terutama maghrib agar surau bertambah meriah, tak sepi disergap malam.
Tuesday, June 23, 2009
Menemukan Semangat pada Pahlawan
Meski gambar tak begitu terang, ia sangat berharga. Kehadiran saya pada hari Kebangkitan bersama warga Indonesia di negeri jiran memantik kenangan. Merayakan hari besar yang dulu disambut dengan riang di kampung, kini hadir kembali. Pada masa itu, kami bisa menonton banyak hiburan dan memanjakan diri dengan merasakan aneka kudapan. Sekali waktu, ada film gratis yang ditonton beramai-ramai di tengah tanah lapang.
Sekarang, hiburan itu adalah melihat tingkah polah pekerja menyambut penyanyi melantunkan lagu. Mereka menemukan oase setelah lelah dibekap rutinitas. Sayangnya, lomba karaoke terbatas pada lagu pop. Mereka tampak kurang antusias. Dangdut tetap pilihan utama. Meskipun demikian, acara berlangsung meriah. Semua larut dalam lagu. Gundah sirna seketika, terpancar dari raut wajah mereka.
Di selang-seling ada petuah dan ceramah. Saya mengisi sebagian mengajak mereka untuk menyelami semangat kebangkitan 100 tahun yang lalu. Bukan dengan berteriak merdeka, tapi dengan tindakan nyata, mencintai produk negeri sendiri. Saya juga mengutip Tunku Abdurrahman, Perdana Menteri 1 Malaysia, yang mencanangkan program serupa tahun 1970-an. Kedua negara seharusnya saling mengisi untuk mendorong satu sama lain membeli barang buatan sendiri, sebagai tanda kepercayaan pada kemampuan diri sendiri. Jika tidak, kita telah menggadaikan marwah kita.
Mengejar 'Laskar Pelangi'
Setelah rapat panitia "Laskar Pelangi", kami bertiga langsung bekerja, meski senja telah turun. Persiapan yang sedang dibuat adalah pembuatan desain spanduk oleh Mas Hilal, dan surat permohonan pembicara lokal oleh Pak Ardi. Sedang saya mengirim email ke bagian pemasaran Celcom untuk turut mendukung program Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Sains Malaysia menghadirkan Andrea Hirata. Sang penulis Edensor ini diminta untuk mengupas proses kreatifnya melahirkan tetralogi Laskar Pelangi.
Kebersamaan mengerjakan kegiatan ini mendatangkan kedekatan lain, yang sebelumnya pertemanan ini tidak disatukan dalam sebuah kerja kelompok. Mereka berdua mengajarkan saya bagaimana menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, tanpa kening berkerut. Keduanya tenang, mengalir dan menentramkan siapa pun yang berada di dekatnya. Sekali-kali, dalam keheningan, celetukan masing-masing memusnahkan kejenuhan.
Perjalanan masih panjang untuk sampai ke hari pelaksanaan, namun mengingat pekerjaan yang bejibun, peran serta mahasiswa Indonesia yang lain menjadi berarti. Tentu, di lain waktu, saya akan bercerita tentang mereka. Seperti, Adit, pemilik restoran D'Resto, Bukit Gambir, yang tanpa berpikir panjang bersedia untuk turut menyukseskan acara ini, padahal saya memintanya melalui ruang komentar Facebook. Demikian pula, Vega Aulia, yang mengiyakan untuk membantu kegiatan ini meski disampaikan dalam sebuah percakapan di Yahoo Messenger, semalam. Dalam coretan lain, saya akan menempelkan foto mereka berdua.
Tak hanya itu, Dede, menelepon saya semalam untuk membantu kepanitiaan dan lebih dari itu juga menyumbang banyak gagasan, di antaranya acara ini diharapkan juga melibatkan pekerja pabrik dari Indonesia. Katanya, mereka juga banyak yang menyukai novel dan film Laskar Pelangi. Sekelumit tentang mereka ini sebenarnya menyimpan cerita panjang. Mungkin, di tangan Andrea Hirata, ia menjadi sebuah novel yang juga cemerlang. Semoga.
Saturday, June 20, 2009
Menengok Kampus Favorit
Tak hanya itu, di meja tempat kami duduk melingkar tersedia jenis makanan kampung dan sebungkus nasi lemak yang dibungkus daun. Pada masa yang sama, gambar-gambar lukisan Ian juga dipamerkan di tembok ruang diskusi sehingga suasana mencerminkan keadaan kampung, rumah sederhana, hutan belukar, binatang berkeliaran dan keakraban anggota masyarakat. Karya ini seakan-akan mengolok-olok 'kekotaan' yang ternyata menyuguhkan kemewahan namun berjarak, hutan 'beton', burung tak lagi nyaman, dan warganya yang acuh tak acuh.
Sekali waktu, saya juga menghadiri pameran lukisan abstrak yang menyebabkan saya kelu, tak mampu memberikan apresiasi. Ia hadir seperti kerumunan yang riuh, tak tahu apa yang diinginkan. Kadang ada diterakan judul yang menjelaskan gambar, namun saya tetap dalam kebingungan. Lalu, untuk tak berlama-lama dalam kerisauan, saya menghadirkan rasa pada rupa. Aha, di situ ada harmoni yang tak terungkap melalui sebaris kalimat, bahkan meski diterangkan dalam sekujur buku. Ayo, hadirkan rasa, agar logika tak menderas hingga lemas.
Wednesday, June 17, 2009
Menikmati Pagi
Kemarin saya duduk di kursi terbuat dari besi yang terletak di pinggir jalan sepanjang halaman Fakultas Seni. Inilah salah satu tempat saya mengambil napas segar karena pepohonan memagari dengan teduh kawasan ini. Dengan teh Pokka dingin, saya mencoba mengasup sarapan udara pagi. Tak hanya itu, saya bisa naik tangga menengok pameran karya seni yang digelar oleh fakultas paling ramai dengan aktivitas kesenian di kampus ini. Pada waktu itu, saya menikmati karya lukisan vedic yang menghadirkan ragam simbol.
Di depan tempat saya duduk, Gedung Dewan Budaya berdiri megah dan di depannya ditumbuhi pohon besar sehingga hampir menimpati atap depan pintu masuk. Melihat pohon yang begitu besar, saya menemukan rasa tentram. Memang, kehadirannya mengganggu lanskap dan membuat halamannya selalu rimbun dengan dedaunan, tetapi ini resiko jika bangunan itu tidak tampak gersang dan penghuninya selalu merasa kepanasan jika melalui jalan di depannya. Di gedung ini juga, saya meraup banyak pengetahuan dan hiburan.
Karena masih liburan, sepagi itu suasana lengang. Hanya satu dua orang berlalu. Saya menikmati tetes teh kalang dan sebungkus roti. Betul-betul pagi yang menyenangkan, udara bersih, kicau burung, dan dingin teh. Dalam keadaan sebegini saya tak memerlukan lagu untuk meraih riang, karena dalam diam dan ditingkahi burung, kegembiraan datang bertubi-tubi.
Sunday, June 14, 2009
Kebersihan itu Sebagian Iman
Judul di atas sangat kuat tertanam di benak karena telah diasup sejak kecil. Tak hanya itu, pada waktu itu, saya sering bersirobok dengan kata ini karena sering ditempel di tembok sekolah, tepat di sebelah jadual piket kebersihan kelas. Hal yang sama juga sering ditemukan di kamar mandi masjid atau surau. Nada yang sama juga sering dijumpai di ruang publik, seperti terminal, pasar dan perkantoran, Jagalah Kebersihan! Malah, kata yang terakhir sering diterakan juga di bungkus makanan dalam bentuk ikon, gambar orang yang sedang membuang sampah ke keranjang.
Jika dulu, sampah dibersihkan dengan sapu, sekarang banyak alat yang membantu meringankan manusia untuk menghilangkan kotoran. Gambar di atas menunjukkan dua alat itu tampak akrab. Sapu lidi tetap diperlukan karena alat sapu 'mesin' tak mungkin menyelusup di antara akar belukar pohon yang besar. Ia hanya bisa bertingkah di tanah yang datar. Saya sering menyaksikan kedua alat ini bekerjasama mengenyahkan dedaunan yang rontok karena aus dimakan waktu. Sempat tebersit di benak, bisa nggak pohon itu direkayasa agar daunnya rontok sebulan sekali?
Memang susah untuk menjaga kebersihan ruang umum di kampus karena begitu banyak pohon berdiri menaungi siapa saja yang ada di bawahnya. Lebih-lebih sekarang, musim kemarau mempercepat dedaunan itu berguguran, mengotori jalan, selokan, beranda dan setiap sudut kampus. Dengan ruang seluas itu, agak susah kita menemukan jalanan bersih dari dedaunan. Namun kita susah berterima jika jalan itu dikotori oleh sampah buangan penghuninya.
Friday, June 12, 2009
Di sini, Saya Mereguk Udara
Gambar lapangan bola di atas diambil setelah saya mewawancarai kepala unit olahraga kampus. Sudah beberapa bulan, saya tak berlari menyusuri track berwarna merah terbuat dari karet lembut ini. Lebih lama lagi, saya tak mengocek bola bersama teman-teman dari Thailand. Biasanya saya memilih waktu pagi, setelah Subuh agar bisa mendengar kokok ayam dari perumahan sebelah stadion. Lamat-lamat suara binatang berkaki dua hilang dan matahari menyembul di kaki langit, saya pun mengakhiri jogging. Selalu begitu.
Pada hari minggu, saya kadang bersama keluarga berjalan mengelilingi lapangan dan kemudian ke warung terdekat menyeruput minuman panas dan membaca koran, Utusan. Ruangan sastera selala memantik saya untuk mengenal lebih dekat dunia kata. Tentu informasi kesehatan yang menjadi rubrik khusus hari Minggu tak luput dari perhatian. Sekarang, kebiasaan ini tak lagi dilakukan karena si kecil belum bisa diajak serta. Tentu, setelah agak besar, kami akan membawanya mengelilingi track agar ia tak selalu bermalas-malasan menikmati tidur.
Oh ya, Minggu besok mungkin saya akan menyentuh tanah lapangan bola itu lagi. Rasanya berat badan saya mulai bertambah. Lingkar perut mengembang sehingga sabuk seakan-akan mengikat erat, membuat tidak nyaman. Apatah lagi, rumput baru saja dipotong. Lapangan bola itu selaksa karpet raksasa yang digelar dan nyaman di mata. Ia tetes yang membuat mata menjadi lebih nyaman dan sehat.
Tuesday, June 09, 2009
Menikmati Gambar di Ketinggian
Saya tidak melewatkan pameran lukisan yang digelar di Suria KLCC, Kuala Lumpur. Suatu kebetulan, sesungguhnya. Ketika berjalan menuju toko buku terbesar di ibu kota Malaysia, Kinokuniya, saya melewati Galeri Petronas. Sebagaimana diterakan dalam brosur pameran yang dipersembahkan seniman Malaysia, Eng Tay, yang kini menetap di New York akan membawa pengunjung mengembara ke dalam ruang hati nurani manusia, menyentuh bibit-bibit manis cinta, semangat silaturahmi dan keakraban. Sayang, pengunjung dilarang mengambil 'lukisan' yang menjelaskan tema-teman ini. Namun, membayangkan bunyinya kita tentu sudah merasa tentram.
Tak hanya lukisan, ada goresan kata yang ditempelkan di samping gambar, seperti tentang waktu: Time, to some, may be a scene of events strung up as if a clothesline, stretching back through history. Lebih jauh, dia berujar: I perceive time as a continuum, movements enwound from a spool memory into new sensations. I strive to create images that are the shape of ideas, just as the image of a letter symbolizes a spesific sound. Atau tentang tempat: The place that one belongs to is very important. What is inside you can't change where you are, you are (always) from that place.
Tak hanya lukisan, sang seniman juga menampilkan seni patung dan keramik. Saya hanya mencoba untuk memahami sejauh karya itu berkait dengan pengalaman hidup saya. Meski tersengal karena harus berlari kencang, saya masih belum sampai pada makna yang mungkin ingin diterakan, sebab karya itu mengandaikan pengalaman di luar hidup saya. Atau tafsir itu tak perlu andaian objektivitas, sehingga subjek bisa merayakan makna secara leluasa? Semoga begitu.
Monday, June 08, 2009
Pasaraya atawa Pasar Malam
Sebelumnya kami sering mengunjungi pasar malam untuk membeli kebutuhan sehari-hari, seperti sayur, ikan, tepung, minyak goreng, bawang, tempe, ayam, dan makanan ringan, seperti jagung rebus. Biasanya kami berangkat sore agar bisa lebih awal mendapatkan barang-barang yang segar. Kebanyakan pedagang adalah orang lokal dan tentu dengan omzet yang tak cukup besar. Kadang, kami berangkat sesudah maghrib untuk menemukan suasana yang berbeda. Ya, malam dengan pendaran lampu neon di keramaian mendatangkan sensasi tersendiri. Tiba-tiba ingatan melenting ke masa kecil ketika mengunjungi pasar malam di kampung.
Namun, akhir-akhir ini kami sering ke Tesco, pasaraya terdekat dari rumah. Di sini, kami dengan mudah menemukan kebutuhan bayi, yang tak mungkin ditemukan di pasar malam, seperti popok, tisu basah dan pampers. Jika pasar malam hanya hadir pada hari-hari dan jam-jam tertentu, pasaraya ini buka jam 8 pagi hingga 11 malam. Tak hanya itu, kami bisa berbelanja kebutuhan tanpa merasa khawatir kehabisan. Meskipun pernah menunggu tisu basah isi ulang hingga tiga hari karena persediaan habis.
Lalu, persoalannya, apakah barang di Tesco lebih murah dibandingkan dengan pasar malam? Kata isteri lebih murah. Tapi, kalau tak seberapa, sebenarnya kita harus berbelanja di pasar malam. Bagaimanapun para pedagang kecil di sana memerlukan pembeli agar bisa melangsungkan daya hidup perniagaannya. Pemodal besar telah banyak merampas kesempatan mereka untuk mengais rezeki. Anda setuju?
Saturday, June 06, 2009
Surga Buku di Dunia Komersial
Perjalanan ke Kuala Lumpur dari Pulau Pinang dalam rangka memenuhi tugas wawancara mengantarkan saya ke tempat paling banyak dituju oleh orang, Suria KLCC. Di sini, kita menemukan surga orang yang ingin memuaskan hasrat purba: kepuasan lahiriah. Pelbagai kebutuhan, dari makan hingga hiburan tumplek blek di sini. Segala jenis manusia berseliweran mencoba peruntungan untuk mereguk bahagia. Saya tentu tak perlu bertanya pada setiap orang apakah mereka telah menemukan yang dicari.
Dalam kepala saya berkelebat toko buku: Kinokuniya, sebuah kedai yang dimiliki oleh perusahan Jepang. Di sini saya membebel banyak buku dan hanya membeli tiga buah, Kant and Platypus: Essays on Language and Cognition (Umberto Eco), Republic (Plato) dan Politics (Aristotle). Tentu banyak buku lain yang ingin dimiliki, tapi apa daya buku-buku filsafat terbitan luar itu mahalnya minta ampun. Ternyata buku yang pertama juga dijual di toko buku besar Borders Queens Bay Mall, namun tidak ada potongan harga seperti di Kuala Lumpur.
Lalu, mengapa surga buku itu berada di tengah keramaian dan godaan yang lebih mengundang pengunjung? Atau hidup itu memang selalu seperti ini, ada asupan batin dan lahir. Keduanya tak perlu dipertentangkan. Hanya saja yang terakhir perlu diawasi agar tidak melebih batas tubuh, sementara yang pertama mungkin bisa diasup sepanjang waktu. Namun, lagi-lagi tidak mustahil kesungguhan meraih makna hidup dari buku juga bisa berujung kebingungan. Di sini, kita tak melulu merasa berada di antara dua pilihan. Pasti setiap orang bisa mengukur kemampuan dan menyadari keterbatasan. Ada jalan lain untuk menyikapi semua ini, kearifan. Lho, bukankan kebijaksanaan itu juga bersumber pada filsafat? Mungkin ya, tetapi kearifan itu juga bisa nongol dari kedalaman perenungan yang telah melewati kata, diam tak tepermanai oleh huruf. Kemudian, masihkan tokoh buku itu, Surga?
Tuesday, June 02, 2009
Kapan Jakarta Mempunyai Monorail
Kita berdebat tentang banyak hal, tetapi tak berbuat apa pun untuk mewujudkanya, termasuk monorail yang terbengkalai hingga kini. Di Kuala Lumpur, saya menggunakan angkutan publik ini dan merasa bahwa di sana penguasa tak perlu mengumbar kata untuk menawan hati warganya. Anda percaya? Silahkan datang. Di sini, kita menemukan ruang yang bersahabat bagi siapa saja yang ingin merasakan malam. Pejalan kali juga mendapatkan ruang yang cukup untuk memanjakan diri dengan jalan yang lapang, meskipun dipenuhi banyak orang.
Herannya, Jusuf Kalla, calon presiden itu, menjadikan isu monorail alat untuk menyerang Boediono, yang calon wakil presiden itu. Heran! Lalu, apa yang dia kerjakan selama menjadi wakil presiden berkaitan dengan kepentingan khalayak? Seharusnya dia bisa mengurus kepentingan publik secara bersama, bukan menunjuk jari kambing hitam. Malah, Bus way yang diharapkan untuk memberi kenyamanan, nasibnya setali tiga uang. Lama menunggu, berdesakan dan tak nyaman. SBY juga tak menunjukkan kerja yang cemerlang, hanya sering mamatut diri di cermin, sudah keren apa belum. Megawati tak menunjukkan seorang pemimpin yang bisa menjelaskan apa yang dia akan lakukan kecuali sering mengangkat tangan sambil memekik Merdeka! di hadapan pendukungnya. Lalu, Masihkan para calon presiden itu percaya diri untuk menjadi pemimpin kita? Saya sendiri meragukannya.
Busway yang tak terurus, monorail yang terbengkalai serta pedestrian yang tak cukup membuat Jakarta tak nyaman bagi warganya. Jika 'halaman' rumah pemimpin itu semrawut, maka tidak heran jika kita tidak yakin bahwa mereka bisa mengurus Indonesia yang luas. Ayo, mulai dari rumah kalian yang centang perenang itu, agar pidato yang berapi-api itu tidak berbuah omong kosong.
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...