Sunday, January 30, 2011
Belajar dari Dora
Friday, January 28, 2011
Anjung Semarak
Thursday, January 27, 2011
Singapura dan Filsafat
Sunday, January 23, 2011
Pondok Jawa Timur
Friday, January 21, 2011
Temasek
Wednesday, January 19, 2011
Perempuan Politik
Monday, January 17, 2011
Melatih Raga
Friday, January 14, 2011
Warung Padang
Tuesday, January 11, 2011
Mengejar si Kulit Bundar
Pasar dan Modal
Sunday, January 09, 2011
Friday, January 07, 2011
Agama, Pasar dan Rakyat
Thursday, January 06, 2011
Menginsankan Universitas
Tuesday, January 04, 2011
”Perang Baru” Indonesia-Malaysia
Jawa Pos, 22 Desember 2010
Oleh: Ahmad Sahidah
SEHARI sebelum tim Indonesia Malaysia turun lapangan di babak penyisihan piala Suzuki AFF 2010, di koran Kosmo! (1/12/10) terpampang judul besar: Malaysia sedia bedil Indonesia. Saya terkejut. Adakah diam-diam di bawah sadar wartawan Malaysia senantiasa bergolak menghadapi saudara serumpunnya sehingga kosa katanya berbau ”kegeraman”?
Mungkin tidak. Sebab, dalam sepak bola, kita telah banyak menyerap perbendaharaan kata yang terkait dengan perang, seperti taktik, pertahanan, serangan, merebut, menguasai, hingga manuver. Apalagi, setelah kalah telak 1-5, koran yang sama menurunkan berita ternyata Malaysia dibedil. Pengakuan ini tentu menghapus prasangka di atas.
Khairy Jamaluddin, ketua Pemuda UMNO (United Malay National Organization), acap menyuarakan pandangan kritisnya mengenai Indonesia. Kali ini tidak. Di twitter-nya, dia menulis nama stadion nasional dengan Gelora Bung Karno damn scary. Berbeda dengan Malaysia, mereka hanya menyebut Stadium Bukit Jalil, nama yang dilekatkan sesuai dengan tempat lapangan bola dan terkesan tidak gagah. Boleh jadi, di sana tidak ada tokoh yang membuat bulu kuduk berdiri. Tampaknya, kita memang lebih menyukai hal-hal besar, sedangkan orang Malaysia hanya menyebut stadionnya yang lebih bersih dan terawat daripada Gelora Bung Karno hanya dengan nama daerah.
Tentu, pertemuan keduanya di final akan membuat dua warga negaradeg-degan, siapa yang akan menjadi pemenang. Namun, harus diakui, warga Indonesia lebih ekspresif dalam menafsirkan laga dua seteru itu. Tiba-tiba, petinggi negara berharap TKI yang bekerja di Malaysia berbondong-bondong ke Bukit Jalil, memerahkan Stadion Bukit Jalil. Seorang sutradara berkicau di twitter, ayo ganyang Malaysia! Sepertinya, pertandingan ini betul-betul menjadi katup dari kegeramanya kepada tetangganya yang sering dipandang congkak dan pongah. Kalau hanya sebatas itu, siapa pun mafhum. Belum lagi, di tengah lapangan, kita akan sering mendengar sumpah serapah terhadap lawan. Namun, semua harus tunduk pada aturan bersama. Itu hanya permainan.
Persaingan
Mengingat di peringkat dunia FIFA Indonesia berada di atas Malaysia, di atas kertas sepatutnya tim nasional kita bisa menang, apalagi sebelumnya membelasah negeri jiran dengan skor 5-1 pada babak penyisihan. Namun, Malaysia tidak kalah gertak. Ia meramalkan bahwa pertandingan final itu boleh jadi seperti Piala Dunia Afrika Selatan, Juli lalu. Sang juara, Spanyol, sebelumnya bertekuk lutut kepada Swiss. Namun, Negeri Matador itu melenggang ke final dan mengalahkan Belanda dengan skor tipis 1-0. Malah koran Sinar Harian memuat berita bahwa kekuatan dua tim itu adalah 50:50 setelah Tim Harimau tampil meyakinkan mengalahkan Vietnam di babak semifinal.
Namun, jauh dari sekadar menumpukan perhatian pada pertandingan, kita juga harus memeriksa seberapa besar dua negara memberikan ruang untuk warganya bermain bola. Ketika final piala Nike ASEANbawah 15 tahun dihelat di Universitas Sains Malaysia pada Juni 2010, salah seorang official Indonesia memuji lapangan kampus yang terawat dan layak untuk dijadikan ajang pertandingan internasional. Malah, ia juga memuji fasilitas stadium Bukit Jalil lebih terpelihara daripada Gelora Bung Karno.
Jadi, perang dua tim itu hakikatnya mengandaikan persaingan dalam banyak hal, penyediaan fasilitas publik, pengurusan olahraga, dan pengaturan ketertiban penonton. Harus diakui, fasilitas, manejemen, dan kesadaran penggemar sepak bola untuk tertib di sini masih rendah daripada di Malaysia. Namun, pada waktu yang sama, kita perlu bangga karena antusiasme pada si kulit bundar ini mencerminkan Indonesia yang kompak. Bola di Malaysia masih menjadi milik Melayu, bukan Tionghoa dan India, sehingga penonton pun masih berasal dari etnik pribumi. Ia belum menjadi perekat kebangsaan sebagaimana di sini.
Antisipasi
Tentu tanpa diminta petinggi Republik, pekerja kita akan datang ke Bukit Jalil, apalagi pertandingan itu melibatkan tim sepak bola Indonesia. Banyak buruh migran yang memenuhi stadion untuk memberikan dukungan. Penulis sendiri melihat dari dekat gelegak penonton kita di sana dengan berteriak dan mengibarkan bendera Merah Putih. Tidak bisa disangkal, di dada warga kita Garuda telah tertancap kuat, tanpa Anas Urbaningrum harus mengatakan senayankan Bukit Jalil.
Dengan dukungan penyediaan bus oleh Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, tentu para pendukung Timnas Merah Putih akan berdatangan ke Kuala Lumpur. Sayangnya, kepastian tiket bisa diperoleh tiga hari sebelum pluit ditiup dan karcis untuk final tersebut diutamakan untuk warga lokal. Namun, bisa dijamin tanpa disediakan bus, warga kita di sana akan menyemuti Bukit Jalil. Tentu, kapasitas stadion yang hanya memuat sebanyak separoh penonton di Senayan tidak akan memberikan peluang yang besar untuk warga Indonesia. Sebab, animo warga lokal untuk menyokong pasukan (bahasa Malaysia untuk tim) kesayangannya juga besar.
Namun, antisipasi kerusuhan di tempat yang sama antar pendukung Christian Gonzales dan pendukung lokal seperti di Piala Tiger tahun 2005 harus dipikirkan. Tentu, kericuhan akan mudah tersulut mengingat bau kemarahan terhadap negeri bekas jajahan Inggris itu masih menguap. Demikian juga warga negeri jiran tidak berterima terhadap perlakuan Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) yang dianggap melecehkan kehormatan mereka dan mendapatkan perhatian luas setelah media di sana tidak lagi menutupi masalah seperti itu seperti tahun-tahun sebelumnya.
Namun, sejatinya, kita harus melihat sepak bola sebagai ”perang” yang mengedepankan sportivitas dan katup bagi sikap agresif yang merugikan. Apa pun hasilnya, ia seharusnya menjadi cermin dari kehidupan berbangsa yang ingin maju, yaitu penyemaian disiplin, kekompakan, kepatuhan, dan ketahanan. Inilah perang sesungguh-nya. (*)
*) Dr Ahmad Sahidah, peneliti Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universitas Sains Malaysia.
Menemukan Melayu di Riau
Riau Pos, 3 Januari 2011
Oleh Ahmad Sahidah
Jauh-jauh hari, Persatuan Karyawan (baca: pengkarya) Pulau Pinang-Malaysia mengagendakan kunjungan ke Riau. Sebagai organisasi dalam bidang penulisan, peserta ingin memburu akar Melayu di Negeri Lancang Kuning.
Meskipun pada awalnya kami ingin mengunjungi banyak tempat yang memungkinkan kembali menengok akar, selain kunjungan wajib ke Universitas Riau dan Riau Pos, warga jiran yang merupakan civitas academica Universitas Sains Malaysia (USM) hanya sempat menyiangi Candi Muara Takus dan Istana Siak Sri Indrapura. Rencana ke Pulau Penyengat untuk mengunjungi makam Raja Ali Haji tak kesampaian karena waktu yang terbatas.
Bagaimanapun, kunjungan intelektual ini dirancang bukan sekadar melancong, apalagi menggenapi agenda tahunan organisasi tersebut, tetapi lebih jauh merangkai kembali masa lalu Melayu dan untuk mengkritik prilaku masa kini dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Tentu isu ini akan makin merekatkan Riau dan Semenanjung Malaysia untuk mewujudkan kerja sama yang lebih luas dalam bidang kesehatan, pendidikan dan gaya hidup. Tiga unsur yang dinilai oleh United Nation of Development Program (UNDP). Apatah lagi dalam kunjungan ke Riau Pos, Wakil Pemimpin Redakri H Yasril menegaskan, tentang kepedulian koran ini pada penghargaan karya kreatif, Anugerah Sagang, yang makin menguatkan titik temu keduanya.
Kerja sama pendidikan perguruan tinggi Riau dan Semenanjung Malaysia sebenarnya telah banyak dilakukan. Untuk itu, kunjungan kami pun tak hanya berhenti membentang makalah, malah ke depan kerja sama kedua perguruan tinggi di atas akan terus dilestarikan, mengingat tak banyak orang Riau yang melanjutkan kuliah tingkat master dan doktor ke wilayah Utara Malaysia dibandingkan ke wilayah Selatan, seperti Kuala Lumpur, Johor, Selangor dan Malaka. Apalagi di Riau, Malaysia memiliki perwakilan konsulat, yang mempunyai konsul muda Encik Zamani yang sangat responsif dalam menyambut rencana kedatangan rombongan. Pendek kata, kerja sama antara perguruan tinggi kedua negara bisa dilakukan lebih teratur dan terukur.
Dua Melayu
Meskipun Riau dan Semenanjung Malaysia berkongsi sejarah pada masa lalu, kemelayuan keduanya pun berjalan tidak satu atap. Berdirinya dua negara merdeka, Indonesia dan Malaysia, telah melahirkan identitas Melayu yang tak lagi bernafas sama.Di sini, Melayu mengandaikan identitas etnik di belahan Sumatera, sementara di Malaysia, ia adalah unit politik yang telah diresmikan di dalam konstitusi menjadi orang Islam, berbahasa Melayu dan beradat-istiadat Melayu.Bagaimanapun, definisi seperti ini dikritik oleh Mahyuddin Al-Mudra, pimpinan Balai Pengkajian dan Pengembangan Dunia Melayu Jogjakarta, sebagai penyangkalan terhadap sejarah panjang Melayu itu sendiri.
Tentu kritik itu tak sepenuhnya bisa dilontarkan untuk melihat wujud Melayu Semenanjung. Di sana, Melayu dengan sendirinya memasukkan berbagai etnik lain, seperti Jawa, Bugis, dan Aceh, yang di tanah asalnya mereka tidak menerima penyematan Melayu untuk jati diri mereka. Apa pun perbedaan pandangan ini tidak bisa dielakkan karena pengertian identitas itu sendiri mengandaikan uraian panjang terkait pengalaman khas dan mengandaikan berbagai sudut pandang, seperti klasik, modern, pascamodern. Meskipun yang terakhir mengatakan identitas itu adalah mitos, namun ia hadir dalam dunia nyata. Paling tidak, ada dengusan nafas yang sama, bahasa dan adat.
Prof Sohaimi Abdul Aziz, memuji bentuk-bentuk bangunan pemerintahan yang mengekalkan ornamen lokal, Lancang Kuning, sebagai penanda dari sebuah ciptaan arsitektur lokal. Guru besar dalam bidang sastra ini tak melihat hal serupa, sehingga dunia Melayu di Semenanjung pelan tapi pasti tak membekas. Saya pun melihat banyak bangunan megah di sana tak lagi setia dengan warisan lokal, seperti KLIA (Kuala Lumpur International Airport) dan Menara Kembar Petronas. Keduanya hadir sebagai kepanjangan arsitek asing yang memanjakan ruang minimalis dan miskin sentuhan simbol lokal.
Wisata Budaya
Nah, di tengah perbedaan itu, hakikatnya kedua warga serumpun masih mempunyai akar yang sama. Keduanya bisa bertukar tempat tanpa menemui halangan berarti. Salah satu yang paling efektif untuk menyuburkan hubungan itu adalah pelancongan. Harus diakui Malaysia lebih berhasil memajukan pariwisata karena pemerintah dan rakyatnya mempunyai kesadaran yang jauh lebih kuat dibandingkan di sini. Di sana, turis merasa nyaman, karena fasilitas dan penerimaan orang lokal. Andaikata di sini kita juga bersikap sama, tentu banyak turis dari Semenanjung, termasuk sebagian turis mancanegara yang berkunjung ke Semenanjung akan melanjutkan perjalananya ke Riau.
Tahukah Anda bahwa kebanyakan orang Arab yang berkunjung ke Malaysia, baik Jalan Bukit Bintang dan Pantai Batu Ferringhi di Kuala Lumpur, namun mereka terlepas pandang bahwa di Riau memiliki bekas sebuah kerajaan Islam Siak Sri Indrapura yang memancarkan kegemilangan hingga ke Semenanjung? Kalau mereka tahu pendiri kerajaan tersebut berasal dari perantau tanah Arab, mungkin daya tarik Siak akan jauh lebih cemerlang. Ketika kami berkunjung ke sini dan bersembahyang di Masjid Syahabuddin yang permai, kami hanya mendapati turis Arab lokal dari Solo, Jawa Tengah, sedang tetirah di serambi masjid sebelah kiri, sepelemparan batu dari sungai yang mengalir sahdu.
Demikian pula, ketika rombongan mengunjung Candi Muara Takus, sang pemandu Zulkifli menjelaskan, bahwa bangunan tempat ibadah itu didirikan pada abad ke-11. Pengunjung pun tak bisa menyembunyikan decak kagum, ternyata di abad itu, Riau telah membangun peradaban yang agung, di mana pada waktu yang sama Eropa masih berada di dalam era kegelapan. Namun, kegemilangan itu tak memancar kuat karena pemerintah lokal tak membangun penyangga untuk membuat kehadiran candi itu makin menarik. Pos satuan pengaman tampak layu, sampah ditemukan di berbagai sudut candi, warung dibangun seadannya yang tak terintegrasi dengan aura candi yang magis. Malangnya lagi, fasilitas umum, seperti dua kamar mandi terbengkalai, itu pun hanya ada dua dan airnya mengalir malas.
Catatan lain yang mungkin perlu diresapi oleh warga di sini adalah kesiapan untuk memperlakukan turis dengan ramah, termasuk pedagang yang menjual makanan. Pengalaman buruk teman Malaysia, Encik Omar, membayar sepiring nasi, telor, dan segelas es teh sebesar Rp20 ribu tentu perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Padahal kami makan di warung kecil di antara lorong dua bangunan tak jauh dari Aston, tempat kami menginap. Boleh jadi pengalaman buruk ini akan membuat pengunjung dari tanah Semenanjung tak akan menemukan Melayu di sini. Semoga tidak.***
Ahmad Sahidah PhD, Staf Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Pinang, Malaysia
Sunday, January 02, 2011
Sejarah Arab dan Pagi Kedua
Saturday, January 01, 2011
Mengawali Waktu di Tahun Baru
Namun, di hari pertama tahun baru, saya sengaja datang tepat waktu, 10 pagi untuk pengajian. Seperti biasa, tak seorang pun mahasiswa hadir sesuai pengumuman di milis. Hanya tampak pekerja migran yang sedang belajar membaca al-Qur'an. Lalu, saya pun duduk mengikuti upacara di atas hingga usai. Sang penghulu memimpin acara dengan khidmat. Pengantin lelaki menghapal kalimat, saya terima nikahnya... dengan mas kawin sekian tunai. Lalu disaksikan kerabat, ijab kabul akhirnya berlangsung dengan baik. Wajah lega tampak bertempiaran. Setelah usai, saya pun ke ruangan pengajian, dengan tema Gelombang Dakwah Islam di Nusantara yang dibawakan oleh Pak Dedy AlMasdi, calon doktor di Fakultas Farmasi.
Di sore hari, kami pun pergi lapangan bola. Mendung menggelayut di langit, hujan seakan-akan mengancam. Namun, hanya sedikit muram, butiran air itu tak tumpah. Sesampai di lapangan, saya bergegas, melakukan pemanasan dan bermain bola bersama teman Indonesia dan warga lokal, yang kebanyakan berkebangsaan India. Meskipun tak menggunakan lapangan besar, kami tetap bersemangat mengocek si kulit bundar, seakan-akan melupakan beberapa hari sebelumnya ketika pertandingan final Indonesia-Malaysia mengguncang publik.
Sebelum Maghrib, kami pun beranjak, pulang. Di tengah perjalanan, kami mampir ke warung makan Thailand, Mutiara, untuk makan malam. Saya pun sempat menunaikan shalat berjamaah di surau flat Ivory yang mungil dan bersih itu. Sang imam, mahasiswa Arab, tampak gagah dengan baju hem, jas dan celana. Dengan jiwa tentram dan badah sehat, siapa pun tak perlu lagi memanjangkan angan untuk meraih kebahagiaan, karena di situ kita mengecapi kegembiraan. Lalu, adakah pesta semalam telah membuat Anda melewati hari ini dengan mengaji dan berolahraga? Tidak apa-apa, besok masih ada matahari untuk memenuhi resolusi. Selamat tahun baru 2011, Kawan!
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...