Monday, January 30, 2012
Perempuan dan Kutukan Segregasi
Saturday, January 28, 2012
Nasib Imbuhan Pe-an
Sumber: Majalah Tempo, 21 November 2011
Bahasa!
Oleh: Ahmad Sahidah
Kemusnahan bahasa tidak terelakkan disebabkan alasan kesejarahan, demografi atau bahkan serbuan bahasa asing. Yang terakhir kadang dibenarkan untuk menjadikan bahasa tertentu bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman melalui penyerapan kosa kata baru. Belum lagi, ikhtiar penerjemahan ilmu pengetahuan dan istilah teknologi modern memaksa pegiat bahasa untuk mengerutkan dahi dalam memastikan bahasa sasaran, bahasa Indonesia, tidak semakin pupus. Yang merepotkan, penerjemahan bahasa filsafat, yang meskipun susunannya bukan sama sekali baru, tetapi mengandaikan pemahaman tertentu membuat dosen mengambil jalan mudah dengan penyerapan begitu saja thing-in-itself menjadi sesuatu-dalam-dirinya.
Gagasan Kant tentang noumena di atas tentu masih bisa dipahami dengan menyebut sesuatu-dalam-dirinya. Lalu, bagaimana dengan istilah filsafat yang mengandaikan kata benda yang dibentuk dengan pengimbuhan pe-an yang bermakna proses menjadi? Kata dasar hancur akan berarti proses menjadi hancur dengan imbuhan pe-an. Malangnya, penghancuran tidak digunakan untuk menggantikan kata dekonstruksi, sebagai kata kunci dalam pemikiran Jacques Derrida. Demikian pula, penyerapan kata diferénsiasi yang diartikan sebagai berikut: 1. Proses, cara, perbuatan membedakan; pembedaan; 2.Perkembangan tunggal, kebanyakan dari sederhana ke rumit, dari homogen ke heterogen; dan 3.Proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, dan pekerjaan.
Jika -isasi dimasukkan dalam kamus kita, apakah kata diferensiasi di atas merupakan bentukan dari akhiran -isasi dan diferens? Tentu tidak, karena kata yang terakhir ini tidak ditemukan dalam kamus. Lalu, mengapa kita hanya mengambil turunan kata bahasa Inggeris dan tidak kata dasarnya, differ?
Menariknya, kalau kita lihat makna diferensiasi ketiga, kita bisa menerka bahwa itu adalah pengertian sosiologis. Pendek kata, kata itu telah mengalami penafsiran lebih jauh tentang pembedaan struktur masyarakat. Lalu, apakah pembedaan mengandaikan makna kata diferesiasi? KBBI pun tak berani untuk menyejajarkan dua kata yang sebenarnya merupakan padanan. Kamus kita hanya mengartikan pembedaan sebagai berikut, proses, cara, perbuatan membedakan.
Akibat kegagapan kamus, orang ramai pun merasakan perbedaan antara pembedaan dan diferensiasi. Kaum cerdik pandai akan mengutamakan terakhir jika berbicara susunan masyarakat dalam perbincangan ilmiah. Malah, hal serupa, klasifikasi, yang mengandung arti yang sama dengan pengelompokan, tak menyurutkan langkah mereka untuk menggunakan yang terakhir. Malangnya, penggunaan kata pengklasifikasian juga ditemukan, yang jelas-jelas berlebihan. Berbeda dengan bahasa Malaysia, kata klasifikasi diterjemahkan dengan pengelasan, yang merupakan gabungan antara imbuhan pe-an dengan kelas. Sepatutnya, pengelasan juga bisa digunakan, mengingat kata kelas, yang berasal dari class, telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Apa lacur, kamus kita hanya berhenti di kata mengelaskan untuk menunjukkan memperlakukan orang lain berdasarkan kelas atua kedudukan. Mungkin, kata pengelasan dianggap lebih cocok untuk proses menyambungkan besi dengan cara membakar.
Tentu, keengganan kita untuk menggunakan imbuhan pe-an disebabkan padanan dalam bahasa Indonesia yang terlalu panjang. Misalnya, dehumanisasi yang berarti penghilangan harkat manusia akan membuat penutur merasa tidak bisa mengungkapkan gagasan besar tentang humanisme jika tidak menggunakan dehumanisasi dan merasa tak sepenuhnya menerima padanannya dalam bahasa Indonesia. Apatah lagi, imbuhan de yang bermakna hilang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk membuka jalan agar bahasa Indonesia berlimpah kosa kata. Padahal sejatinya, ia telah mengubur khazanah sendiri dan makin membuat orang ramai malas untuk mencari sinonim dalam bahasa setempat.
Sementara, bahasa Malaysia mencoba memanfaatkan kata nyah untuk dipadankan dengan de agar istilah-istilah asing yang bermakna negatif, seperti un, anti dan dis, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa tempatan. Adalah tidak aneh, jika Karim Raslan, kolomnis ternama, menggunakan penyahpusatan untuk menyebut desentralisasi dan penyahisanan untuk dehumanisasi. Mungkin, kita merasa aneh mendengar kata majemuk yang mendapatkan imbuhan pe-an seperti di atas, meskipun masing-masing penggalan kata dari keduanya bisa ditelusuri di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Yang menarik, ketika kita akrab dengan kata pengumuman, yang berasal dari pe-an dan umum, hampir-hampir kita tak menggunakan kata pengkhususan sebagai padanan kata spesialisasi. Kita akan menyebut dokter spesialisasi jantung, meskipun kita pun juga mengenal dokter umum. Sementara orang negeri jiran akan memilih dokter pakar untuk mengelak dari penggunaan kata berakhiran -isasi, walaupun belakangan ini ada kecenderungan mereka menyuburkan pemakaian kata berakhiran -isasi di tempat lain, seperti realisasi, yang sebelumnya lebih mengutamakan kata perwujudan. Bagaimanapun, kita tak menyangkal –isasi, tetapi membiarkan kedigdayaan pe-an surut, secara perlahan imbuhan ini akan musnah.
*) Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
Friday, January 27, 2012
Bowling
Untuk pertama kali, saya menginjakkan kaki di lantai Bowling. Andai saja Dr Adrian Budiman mengundang dosen-dosen tamu dari berbagai negara hadir ke C-Mart untuk silaturahim, mungkin sampai detik itu, saya tidak akan melempar bola Bowling. Untungnya, Prof Timothy Murphy, dosen asal Irlandia, yang mengajar hukum di COLGIS, mau menjelaskan sekilas cara memegang bola dan melempar dengan baik, sehingga saya bisa mendapatkan angka 75 dan 93 dalam dua putaran permainan.
Thursday, January 26, 2012
Belajar
Monday, January 23, 2012
Ekonomi Tumbuh, Tapi Terbit Keluh
Sunday, January 22, 2012
Teknologi dan Manusia
Saturday, January 21, 2012
Menyumbang Buku SPE
Thursday, January 19, 2012
Tradisi dan Kearifan Lokal
Wednesday, January 18, 2012
Madura Kosmopolitan, Mungkinkah?
Setelah jembaan Suramadu berdiri kokoh, apa yang ada di benak kita? Kemajuan berada di depan mata. Dengan beton penyambung Kamal dan Perak, arus barang dan orang akan jauh lebih deras mengalir dari kota ke seluruh pelosok Pulau Garam. Belum lagi, jauh sebelumnya, seorang taipan pernah mengumbar janji akan membangun pabrik semen setelah jembatan dibangun, meskipun hingga kini wujud pabrik itu masih berupa tanah yang hanya dipatok papan tanda akan dibangun pabrik semen. Sembari menunggu industri berkembang, kita mungkin perlu memikirkan apakah tanah Madura ini akan menyandang predikat kosmopolit pada masa depan?
Pastinya, denyut negeri ini terus bergerak. Orang-orang luar semakin mudah untuk mengunjungi Madura, meskipun hanya berhenti di perbatasan jalan masuk, sekadar menikmati jembatan terpanjang di Indonesia. Kehadiran mereka tentu menguntung penjual kelontong di sepanjang jalan di bibir jembatan. Para penjual itu tidak hanya menangguk untung, tetapi pada waktku yang sama menjadi orang terdepan dalam mengenalkan barang khas lokal, seperti batik dan cenderamata. Pada waktu yang sama, mereka bertanggungjawab untuk menjadi warga yang mencerminkan nilai-nilai kemaduraan.
Lalu, apa kaitannya dengan kosmopolitan? Dengan merujuk pada pengertian kosmopolitan sebagai keadaan masyarakat yang menyepakati adanya komunitas moral tunggal, maka tantangan ke depan terbentang di depan mata. Moralitas di sini mengacu pada gagasan tentang nilai-nilai universal bersama yang disepakati. Betapa pun warga terbelah dengan perbedaan pilihan organisasi keagamaan, partai politik dan bahkan cita rasa kebudayaan, namun kita mewarisi nilai-nilai kemaduraan yang disangga oleh ide besar tentang bapa, guru dan rato. Tiga soko guru ini adalah cermin dari keadaan masyarakat. Ketiganya juga mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Orang tua, misalnya, adalah sosok yang menjadi panutan. Kemajuan negeri ini bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh mereka dalam mewariskan tabiat dan pengetahuan pada anak-anaknya. Prilaku anak jelas-jelas menggambarkan apa yang telah ditunjukkan oleh bapak dan ibunya. Dengan mengacu pada telaah psikoanalisis, bahwa prilaku masa dewasa adalah pengulangan kebiasaan masa kecil, maka peran orang tua begitu besar dalam menciptakan suasana si kecil agar anak-anak itu menemukan dunianya dengan riang. Sayangnya, tidak jarang kita pun acapkali melihat orang tua yang melampiaskan kejengkelan pada anaknya dengan kekerasan, baik lisan maupun tangan. Tak perlu penelitian mendalam, Anda bisa melihat dari dekat betapa kondisi kejiwaan anak adalah kepanjangan dari tingkah orang tuanya.
Nah, mengingat perkembangan anak juga ditentukan oleh guru, maka kehadiran orang yang layak digugu dan ditiru ini adalah penyeimbang dari kemungkinan kekerasan simbolik dan fisik di rumah. Oleh karena itu, betapa mulianya tugas guru untuk memberikan jalan bagi anak murid dalam meneroka dunia. Tentu saja cara pengajaran dan pembelajaran perlu diperbaharui, agar para murid mempunyai bekal dan keterampilan dalam menyonsong masa depannya. Misalnya, teori Gal’perin yang mengulas isu dan asal-usul otak dan perubahan kognitif. Seraya mengembangkan gagasan Vygotsky tentang perkembangan manusia, Gal’perin menegaskan bahwa proses mental seharusnya dipahami sebagai tindakan material yang mengalami transformasi dan pendarahdagingan (internalisasi) yang melibatkan alat-alat kebudayaan. Coba lihat pengajaran bahasa Inggeris kita, apakah telah menggunakan kebudayaan lokal untuk memahami dan menguasai bahasa Anglo-saxon ini? Dengan kata lain, pengajaran ilmu pengetahuan apa pun sejatinya tidak menjarakkan peserta didik dengan lingkungannya.
Guru di sini juga berarti dosen yang mengampu pelajaran di perguruan tinggi. Mereka tidak hanya meneriakkan kebajikan dari menara gading, tetapi juga bertungkus-lumus dengan orang ramai untuk menciptakan ruang bagi setiap individu bersuara atas ketimpangan yang menimpa masyarakat kebanyakan. Tentu saja, saluran yang bisa dimanfaatkan adalah organisasi keagamaan dan lembaga swadaya lokal. Selain menjadikan kumpulan ini sebagai wadah silaturahim agar warga tak semakin terasing dengan kehidupan yang disandera oleh kemajuan teknologi, mereka menjadi pengawal masyarakat madani, di mana masyarakat harus memiliki alat berupa organisasi yang tidak terikat dengan kepentingan politik praktis dan pada waktu yang sama menjaga jarak dari pemerintah yang berkuasa.
Mungkin yang paling utama dari peran yang dipanggul oleh guru adalah tugas yang diemban oleh para kyai. Mereka tidak saja mendapatkan legitimasi moral, tetapi juga spiritual. Tidak ada satu pun lembaga atau individu di tanah ini menyangkal peran utama dari kyai. Di tangan mereka, nilai-nilai dan etika tidak saja disampaikan secara lisan, tetapi juga melalui tindakan. Teladan yang diperlihatkan mereka akan dengan mudah mengalir pada orang ramai. Misalnya, kegigihan Gus Muhammad Mushthafa, Kepala SMA 3 Annuqayah, memelopori kepedulian pada sampah dengan mengelola barang buangan dengan kreatif melalui kegiatan-kegiatan daur-ulang, baik sebagai kompos maupun barang bernilai-jual adalah keberhasilan kyai mudah menerjemahkan gagasan besar agama dalam ranah setempat. Di sini, agama tidak saja berbicara tentang pesan Nabi mengenai kaitan erat antara iman dan kebersihan, tetapi mewujudkan pesan itu menjadi tindakan yang menciptakan kemaslahatan bersama.
Tentu saja, rato atau pemerintah mempunyai amanah yang harus ditunaikan. Termasuk di dalamnya para wakil kita yang telah mengumbar janji menjelang pemilihan umum. Mewujudkan kosmopolitanisme, yang kadang dirancukan dengan penampakan fisik, seperti bangunan menjulang tinggi dan mewah, atau kecantikan yang dipermak dengan begitu banyak alat solekan sebagaimana tercermin dari majalah Cosmopolitan, berada di pundak wakil rakyat dan pegawai negeri sipil. Di tangah mereka, kebijakan publik dan pelaksanaan dari program yang diterakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah harus sepenuhnya untuk warga.
Bagaimanapun, kearifan lokal yang menempatkan bapa, guru dan rato, sebagai penyangga kehidupan masyarakat adalah modal sosial yang perlu dirawat. Namun, pada waktu yang sama kita harus menempatkan peran mereka dalam napas baru. Sosok orang tua, ustaz dan aparatur pemerintah, termasuk anggota dewan, masih mempunyai peran yang sesuai untuk zaman baru dengan cara menerjemahkan gagasan tentang moralitas tunggal, terkait dengan kemajuan, tanpa harus meninggalkan kebudayaan lokal. Yang terakhir tentu saja relatif berhasil dipertahankan secara fisik, namun penanaman pesan moral dari kebudayaan itu tidak berhenti pada pemanggungan persembahan, tetapi nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dengan keyakinan di atas, sejatinya kita telah menyambut gagasan mengenai Pembejaran untuk Kehidupan di Abad ke-21 (Gordon Wells dan Guy Claxton, ed.), yang menempatkan keadaan sosial dan kebudayaan lokal sebagai alat untuk penanaman nilai-nilai kebajikan dan kemajuan dalam pendidikan. Karya kumpulan ini merupakan pengembangan dari gagasan besar dari Lev Vigotsky tentang Teori Aktivitas Historis Kultural. Seni Hadrah, misalnya, adalah bukan sekadar klangenan segelintir orang, tetapi mendidik pelaku seni ini tentang bagaimana menjadikan hiburan itu bukan semata-mata merupakan pemanjaan pada hasrat berhibur, tetapi juga penyemaian rasa keindahan agama, kebersamaan, dan tentu saja pengenalan terhadap Nabi Muhammad sebagai teladan yang bisa didekati dengan seluruh kehadiran diri, jiwa dan raga, tidak berjarak. Ketika pengetahuan, kesenian dan keagamaan menyatu dalam gerak dan langkah seluruh unsur masyarakat, impian tentang negeri kosmopolitan adalah bukan khayalan.
Menjahit Identitas yang Teroyak
Monday, January 16, 2012
Penelitian, Pengetahuan dan Tindakan
Friday, January 13, 2012
Musik dan Konsumsi
Thursday, January 12, 2012
Memiliki atau Menikmati
Tuesday, January 10, 2012
Obat Kangen
Monday, January 09, 2012
Wong Solo di Alosetar
Sunday, January 08, 2012
Sudut Kampus
Friday, January 06, 2012
Jum'atan, Untuk Apa?
Thursday, January 05, 2012
Membatasi Asap Rokok
Oleh Ahmad Sahidah PhD
Suara Karya, Jumat, 14 Mei 2010
Setelah klausul tentang tembakau pernah menghilang dari Undang-Undang Kesehatan, sekarang kegaduhan beralih pada penolakan sejumlah kalangan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan (RPP Tembakau). Ditengarai industri merokok berada di balik penolakan ini. Dengan menggunakan petani sebagai tameng, para juru bicara mereka menentang aturan tersebut. Tak hanya itu, perusahaan rokok juga memasang iklan yang bernada membela petani. Tapi, benarkah?
Tentu, semua orang telah mafhum tentang bahaya merokok. Merujuk ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan bahwa "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya," siapa pun yang berpikir sehat bisa memahami kalimat tersebut. Asap rokok telah meracuni penikmatnya dan keluarga. Lalu, adalah wajar jika setiap individu bersama-sama melawan ketergantungan yang tidak sehat ini.
Keputusan Majlis Fatwa dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang keharaman rokok sebenarnya bukan hal baru. Namun tak ayal ia memantik penolakan dari organisasi keagamaan yang lain. Pertimbangannya bukan saja terkait dengan alasan kesehatan, tetapi juga terkait nasib petani. Sementara Din Syamsuddin, Ketua Muhammadiyah, menegaskan bahwa langkah ini merupakan penyelamatan peradaban. Organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ingin turut serta mendorong tercapainya target MDGs (Millennium Development Goals). Muhammadiyah mencoba turut menanggulangi beberapa macam pandemi yang melanda dunia, seperti flu burung, flu babi, serta TBC dan penyakit saluran pernafasan, yang masih mengancam manusia.
Adalah aneh jika kita masih menganggap kebiasaan rokok itu bisa diterima. Ketidakberdayaan perokok untuk berhenti sejatinya adalah ketidakmampuannya untuk melawan zat adiktif, sesuatu yang diasup dari luar. Ketenangan hakikatnya bermuara pada dalam diri, hati. Kegagalan mendatangkan kenyamanan dari diri sendiri adalah awal keterpenjaraan pada benda lain. Apatah lagi, selama ini penghasil tembakau tidak memperoleh keuntungan dari hasil pertanian nicotiana tobaccum. Jadi, diam-diam sebenarnya perokok turut mengekalkan praktik penindasan ini dan dengan sendirinya memanjakan para cukong. Adakah ketentraman bisa lahir dari kenyataan yang terakhir seperti ini?
Hidup Sehat
Malaysia menyebut kampanye dengan 'kempen' yang sebenarnya juga digunakan untuk memasyarakatkan program layanan kemasyarakatan yang lain, seperti kesadaran berlalu lintas, bahkan hingga berpakaian yang sopan. Program anti-merokok dengan slogan Tak Nak! (Tidak Mau) sebenarnya dicadangkan sejak Dr Mahathir memegang kursi perdana menteri karena miris melihat remaja ketagihan dengan asap rokok. Penggantinya, Abdullah Badawi, melanjutkan program ini dengan dukungan penuh kementerian kesehatan. Dengan anggaran RM 20 juta (Rp 60 miliar) setahun, pemerintah secara besar-besaran mempromosikan hidup sehat dengan tidak merokok.
Salah satu cara untuk tidak mendedahkan remaja pada kebiasaan buruk ini adalah melalui perundangan-undangan dan pendidikan kesehatan. Pemerintah menggelontorkan dana besar untuk menyampaikan pesan tentang bahaya merokok melalui pelbagai media, seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah. Tidak saja melarang menghisap rokok di kantor-kantor pemerintah, iklan rokoh di media juga tidak diperbolehkan. Malah, meski rokok bisa menjadi sponsor untuk kegiatan olahraga, pemerintah mendorong penyelenggara pertandingan untuk mencari dana dari sumber-sumber lain. Ternyata, usaha ini berhasil. Putaran pertandingan sepak bola liga utama di sana secara rutin diadakan tanpa keterlibatan industri rokok.
Untuk memberikan efek yang lebih kuat, pada bungkus rokok tidak hanya diterakan amaran (peringatan) kerajaan Malaysia, rokok membahayakan kesihatan, tetapi juga peringatan bergambar, seperti kaki melepuh, kerongkongan hancur dan mulut menghitam serta bayi prematur. Jika aturan tersebut yang terakhir tidak dipenuhi, maka perusahaan bersangkutan bisa didenda RM 10 ribu atau dua tahun penjara, atau kedua-duanya jika ditetapkan bersalah. Pemberlakukan aturan baru ini efektif sejak tahun 1 Juni 2009 dan hingga sekarang, kita akan menemukan wajah sebungkus rokok yang membuat kita tak mempunyai nafsu makan.
Jadi, ketika Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Ismanu Soemiran menyatakan, RPP itu meresahkan pengusaha rokok dan 2,5 juta petani tembakau adalah berlebihan. Tambahnya, RPP, yang antara lain, mengatur larangan penayangan iklan rokok, sponsor acara, kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility), larangan penjualan rokok secara eceran dan pada orang di bawah 18 tahun serta wanita hamil, membuat perusahaan rokok tak berkembang. Justru aturan ini dibuat agar industri ini tidak meracuni masyarakat lebih luas. Oleh karena itu, tak perlu dikembangkan. Ternyata, aturan yang sama tidak membuat bangkrut negara tetangga.
Akhirnya sudah saatnya, semua pihak mempertimbangkan untuk mendukung langkah Departemen Kesehatan untuk mengurangi konsumsi rokok masyarakat. Demikian juga, pemerintah tidak perlu terlalu risau atas berkurangnya pemasukan cukai rokok, mengingat biaya yang ditanggung pemerintah untuk pemulihan penyakit yang ditimbulkan oleh racun tembakau dan biaya sosial justeru lebih besar. Langkah strategis untuk menciptakan masyarakat yang sehat sangat mendesak. Di sini, yang diperlukan hanyalah keberanian untuk mengatakan tidak pada perusahaan rokok yang telah menyebabkan petani merugi dan orang ramai tidak sehat. Namun demikian, pemerintah harus mencari tanaman alternatif yang bisa mendongkrak taraf kehidupan petani. ***
Penulis adalah Postdoctoral Research Fellow pada Universitas Sains Malaysia
Wednesday, January 04, 2012
Pengajian Membebaskan Manusia
Monday, January 02, 2012
Adakah Maling Buku Budiman?
Ruang Putih Jawa Pos
Selasa, 1 Januari 2011 │7:28 AM
Oleh Ahmad Sahidah*
Perpustakaan Daerah Kota Malang mengalami nasib sial: buku-bukunya raib digondol oleh pengunjung. Adakah pencuri itu adalah mahasiswa yang menyukai buku, tetapi tak mampu membelinya? Atau ini tak lebih dari keisengan ‘kutu’ buku untuk menunjukkan bahwa kalau buku itu tak dicuri, ia tak akan dibaca, tergeletak di rak, mendebu sia-sia. Apa pun, kenyataan ini tentu memprihatinkan, namun tak harus membuat kita heran karena fenomena pencurian koleksi perpustakaan telah lama terjadi, tak mengenal tempat dan status. Nicholas A. Basbanes, dalam A Gentle Madness (1999) mengungkapkan tentang cerita seru orang yang mengidah penyakit tersebut, yang dikenal dengan biblioklepto.
Siapa pun mafhum kota Malang adalah salah satu bandar pelajar yang mempunyai begitu banyak perguruan tinggi. Sebagaimana Yogyakarta, perpustakaan daerah yang ada di Kota Dingin tersebut tentu menyedot kehadiran peminat buku. Tanpa pengawasan yang ketat, para pengutil itu berluasa untuk menggerogoti rak-rak buku. Gagasan untuk memasang Closed Circuit Television (CCTV) mungkin bisa mencegah siapa pun untuk membawa buku tanpa izin dan dengan sendirinya pencurian bisa dikurangkan. Tapi, bukankah pemasangan alat itu menunjukkan bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat menyemai budi pekerti dengan merawat nalar yang sehat melalui pembacaan gagal sejak awal?
Namun, di mana-mana, perpustakaan umum biasanya memasang barcode pada buku yang bisa menjadi alat detektor untuk menjejaki buku tersebut. Dengan alat di pintu keluar, koleksi tak akan mudah dicuri. Meskipun, barcode itu tetap bisa ditanggalkan dan pencurinya akan menyimpan di balik baju. Malah, di Yogyakarta, seorang mahasiswa melempar buku itu melalui jendela, lalu mengambilnya tanpa harus menanggung debaran jantung ketika melewati pintu keluar. Tentu saja, perbuatan seperti ini merupakan contradictio in terminis, di mana seseorang mencintai pengetahuan, namun dengan cara berbuat yang terlarang. Boleh jadi, yang bersangkutan telah gagal sejak awal, bahwa pengetahuan itu adalah jalan menuju kearifan. Ketika ia mencuri untuk meraih pengetahuan, ia telah melempar buku itu ke jamban.
Saran salah seorna ganggota DPRD lokal untuk memperketat pengamanan tentu bukan jalan keluarga yang berjangka panjang. Dengan CCTV di setiap sudut ruangan, gerak pengunjung yang berniat jahat terbatas. Padahal, pemasangan alat pengintai ini dengan sendirinya membuat perpustakaan tak lebih dari penjara, di mana CCTV adalah alat yang lebih kejam dari menara di penjara yang berperan sebagai panoptikon dalam relasi kuasa dan pengetahuan Michel Foucault. Seharusnya, perpustakaan menjadi tempat yang nyaman bagi pengunjung. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah membuat perpustakaan lebih longgar dan transparan. Betapa kebanyakan perpustakaan daerah tampak tidak terurus, sehingga pengunjung beranggapan bahwa buku-buku yang ada di dalamnya mungkin tidak akan terawat, sehingga perlu diselamatkan.
Lebih jauh, tanpa berprasangka bahwa pelaku tersebut adalah mahasiswa, kita mungkin perlu menelisik ulang bahwa harga buku masih belum terjangkau oleh kantong mahasiswa kebanyakan. Selain mahal, mahasiswa mungkin lebih mengutamakan membeli buku teks sebagai bahan untuk mengikuti ujian, sementara buku-buku tambahan yang menantang pikiran diabaikan. Atau, sebagaimana dikeluhkan orang ramai, banyak mahasiswa memilih membeli pulsa untuk memenuhi gelegak kekiniannya, atau lebih memburu laptop agar bisa senantiasa memperbaharui status facebook dan twitter. Ironis, mahasiswa tidak lagi berpikir sehat bahwa keutamaan dalam masa pembelajaran adalah pergulatan dengan bahan bacaan, baik dengan meminjam atau membeli. Mungkin, buku kecil Muhidin M Dahlan, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta membantu siapa pun untuk menggilai dengan memiliki buku, tetapi itu bukan sekadar menambah koleksi di rak kos, tetapi sebuah perjuangan hidup dan mati dan akhirnya berbuat karya yang abadi.
Malangnya, menurut Kepala Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang Muyono, sedikitnya ada 3000 eksemplar buku yang tidak layak karena rusak, baik karena dicorat-coret peminjam, sampul bukunya yang rusak atau halaman bukunya yang hilang. Vandalisme ini tentu makin memburukkan wajah pelajar dan mahasiswa jika prilaku tak berkeadaban ini dilakukan oleh insan terpelajar. Oleh karena itu, etika pembelajaran itu bukan sekadar menghormati guru, tetapi juga buku. Sebagaimana asal kata vandalisme, yaitu, vandals, suku di Eropah yang menghancurkan kota Romawi pada 445 Masehi, maka perbuatan merusak hal-hal yang dianggap kecil akan merembet pada pengrusakan milik publik yang lain, seperti telepon umum, jembatan, gedung-gedung publik, pencurian kabel PLN dan jaringan telepon.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah? Apakah dengan menggelontorkan uang 1 Miliar dan perbaikan gedung perpustakaan akan mengurangkan pencurian buku? Mungkin ya, namun lebih jauh anggota legislatif mendorong pemerintah untuk membebaskan pajak bagi kertas bahan cetak buku agar penerbit bisa menjual buku dengan harga terjangkau. India telah melakukan ini, sehingga banyak buku yang bisa dimiliki oleh orang ramai tanpa menguras kantong. Tampaknya, seruan pembebasan pajak untuk kertas dari pegiat buku tak mendapatkan respons yang memadai. Pemerintah dan anggota DPR lebih prihatin pada ihwal remeh-temeh, seperti pemugaran pagar Istana Merdeka dan rumah aspirasi. Demikian pula, untuk anggota legislatif daerah yang hanya menggelontorkan sedikit dana untuk perpustakaan, sementara biaya untuk jalan-jalan membengkak tak karuan.
Bandingkan dengan negeri jiran! Untuk anggaran tahun 2012 Pemeritah Malaysia memberikan kupon Buku RM 200 (sekitar Rp 560 ribuan) untuk setiap mahasiswa, agar mereka menebus buku yang digemari dengan kupon yang dimaksud. Tak hanya itu, pemerintah juga menyubsidi buku-buku terbitan asing, sehingga buku luar negeri sekalipun tidak mahal. Belum lagi perpustakaan umum dan kampus yang begitu sempurna dengan koleksi yang selalu diperbaharui menjadikan ruang ini senantiasa nyaman untuk berselancar mencari maklumat dan pengetahuan. Perpustakaan almamater saya, Universitas Sains Malaysia misalnya, betul-betul memerhatikan perawatan fisik dan penyedian ruang khas untuk mendengarkan pelbagai genre musik, yang menjadi oase bagi mahasiswa untuk sejenak beristirahat dari memelototi huruf-huruf. Perpustakaan bukan sekadar tempat untuk memajang buku, kursi dan meja. Seharusnya, ia menjadi pusat sehenti (pelayanan satu atap) agar mereka yang mengunjungi perpustakaan betah berada di dalamnya. Tentu saja, kita tak lagi mengandaikan maling buku budiman, sebab tujuan semulia apa pun tidak dengan sendirinya menghalalkan segala cara.
Marah Mencerminkan Kelemahan
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...