Inilah komentar saya di miol Media Indonesia.
Saya baca FPI juga terlibat dalam kerja kemanusiaan di Aceh. Mungkin, ke depan, organisasi ini lebih memfokuskan kerja-kerja sosial yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
Ia tak perlu dibubarkan, sebab semangatnya perlu dihargai dan mendapat ruang untuk turut serta dalam kegiatan amal.
Semoga, perselisihan ini berakhir dengan keyakinan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Energi jangan habis untuk mengobral kata, sementara kita asyik dengan 'pikiran' saja, bukan tindakan.
Ayo, FPI turun ke Yogyakarta!
Wednesday, May 31, 2006
Tuesday, May 30, 2006
Tentang Yogya
Gempa yang meruntuhkan sebagian daerah Yogyakarta ini menimbulkan ingatan yang pejal. Ia tidak hanya mengingatkan gempa kecil ketika saya masih berada di kota ini. Bahkan, pada suatu masa, saya melihat cahaya kemerahan dari lava tahun 1994 dan akhirnya menyemburkan letusan hebat.
Lalu, kemarin saya meminjam dua novel tentang Yogya yang ditulis oleh N Morewo, Pulang dan Satu Hari di Yogya. Saya berharap saya lebih mengenal kedalaman, bukan permukaan dari hiruk-pikuk kehidupan lapisan bawah. Ternyata, banyak kehidupan mahasiswa yang tak sempat mampir di benak saya. Benar-benar pengingat yang berharga untuk memikirkan kembali 'peran' yang setengah hati. Mereka telah berebut 'jatah' hidup dengan kemiskinan.
Lalu, apa yang akan saya ceritakan tentang diri ketika di Yogya?
Lalu, kemarin saya meminjam dua novel tentang Yogya yang ditulis oleh N Morewo, Pulang dan Satu Hari di Yogya. Saya berharap saya lebih mengenal kedalaman, bukan permukaan dari hiruk-pikuk kehidupan lapisan bawah. Ternyata, banyak kehidupan mahasiswa yang tak sempat mampir di benak saya. Benar-benar pengingat yang berharga untuk memikirkan kembali 'peran' yang setengah hati. Mereka telah berebut 'jatah' hidup dengan kemiskinan.
Lalu, apa yang akan saya ceritakan tentang diri ketika di Yogya?
Sunday, May 28, 2006
Yogya berduka
Kemarin keluarga Yogya mengirim kabar tentang gempa yang meluluhlantakkan sebagian daerah dan meninggalkan korban masih pada angka ratusan.
Sebagai warga kota Pelajar sejak 1992, saya merasakan kehadiran kota ini hingga ke sumsum. Tiba-tiba, sekarang ia harus menanggung bencana yang dahsyat. Kemanakah mereka berteduh?
Membaca berita dari surat kabar Malaysia Utusan telah cukup untuk menyadarkan kami tentang penderitaan yang akan diusung.
Sebagai warga kota Pelajar sejak 1992, saya merasakan kehadiran kota ini hingga ke sumsum. Tiba-tiba, sekarang ia harus menanggung bencana yang dahsyat. Kemanakah mereka berteduh?
Membaca berita dari surat kabar Malaysia Utusan telah cukup untuk menyadarkan kami tentang penderitaan yang akan diusung.
Saturday, May 27, 2006
Hujan Semalam
Hujan selalu mendatangkan harap bahwa esok pagi akan segar. Meskipun tidak deras, tapi tetesannya bisa terlihat dari dekat lampu jalan.
Setelah makan malam, saya kembali ke kamar. Untuk melemaskan otot, saya nonton film 'ringan' Charlie's Angles: Full Throttle. Tak perlu banyak mengerutkan dahi, tema, plot dan karakternya jelas, tidak rumit. Tidak puas dengan film laga ini, saya masih berkutat untuk melanjutkan nonton film lain berjudul Trapped. Alurnya memang menegangkan, tapi masih menyisakan haru untuk menguras emosi. Kehadiran Charlize Theron, Courtney Love (Si Janda Court Cobin) dan yang menggemaskan Dakota Fanning membuat film ini enak ditonton. Seperti biasa, ia berakhir bahagia. Yang benar dimenangkan dan yang jahat dikalahkan, bahkan mati.
Lalu, naik ke lantai atas, saya membuka kembali buku yang baru dipinjam The Politics of Islam in Contemporary Malaysia oleh Kamarulnizam Abdullah. Dengan pendekatan konsep 'keamanan' (The Concept of Security), ia mencoba untuk menjelaskan pertarungan kelompok sekuler (UMNO) dan agama (PAS) dalam memperebutkan otoritas politik dan agama di tanah Melayu ini.
Pembacaan ini membuka banyak kemungkinan penjelasan tentang pertarungan pelbagai kelompok untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Tentu saja, keterlibatan orang Indonesia sangat menarik karena turut meramaikan hiruk-pikuk pertengkaran di tanah Jiran ini.
Setelah makan malam, saya kembali ke kamar. Untuk melemaskan otot, saya nonton film 'ringan' Charlie's Angles: Full Throttle. Tak perlu banyak mengerutkan dahi, tema, plot dan karakternya jelas, tidak rumit. Tidak puas dengan film laga ini, saya masih berkutat untuk melanjutkan nonton film lain berjudul Trapped. Alurnya memang menegangkan, tapi masih menyisakan haru untuk menguras emosi. Kehadiran Charlize Theron, Courtney Love (Si Janda Court Cobin) dan yang menggemaskan Dakota Fanning membuat film ini enak ditonton. Seperti biasa, ia berakhir bahagia. Yang benar dimenangkan dan yang jahat dikalahkan, bahkan mati.
Lalu, naik ke lantai atas, saya membuka kembali buku yang baru dipinjam The Politics of Islam in Contemporary Malaysia oleh Kamarulnizam Abdullah. Dengan pendekatan konsep 'keamanan' (The Concept of Security), ia mencoba untuk menjelaskan pertarungan kelompok sekuler (UMNO) dan agama (PAS) dalam memperebutkan otoritas politik dan agama di tanah Melayu ini.
Pembacaan ini membuka banyak kemungkinan penjelasan tentang pertarungan pelbagai kelompok untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Tentu saja, keterlibatan orang Indonesia sangat menarik karena turut meramaikan hiruk-pikuk pertengkaran di tanah Jiran ini.
Thursday, May 25, 2006
Singapura: Bayang dan Kenyataan
Saya banyak bertanya pada teman-teman tentang cara mudah untuk masuk ke negeri Tamasek ini. Bejibun informasi yang diberikan, tapi justeru dihadapkan pelbagai pilihan. Pukul 7 kami berangkat dari Terminal Larkin dengan bis BBS. Herannya, karcisnya cuma RM 1.70. Tiba-tiba, saya sudah diperlihatkan penumpang yang antri naik dengan teratur, sehingga serentak saya membayangkan bahwa ini adalah awal dari budaya tertib negeri Singa ini.
Perjalanan terhambat karena saya dengan Mas Tauran mesti mengecap paspor keluar dari Malaysia dan mencari bis dengan perusahaan yang sama untuk melanjutkan tour ini. Karena pertama kali masuk, di imigrasi, kami ditanya maksud kedatangan. Bermodal surat keterangan dari Kampus USM untuk mengunjungi Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dan National University of Singapore, tak lebih dari sebelas menit kami melenggang mencari bis menuju stasiun Queen Street. Di dalam bis, di belakang kami tiga anak Jakarta yang jalan-jalan ke kota denda (Fine City). Saya tahu keduanya keturunan Cina, tapi logat Betawinya medok. Dengan senang, mereka memberitahu tempat murah untuk menginap, "Coba aja di sekitar Jalan Arab."
Ups, di tengah jalan kami melihat pemutaran film di tanah lapang, seperti layar tancap atawa misbar di Indonesia, yang sedang menayangkan film India. Saya rasa di sini memang kawasan pekerja India. Kami sempat ke hotel murah yang bisa dihuni enam orang, tapi karena ingin lebih leluasa, kami berbalik ke hotel $ 40 semalam. Setelah mandi, kami beranjak untuk menelusuri Jalan Orchad. Meski jauh dari tempat penginapan, kami bergegas untuk segera menikmati malam di Singapura.
Orang banyak menyebut jalan ini tempat yang harus dilewati jika melawat Singapura. Karena udah tengah malam, saya hanya melihat beberapa orang yang masih bergeming untuk bersahabat dengan dingin malam. Sepanjang jalan Orchard hanya temaram lampu dan gedung yang berdiri angkuh. Hanya dua toko masih buka. Kami berdua berhenti sejenak untuk membeli oleh-oleh cenderamata. Lalu, melanjutkan perjalanan mengukur tapak yang membuat kaki pegal.
***
Esok paginya, kami berdua ke ISEAS untuk mencari bahan. Kebetulan lembaga ini berada di areal Universitas Nasional Singapura yang menduduki tempat ke 22 di dunia (Times Supplement, 2005). Tempat yang asri membuat kami betah. Apalagi, mereka berlangganan koran negara Asia Tenggara. Untuk Indonesia, mereka berlangganan KOMPAS, Republika, dan Media Indonesia. Bahkan, kami juga sempat berbincang dengan Senior Research Fellow Dr. Aris Ananta yang udah tujuh tahun berada di Singapura. Keindonesiaan benar-benar menjadi pengikat emosi dan intelektual untuk bertegur sapa dan akhirnya membincangkan kondisi tanah air. Beliau mengungkapkan istilah brain drain, untuk mengukuhkan sumbangsih perantau Indonesia terhadap negerinya.
Jalan pulang adalah kebingunan tersendiri. Udah dua kali naik bis umum untuk pergi ke Stasiun Queen Street, tapi gagal. Kami seperti masuk labirin. Bahkan, ada anak India yang berbaik hati untuk menunjukkan jalan ke terminal, tapi di pom bensin, kami gagap karena dua penjaganya menyarankan naik taksi saja. Di tengah gerimis, kami naik bis lain ke stasiun kereta bawah tanah, tapi tidak jadi karena memilih taksi sebab khawatir terlambat sampai Johor. Taksi Comfort menjadi pilihan (tel. 6550 8515). Supirnya Cina yang baik karena meminta kami untuk memilih: jalan memutar atau lurus tapi harus membayar $ 1 untuk melewati jalur sibuk (Peak Time). Akhirnya, kami sampai di terminal. Dengan tiket $ 2.40, bus Singapore Johor Express melaju membelah malam. Tapi, akhirnya kami juga sampai ke terminal Malaysia untuk melanjutkan jalan pulang Pulau Pinang.
Perjalanan terhambat karena saya dengan Mas Tauran mesti mengecap paspor keluar dari Malaysia dan mencari bis dengan perusahaan yang sama untuk melanjutkan tour ini. Karena pertama kali masuk, di imigrasi, kami ditanya maksud kedatangan. Bermodal surat keterangan dari Kampus USM untuk mengunjungi Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dan National University of Singapore, tak lebih dari sebelas menit kami melenggang mencari bis menuju stasiun Queen Street. Di dalam bis, di belakang kami tiga anak Jakarta yang jalan-jalan ke kota denda (Fine City). Saya tahu keduanya keturunan Cina, tapi logat Betawinya medok. Dengan senang, mereka memberitahu tempat murah untuk menginap, "Coba aja di sekitar Jalan Arab."
Ups, di tengah jalan kami melihat pemutaran film di tanah lapang, seperti layar tancap atawa misbar di Indonesia, yang sedang menayangkan film India. Saya rasa di sini memang kawasan pekerja India. Kami sempat ke hotel murah yang bisa dihuni enam orang, tapi karena ingin lebih leluasa, kami berbalik ke hotel $ 40 semalam. Setelah mandi, kami beranjak untuk menelusuri Jalan Orchad. Meski jauh dari tempat penginapan, kami bergegas untuk segera menikmati malam di Singapura.
Orang banyak menyebut jalan ini tempat yang harus dilewati jika melawat Singapura. Karena udah tengah malam, saya hanya melihat beberapa orang yang masih bergeming untuk bersahabat dengan dingin malam. Sepanjang jalan Orchard hanya temaram lampu dan gedung yang berdiri angkuh. Hanya dua toko masih buka. Kami berdua berhenti sejenak untuk membeli oleh-oleh cenderamata. Lalu, melanjutkan perjalanan mengukur tapak yang membuat kaki pegal.
***
Esok paginya, kami berdua ke ISEAS untuk mencari bahan. Kebetulan lembaga ini berada di areal Universitas Nasional Singapura yang menduduki tempat ke 22 di dunia (Times Supplement, 2005). Tempat yang asri membuat kami betah. Apalagi, mereka berlangganan koran negara Asia Tenggara. Untuk Indonesia, mereka berlangganan KOMPAS, Republika, dan Media Indonesia. Bahkan, kami juga sempat berbincang dengan Senior Research Fellow Dr. Aris Ananta yang udah tujuh tahun berada di Singapura. Keindonesiaan benar-benar menjadi pengikat emosi dan intelektual untuk bertegur sapa dan akhirnya membincangkan kondisi tanah air. Beliau mengungkapkan istilah brain drain, untuk mengukuhkan sumbangsih perantau Indonesia terhadap negerinya.
Jalan pulang adalah kebingunan tersendiri. Udah dua kali naik bis umum untuk pergi ke Stasiun Queen Street, tapi gagal. Kami seperti masuk labirin. Bahkan, ada anak India yang berbaik hati untuk menunjukkan jalan ke terminal, tapi di pom bensin, kami gagap karena dua penjaganya menyarankan naik taksi saja. Di tengah gerimis, kami naik bis lain ke stasiun kereta bawah tanah, tapi tidak jadi karena memilih taksi sebab khawatir terlambat sampai Johor. Taksi Comfort menjadi pilihan (tel. 6550 8515). Supirnya Cina yang baik karena meminta kami untuk memilih: jalan memutar atau lurus tapi harus membayar $ 1 untuk melewati jalur sibuk (Peak Time). Akhirnya, kami sampai di terminal. Dengan tiket $ 2.40, bus Singapore Johor Express melaju membelah malam. Tapi, akhirnya kami juga sampai ke terminal Malaysia untuk melanjutkan jalan pulang Pulau Pinang.
Wednesday, May 24, 2006
Perjalanan Ke Kongres PPI VIII
Malam Sabtu, kami, Indah, Iqbal, Hilal, Tauran diantarkan Baim ke Terminal Sungai Nibong untuk berangkat ke Kongres PPI VIII di UTM (Universiti Teknologi Malaysia). Bus Konsortium molor beberapa menit dari jadual yang telah diberikan. Seharusnya, kami berangkat 10.30, tapi 10.45 ia meninggalkan sarangnya. Sebelumnya, Iqbal telah mengantongi karcis bis yang masing-masing seharga RM 50. Kebetulan, pihak KRJI membantu kami RM 150, dan sisanya diambilkan dari kas PPI sehingga berlima kami berangkat dengan tenang. Tapi, sayangnya, untuk ongkos pulang, kami harus merogoh kocek sendiri.
Saya sendiri membayangkan perjalanan ini akan menyenangkan, tidak hanya bus yang kita tumpangi luas karena hanya 3 kursi per barisnya, tapi juga akan melalui jalan tol hingga sampai tujuan. Sebelum melewati jembatan yang membelah Pulau Pinang dan Malaysia daratan (kiran-kira 13 km), saya mendengarkan lagu KLA Project melalui walkman. Hampir semuanya saya suka, tapi Tak Bisa Ke Lain Hati benar-benar membuat saya tentram, karena ia memberikan ruang yang besar untuk pelbagai ingatan. Lagu ini pernah dijadikan soundtrack drama radio romantik di Yogyakarta ketika saya menyelesaikan program sarjana muda, sekaligus mengingatkan peristiwa lain yang agak susah untuk membubuhkan dalam catatan singkat ini.
Di sebelah saya, Iqbal bercakap ringan untuk menghabiskan waktu sebelum asyik dengan mimpinya masing-masing. Di depan saya, Tauran dan Hilal berbincang, tapi saya tak bisa mendengarnya dengan jelas. Indah tampak asyik dengan dunianya. Saya sengaja menutup lubang AC di atas kepala karena udaranya menusuk ubun-ubun. Kami berhenti dua kali untuk melemaskan otot dan melaksanakan hajat ke kamar kecil. Tapi, saya kecewa pas perhentian Yong Peng karena toilet benar-benar buruk. Ternyata ia bukan milik perusahaan PLUS yang menangani tol utara-selatan negeri Jiran ini. Kapan ya kita akan menikmati perjalanan dengan lebuh raya yang memanjang dari Sabang sampai Merauke, tanpa direcoki dengan hambatan jalan yang rusak, atau tersendat karena melewati pasar yang menggunakan bahu jalan untuk areal perdagangan, dan dengan leluasa menggunakan toilet yang disanggongi petugas kebersihan hampir 24 Jam?
Tiba di Sri Puteri jam 6 45, kami menyewa taksi tidak resmi ke lokasi kongres. Di sana, kami disambut oleh ketua PPI dan panitia untuk mendaftar mendapatkan kunci dan sarung bantal. Saya sekamar dengan Mas Hilal. Meskipun di bus, saya tertidur, namun tidak nyenyak karena bus terguncang-guncang membawa penumpang. Jalan yang baik dan kondisi kenderaan yang prima bukan jaminan untuk tidur pulas. Mungkin, karena ia bergerak sementara kita tidur dalam keadaan diam.
Tempat istirahat kami cukup nyaman karena terletak di antara bangunan yang tidak tinggi sehingga tidak membuat kepala mendongak dan lanskap yang nyaman di mata. Di mana-mana pohon bertebaran menemati gedung-gedung yang dirancang rapi. Menurut Profesor Rahmalan, Dekan Pascasarjana UTM (asal Indonesia), luas universitas yang bertetangga dekat dengan Singapura ini adalah 1200 hektar dengan 2400 staf.
Tidur sejenak di ranjang membuat badan lebih nyaman. Jam 8.30 kami diminta untuk sarapan di lokasi sekaligus persiapan pembukaan kongres. Kedatangan Pejabat KBRI dan Diknas RI melegaskan kami karena acara bisa segera dimulai. Lazimnya seremoni, kami disuguhkan sambutan, yang isinya pujian dan harapan.
Mungkin, serangkaian acara yang menarik adalah paparan dari wakil Diknas, Dr. Bambang Widyanto, tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Bagi saya, ini adalah sebuah asupan informasi dari lingkaran pertama Departemen Pendidikan Indonesia. Dengan lugas, pria yang menyelesaikan Ph D di Pittsburgh Amerika ini mengolok birokrasi yang tidak kritis, sebab ini akan mencelakakan posisinya. Nah, ini tentu membantu kita bahwa semestinya birokrasi itu harus rasional agar berjalan efisien dan efektif. Tapi, dengan dana cekak, harapan ini raib bersama angin lalu.
***
Secara keseluruhan kongres kali ini berjalan lancar, meskipun diselipi pertengkaran pendapat. Perbedaan ini tentu saja tidak terlalu mencemaskan karena masih berada di dalam koridor kebersamaan. Pertanggungjawaban pengurus lama diterima secara bulat, tanpa ada keluhan. Sidang komisi dan pleno juga tak mengalami hambatan berarti. Terkadang, agenda molor dan percekcokan muncul. Bahkan, pembahasan AD/ART tidak mengalami deadlock. Pemilihan ketua berjalan mulus. Hall pascasarjana UTM menjadi saksi tentang kebebasan bicara dan berpendapat tetapi masih memperhatikan kepentingan bersama yang lebih luas untuk memupuk solidaritas sebagai sesama anak bangsa. Kesadaran inilah yang menyebabkan kongres tak perlu berdarah-darah atau melahirkan organisasi tandingan.
Bertambahnya cabang Uniten dan Unitar akan makin mengukuhkan keberadaan PPI Malaysia untuk merapatkan barisan mengumpulkan teman-teman membincangkan dirinya dan keberadaan warga Indonesia di tanah Melayu ini. Di sidang pleno, kedua cabang baru ini akhirnya disyahkan dan diterima oleh seluruh anggota untuk menjadi bagian dari keluarga besar.
Lalu, acara ditutup dengan tour ke Danga Bay, daerah pantai Johor yang elok dan penanganan yang bagus. Panitia lokal berbaik hati mengantarkan kami ke tempat peranginan (wisata). Garis pantai yang membentang panjang memungkinkan kami menelusuri sepanjang jalan. Hari minggu yang beda, karena kami telah menyemarakkan pariwisata negeri yang menyebut Asia yang sebenarnya. Dari USM, hanya saya dan Tauran yang mengikuti acara pamungkas ini, dan empat yang lain memilih pulang ke Pulau Mutiara, Pulau Pinang.
Saya sendiri membayangkan perjalanan ini akan menyenangkan, tidak hanya bus yang kita tumpangi luas karena hanya 3 kursi per barisnya, tapi juga akan melalui jalan tol hingga sampai tujuan. Sebelum melewati jembatan yang membelah Pulau Pinang dan Malaysia daratan (kiran-kira 13 km), saya mendengarkan lagu KLA Project melalui walkman. Hampir semuanya saya suka, tapi Tak Bisa Ke Lain Hati benar-benar membuat saya tentram, karena ia memberikan ruang yang besar untuk pelbagai ingatan. Lagu ini pernah dijadikan soundtrack drama radio romantik di Yogyakarta ketika saya menyelesaikan program sarjana muda, sekaligus mengingatkan peristiwa lain yang agak susah untuk membubuhkan dalam catatan singkat ini.
Di sebelah saya, Iqbal bercakap ringan untuk menghabiskan waktu sebelum asyik dengan mimpinya masing-masing. Di depan saya, Tauran dan Hilal berbincang, tapi saya tak bisa mendengarnya dengan jelas. Indah tampak asyik dengan dunianya. Saya sengaja menutup lubang AC di atas kepala karena udaranya menusuk ubun-ubun. Kami berhenti dua kali untuk melemaskan otot dan melaksanakan hajat ke kamar kecil. Tapi, saya kecewa pas perhentian Yong Peng karena toilet benar-benar buruk. Ternyata ia bukan milik perusahaan PLUS yang menangani tol utara-selatan negeri Jiran ini. Kapan ya kita akan menikmati perjalanan dengan lebuh raya yang memanjang dari Sabang sampai Merauke, tanpa direcoki dengan hambatan jalan yang rusak, atau tersendat karena melewati pasar yang menggunakan bahu jalan untuk areal perdagangan, dan dengan leluasa menggunakan toilet yang disanggongi petugas kebersihan hampir 24 Jam?
Tiba di Sri Puteri jam 6 45, kami menyewa taksi tidak resmi ke lokasi kongres. Di sana, kami disambut oleh ketua PPI dan panitia untuk mendaftar mendapatkan kunci dan sarung bantal. Saya sekamar dengan Mas Hilal. Meskipun di bus, saya tertidur, namun tidak nyenyak karena bus terguncang-guncang membawa penumpang. Jalan yang baik dan kondisi kenderaan yang prima bukan jaminan untuk tidur pulas. Mungkin, karena ia bergerak sementara kita tidur dalam keadaan diam.
Tempat istirahat kami cukup nyaman karena terletak di antara bangunan yang tidak tinggi sehingga tidak membuat kepala mendongak dan lanskap yang nyaman di mata. Di mana-mana pohon bertebaran menemati gedung-gedung yang dirancang rapi. Menurut Profesor Rahmalan, Dekan Pascasarjana UTM (asal Indonesia), luas universitas yang bertetangga dekat dengan Singapura ini adalah 1200 hektar dengan 2400 staf.
Tidur sejenak di ranjang membuat badan lebih nyaman. Jam 8.30 kami diminta untuk sarapan di lokasi sekaligus persiapan pembukaan kongres. Kedatangan Pejabat KBRI dan Diknas RI melegaskan kami karena acara bisa segera dimulai. Lazimnya seremoni, kami disuguhkan sambutan, yang isinya pujian dan harapan.
Mungkin, serangkaian acara yang menarik adalah paparan dari wakil Diknas, Dr. Bambang Widyanto, tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Bagi saya, ini adalah sebuah asupan informasi dari lingkaran pertama Departemen Pendidikan Indonesia. Dengan lugas, pria yang menyelesaikan Ph D di Pittsburgh Amerika ini mengolok birokrasi yang tidak kritis, sebab ini akan mencelakakan posisinya. Nah, ini tentu membantu kita bahwa semestinya birokrasi itu harus rasional agar berjalan efisien dan efektif. Tapi, dengan dana cekak, harapan ini raib bersama angin lalu.
***
Secara keseluruhan kongres kali ini berjalan lancar, meskipun diselipi pertengkaran pendapat. Perbedaan ini tentu saja tidak terlalu mencemaskan karena masih berada di dalam koridor kebersamaan. Pertanggungjawaban pengurus lama diterima secara bulat, tanpa ada keluhan. Sidang komisi dan pleno juga tak mengalami hambatan berarti. Terkadang, agenda molor dan percekcokan muncul. Bahkan, pembahasan AD/ART tidak mengalami deadlock. Pemilihan ketua berjalan mulus. Hall pascasarjana UTM menjadi saksi tentang kebebasan bicara dan berpendapat tetapi masih memperhatikan kepentingan bersama yang lebih luas untuk memupuk solidaritas sebagai sesama anak bangsa. Kesadaran inilah yang menyebabkan kongres tak perlu berdarah-darah atau melahirkan organisasi tandingan.
Bertambahnya cabang Uniten dan Unitar akan makin mengukuhkan keberadaan PPI Malaysia untuk merapatkan barisan mengumpulkan teman-teman membincangkan dirinya dan keberadaan warga Indonesia di tanah Melayu ini. Di sidang pleno, kedua cabang baru ini akhirnya disyahkan dan diterima oleh seluruh anggota untuk menjadi bagian dari keluarga besar.
Lalu, acara ditutup dengan tour ke Danga Bay, daerah pantai Johor yang elok dan penanganan yang bagus. Panitia lokal berbaik hati mengantarkan kami ke tempat peranginan (wisata). Garis pantai yang membentang panjang memungkinkan kami menelusuri sepanjang jalan. Hari minggu yang beda, karena kami telah menyemarakkan pariwisata negeri yang menyebut Asia yang sebenarnya. Dari USM, hanya saya dan Tauran yang mengikuti acara pamungkas ini, dan empat yang lain memilih pulang ke Pulau Mutiara, Pulau Pinang.
Friday, May 19, 2006
Futsal yang Melelahkan
Biasanya, saya main futsal dengan teman-teman Indonesia di KDU, bahkan pernah di Seberang Pulau. Karena pemainnya banyak, saya hanya bermain 15-20 menit. Tapi, kemarin, bersama dengan teman-teman Malaysia, saya hampir lebih dari 1 jam bermain bola. Benar-benar melelahkan.
Pulang, teman Malay mampir beli 100plus dingin. Ketika saya meneguknya, tubuh seperti disiram es dan dinginnya menusuk gigi, campur aduk antara enak dan sakit. Terbersit di benak, saya ingin mengulangi peristiwa ini.
Makan malam bersama Hilal, saya melepaskan lelah di warung sambil menonton acara favorit Buletin Malam TV 3.
Jam 9, tubuh saya udah tergeletak lelah. Tertidur dan bangun jam 1 30 untuk shalat Isya'. Lalu, buku Putu Wijaya, Teror Mental membantu saya melewati dini hari. Saya kira kita mesti lelah untuk bisa tidur dengan lelap.
Pulang, teman Malay mampir beli 100plus dingin. Ketika saya meneguknya, tubuh seperti disiram es dan dinginnya menusuk gigi, campur aduk antara enak dan sakit. Terbersit di benak, saya ingin mengulangi peristiwa ini.
Makan malam bersama Hilal, saya melepaskan lelah di warung sambil menonton acara favorit Buletin Malam TV 3.
Jam 9, tubuh saya udah tergeletak lelah. Tertidur dan bangun jam 1 30 untuk shalat Isya'. Lalu, buku Putu Wijaya, Teror Mental membantu saya melewati dini hari. Saya kira kita mesti lelah untuk bisa tidur dengan lelap.
Monday, May 15, 2006
Test Psikologi dan Tiga Dimensi
Pagi disambut hujan, tubuh malas beranjak dari tempat tidur. Tapi, karena ada janji untuk mengisi 'test' untuk tesis teman, saya berangkat diiringi gerimis. Sebenarnya, saya menyukai suasana mendung karena bumi tampak ramah dan tidak garang jika matahari menyorot terik.
Paling tidak, pertemuan dengan teman-teman dari Indonesia selalu mencairkan kebekuan karena kelucuan tumpah ruah, tak bisa dibendung. Kebetulan di sana, saya bertemua mahasiswa dari Palestina. Percakapan pun mengalir yang mendekatkan kami sebagai saudara rantau. Kemasgulannya terhadap bangsanya yang teraniaya, tapi tidak bisa melepaskan dari cengkeraman Israel menyisakan tanda tanya.
Paling tidak, pertemuan dengan teman-teman dari Indonesia selalu mencairkan kebekuan karena kelucuan tumpah ruah, tak bisa dibendung. Kebetulan di sana, saya bertemua mahasiswa dari Palestina. Percakapan pun mengalir yang mendekatkan kami sebagai saudara rantau. Kemasgulannya terhadap bangsanya yang teraniaya, tapi tidak bisa melepaskan dari cengkeraman Israel menyisakan tanda tanya.
Saturday, May 13, 2006
Belajar dari Negeri Jiran
Pertama kali saya menjejakkan kaki di Bandara Internasional Kualalumpur, saya terhenyak karena bangunannya tampak megah dan modern. Berbeda dengan jakarta, ada kereta api cepat untuk mengantarkan penumpang untuk pindah ke rute penerbangan dalam negeri. Karena saya sampai sore, saya nginap di hotel (karena udah dibayar oleh Agen) tak jauh dari bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Pinang.
+belum selesai!
+belum selesai!
Film Komedi Romantik
Saya masih memburu 'genre' film komedi romantik, meskipun usia udah beranjak. Tak perlu risau, jika orang melihatnya bukan film berat dan tidak bermutu.
Tapi, menurut saya, pesannya adalah upaya 'menerjemahkan' nilai-nilai yang diusung oleh pemikiran yang berat, rumit dan canggih.
Dari sekian film jenis ini, kejujuran adalah pesan moral yang ingin ditonjolkan. Bukankah yang terakhir inilah acapkali raib dari diri kita?
Tapi, menurut saya, pesannya adalah upaya 'menerjemahkan' nilai-nilai yang diusung oleh pemikiran yang berat, rumit dan canggih.
Dari sekian film jenis ini, kejujuran adalah pesan moral yang ingin ditonjolkan. Bukankah yang terakhir inilah acapkali raib dari diri kita?
Hinggap dari Peristiwa Ke yang Lain
Jumatan kemarin sangat menyenangkan. Sang pengkhotbah, Ustaz Daniel memukau jamaah. Saya pun tidak mengantuk. Beliau mengungkap peristiwa Palestina dan ketidakadilan Barat, nun jauh di sana. Tapi, kemampuan retorikanya mampu mendekatkan dengan kami yang tepekur dengan artikulasi khotbahnya. Ya, semoga bumi Palestina segera damai agar tak ada lagi penistaan pada kemanusiaan.
Hari ini, sepanjang jalan saya menikmati butiran peristiwa yang menghinggapi mata. Panas terik membuat alam terang benderang, seperti mengusir gundah, daun pohon berguguran berpendaran diterpa sinar mentari, lalu lalang orang yang menghadiri wisuda, wajah cerah dari mereka yang menyelesaikan kuliah, satpam kampus yang baik hati, pekerja warung India yang bekerja seperti mesin, dan kembali berkutat di depan komputer.
Terlalu banyak untuk diurai, tapi semua menyiratkan sejuta makna. Meskipun, tafsir itu tetap berpijak pada saya 'yang subjektif'. Terus terang, saya menikmati perjalanan di dalam kampus, baik dengan motor atau jalan kaki. Ada jembatan yang membelah dengan air yang cetek, danau buatan yang dipenuhi pohon dan burung-burung bersenda-gurau, jalanan yang relatif bersih, bangunan yang enak dilihat meskipun tidak megah, dan hujan menambah hijau rumput hingga mata teduh.
Tidak harus membeli terlalu mahal akan kenyamanan. Sekitar saya telah memberi lebih. Jika ingin berselancar di internet, saya tinggal ke kampus dan klik tanpa harus membayar. Fasilitas olahraga yagn memadai, teman-teman Melayu yang baik, lalu bilik tv di lantai bawah lebih dari cukup untuk memuaskan keinginan menonton.
Hari ini, sepanjang jalan saya menikmati butiran peristiwa yang menghinggapi mata. Panas terik membuat alam terang benderang, seperti mengusir gundah, daun pohon berguguran berpendaran diterpa sinar mentari, lalu lalang orang yang menghadiri wisuda, wajah cerah dari mereka yang menyelesaikan kuliah, satpam kampus yang baik hati, pekerja warung India yang bekerja seperti mesin, dan kembali berkutat di depan komputer.
Terlalu banyak untuk diurai, tapi semua menyiratkan sejuta makna. Meskipun, tafsir itu tetap berpijak pada saya 'yang subjektif'. Terus terang, saya menikmati perjalanan di dalam kampus, baik dengan motor atau jalan kaki. Ada jembatan yang membelah dengan air yang cetek, danau buatan yang dipenuhi pohon dan burung-burung bersenda-gurau, jalanan yang relatif bersih, bangunan yang enak dilihat meskipun tidak megah, dan hujan menambah hijau rumput hingga mata teduh.
Tidak harus membeli terlalu mahal akan kenyamanan. Sekitar saya telah memberi lebih. Jika ingin berselancar di internet, saya tinggal ke kampus dan klik tanpa harus membayar. Fasilitas olahraga yagn memadai, teman-teman Melayu yang baik, lalu bilik tv di lantai bawah lebih dari cukup untuk memuaskan keinginan menonton.
Wednesday, May 10, 2006
Pendekatan Literasi Media
Hampir tiap hari saya membaca media, baik cetak maupun on line. Lalu, saya merasa bahwa ini adalah pengulangan yang membosankan. Tapi, saya mencoba melihat dari sisi lain. Media adalah sarana kompleks dalam penyampaian informasi. Oleh karena itu, buku International Communications: A Media Literacy Approach adalah salah satu alat untuk menerokai lebih jauh dunia media.
Media komunikasi adalah aktivitas yang didorong oleh banyak fungsi atau tujuan, di antaranya: informasi, ekspresi, deskripsi, instruksi, hiburan, ekspresi kreatif, keuntungan, dan persuasi. Semua ini bisa jadi dipengaruhi oleh kepemilikan, apakah publik, swasta, negara atau campuran (hibrida). Buku ini berguna untuk tidak lagi membaca sekedar hiburan ngilangin suntuk, tapi mendapatkan sejumlah isu untuk memahami peristiwa di sekitar kita sendiri.
Tuesday, May 09, 2006
Buku yang Mengubah Manusia
Minggu, 7 Mei 2006
Oleh Ahmad Sahidah*)
Di tengah hiruk-pikuk media elektronik dalam kehidupan manusia, terdapat kekhawatiran bahwa buku akan tersingkir. Tetapi, prediksi ini juga tidak menjadi kenyataan. Namun demikian, buku tetap masih berada di pinggir dalam arus penyebaran informasi. Bahkan, di tengah kesulitan ekonomi, penerbitan di tanah air masih marak.
Adakah kengototan pekerja buku ini semata-mata didasari oleh motif ekonomi? Bukankah tidak jarang buku lahir dari sebuah keinginan ‘politik’? Masihkan tersisa idealisme untuk mengubah wajah kemanusiaan dengan pengetahuan? Tentu saja, jawabannya beragam, atau mungkin boleh jadi motifnya memang tidak tunggal.
Terlepas dari pendorong lahirnya buku di masyarakat, ada sesuatu yang lain yang juga perlu mendapat perhatian. Ternyata dalam sejarahnya, buku telah mengubah manusia dan dengan sendirinya melahirkan peradaban yang menyangga kebudayaan adiluhung. Sejarah menunjukkan kegemilangan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pada era Khalifah al-Makmun telah menyulap tanah tandus Timur Tengah menjadi oase pemikiran, melanjutkan kembali gairah pengetahuan yang pernah muncul di Yunani.
Individu yang Mencengangkan
Ada banyak cerita tentang buku yang mengubah hidup seseorang. Nietzsche menemukan pencerahan dari buku Schopenhauer di pasar loak. Bahkan, dengan nada provokatif, Lévi Strauss merasa mendapatkan wahyu setelah membaca buku Roman Jakobson. Dua contoh ini adalah lebih dari cukup bagaimana teks telah mempengaruhi seseorang menjadi orang lain (alter-ego) dan melakukan sesuatu dari apa yang dibacanya.
Mungkin, kita juga perlu menengok kisah-kisah tentang buku yang mengubah manusia. Buku A Passion for Books (1999) adalah salah satu contoh yang merekam kegandrungan orang akan buku dan akhirnya mengubah pembacanya. Nina King mencatat beberapa penulis yang mengungkapkan buku telah merubah hidupnya, di antaranya Susan Sontag dengan Book of Marvels Richard Halliburton, Frank McCourth dengan Seven Storey Mountain Thomas Merton dan dia sendiri, meskipun memalukan katanya, buku yang mengubah dirinya adalah The Boobsey Twins in the Country.
Di dalam buku lain, A gentle Madness (1999), Nicholas A Basbanes mengungkapkan tentang kegilaan orang pada buku - bibliomania. Di sini, sang penulis melacak dunia 2500 tahun lalu di Alexandria Mesir, cerita-cerita heroik para penggila buku yang mencuri untuk menambah koleksi (biblioklepto) atau membeli empat rumah untuk menampung buku koleksinya. Di Indonesia, cerita penggila buku yang mencuri adalah Chairil Anwar dan Asrul Sani, meskipun sial, karena buku yang diincar, Zarathusranya Nietzsche tertukar dengan Kitab Injil. Sayang, sang penulis belum mengenal Pram, sehingga kegigihan sastrawan besar Indonesia tidak terekam dalam buku ini, yang banyak dipuji karena keluasan informasinya.
Atmosfir kegairahan mengumpulkan buku sebenarnya juga ditemukan di kos-kos mahasiswa Jogjakarta, suasana yang penulis rasakan ketika menyelesaikan kuliah. Tidak dapat disangkal, bahwa buku adalah bagian aksesori kamar mereka, bahkan ada mahasiswa yang membeli buku tapi belum sempat (males?) membacanya. Tentu saja, apapun motivasinya, ia tetap akan berdampak pada dunia perbukuan. Siapa tahu dari koleksi yang terbengkalai itu akhirnya dibaca dan membuka kemungkinan mengubah hidupnya.
Sebuah Harapan
Kita juga berharap bahwa para pencinta buku di negeri ini akan mengumpulkan pengalamannya yang akan mengilhami generasi selanjutnya untuk menjadikan buku sebagai bagian dari penentu eksistensinya, bukan sekedar alat pelengkap sekolah atau kampus. Muhidin M Dahlan dalam Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta telah memulai merekam sosok dirinya yang menganggap buku seperti nyawa yang kedua. Sebuah catatan yang manis untuk dijadikan cermin mengapresiasi sebuah karya.
Di sini, sebenarnya banyak cerita tentang tokoh nasional yang sangat menghargai buku sebagai barang yang tak bisa ditinggalkan dalam kesehariannya. Bahkan dalam pembuangannya, Soekarno dan Hatta membawa banyak buku untuk dijadikan teman setianya. Pilihan Presiden pertama RI akan buku-buku Islam telah mengantarkan dirinya untuk menggeluti isu keislaman dan melakukan polemik dengan A. Hassan. Sedang wakilnya melahirkan buku Alam Pikiran Yunani, yang merintis jalan bagi kajian filsafat di Indonesia. Cerita heroik lain adalah Tan Malaka, sang pejuang yang justeru bergelut dengan buku di tengah pelariannya dan menghasilkan karya yang cemerlang Markisme, Dialektika dan Logika (Madilog).
Atau cerita lain dari ketakutan pemerintah Orba terhadap buku-buku Pram, Gie, Tan Malaka dan yang lain, sebagai contoh betapa dahsyatnya benda yang bernama buku ini dikhawatirkan akan mengguncangkan tatanan yang telah mapan. Meskipun, akhirnya pelarangan ini justeru makin memopulerkan dan menarik banyak orang untuk melahapnya. Padahal, dilihat secara fisik, buku tak lebih dari tumpukan kertas yang dibubuhi huruf-huruf untuk merangkai kalimat utuh sebagai anak rohani, mengutip Pram, dari penulisnya.
Masihkah kita berharap buku akan mengubah manusia dan eksistensinya? Saya sendiri berharap besar. Sayangnya, saya belum menemukan buku yang bisa membuka pikiran akan sebuah pilihan dan menjadikannya pijakan untuk merintis jalan memahami ‘dunia’ dan ‘melek’ untuk memetakan realitas. []
Ahmad Sahidah, Mahasiswa Ph.D Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia
Oleh Ahmad Sahidah*)
Di tengah hiruk-pikuk media elektronik dalam kehidupan manusia, terdapat kekhawatiran bahwa buku akan tersingkir. Tetapi, prediksi ini juga tidak menjadi kenyataan. Namun demikian, buku tetap masih berada di pinggir dalam arus penyebaran informasi. Bahkan, di tengah kesulitan ekonomi, penerbitan di tanah air masih marak.
Adakah kengototan pekerja buku ini semata-mata didasari oleh motif ekonomi? Bukankah tidak jarang buku lahir dari sebuah keinginan ‘politik’? Masihkan tersisa idealisme untuk mengubah wajah kemanusiaan dengan pengetahuan? Tentu saja, jawabannya beragam, atau mungkin boleh jadi motifnya memang tidak tunggal.
Terlepas dari pendorong lahirnya buku di masyarakat, ada sesuatu yang lain yang juga perlu mendapat perhatian. Ternyata dalam sejarahnya, buku telah mengubah manusia dan dengan sendirinya melahirkan peradaban yang menyangga kebudayaan adiluhung. Sejarah menunjukkan kegemilangan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pada era Khalifah al-Makmun telah menyulap tanah tandus Timur Tengah menjadi oase pemikiran, melanjutkan kembali gairah pengetahuan yang pernah muncul di Yunani.
Individu yang Mencengangkan
Ada banyak cerita tentang buku yang mengubah hidup seseorang. Nietzsche menemukan pencerahan dari buku Schopenhauer di pasar loak. Bahkan, dengan nada provokatif, Lévi Strauss merasa mendapatkan wahyu setelah membaca buku Roman Jakobson. Dua contoh ini adalah lebih dari cukup bagaimana teks telah mempengaruhi seseorang menjadi orang lain (alter-ego) dan melakukan sesuatu dari apa yang dibacanya.
Mungkin, kita juga perlu menengok kisah-kisah tentang buku yang mengubah manusia. Buku A Passion for Books (1999) adalah salah satu contoh yang merekam kegandrungan orang akan buku dan akhirnya mengubah pembacanya. Nina King mencatat beberapa penulis yang mengungkapkan buku telah merubah hidupnya, di antaranya Susan Sontag dengan Book of Marvels Richard Halliburton, Frank McCourth dengan Seven Storey Mountain Thomas Merton dan dia sendiri, meskipun memalukan katanya, buku yang mengubah dirinya adalah The Boobsey Twins in the Country.
Di dalam buku lain, A gentle Madness (1999), Nicholas A Basbanes mengungkapkan tentang kegilaan orang pada buku - bibliomania. Di sini, sang penulis melacak dunia 2500 tahun lalu di Alexandria Mesir, cerita-cerita heroik para penggila buku yang mencuri untuk menambah koleksi (biblioklepto) atau membeli empat rumah untuk menampung buku koleksinya. Di Indonesia, cerita penggila buku yang mencuri adalah Chairil Anwar dan Asrul Sani, meskipun sial, karena buku yang diincar, Zarathusranya Nietzsche tertukar dengan Kitab Injil. Sayang, sang penulis belum mengenal Pram, sehingga kegigihan sastrawan besar Indonesia tidak terekam dalam buku ini, yang banyak dipuji karena keluasan informasinya.
Atmosfir kegairahan mengumpulkan buku sebenarnya juga ditemukan di kos-kos mahasiswa Jogjakarta, suasana yang penulis rasakan ketika menyelesaikan kuliah. Tidak dapat disangkal, bahwa buku adalah bagian aksesori kamar mereka, bahkan ada mahasiswa yang membeli buku tapi belum sempat (males?) membacanya. Tentu saja, apapun motivasinya, ia tetap akan berdampak pada dunia perbukuan. Siapa tahu dari koleksi yang terbengkalai itu akhirnya dibaca dan membuka kemungkinan mengubah hidupnya.
Sebuah Harapan
Kita juga berharap bahwa para pencinta buku di negeri ini akan mengumpulkan pengalamannya yang akan mengilhami generasi selanjutnya untuk menjadikan buku sebagai bagian dari penentu eksistensinya, bukan sekedar alat pelengkap sekolah atau kampus. Muhidin M Dahlan dalam Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta telah memulai merekam sosok dirinya yang menganggap buku seperti nyawa yang kedua. Sebuah catatan yang manis untuk dijadikan cermin mengapresiasi sebuah karya.
Di sini, sebenarnya banyak cerita tentang tokoh nasional yang sangat menghargai buku sebagai barang yang tak bisa ditinggalkan dalam kesehariannya. Bahkan dalam pembuangannya, Soekarno dan Hatta membawa banyak buku untuk dijadikan teman setianya. Pilihan Presiden pertama RI akan buku-buku Islam telah mengantarkan dirinya untuk menggeluti isu keislaman dan melakukan polemik dengan A. Hassan. Sedang wakilnya melahirkan buku Alam Pikiran Yunani, yang merintis jalan bagi kajian filsafat di Indonesia. Cerita heroik lain adalah Tan Malaka, sang pejuang yang justeru bergelut dengan buku di tengah pelariannya dan menghasilkan karya yang cemerlang Markisme, Dialektika dan Logika (Madilog).
Atau cerita lain dari ketakutan pemerintah Orba terhadap buku-buku Pram, Gie, Tan Malaka dan yang lain, sebagai contoh betapa dahsyatnya benda yang bernama buku ini dikhawatirkan akan mengguncangkan tatanan yang telah mapan. Meskipun, akhirnya pelarangan ini justeru makin memopulerkan dan menarik banyak orang untuk melahapnya. Padahal, dilihat secara fisik, buku tak lebih dari tumpukan kertas yang dibubuhi huruf-huruf untuk merangkai kalimat utuh sebagai anak rohani, mengutip Pram, dari penulisnya.
Masihkah kita berharap buku akan mengubah manusia dan eksistensinya? Saya sendiri berharap besar. Sayangnya, saya belum menemukan buku yang bisa membuka pikiran akan sebuah pilihan dan menjadikannya pijakan untuk merintis jalan memahami ‘dunia’ dan ‘melek’ untuk memetakan realitas. []
Ahmad Sahidah, Mahasiswa Ph.D Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia
Menikmati Rutinitas
Hanya perlu menelepon untuk memastikan bisa menemuai Profesor. Beliau langsung bersedia untuk menerima bab dua dari disertasi saya.
Sebelumnya, saya pergi ke perpustakaan menengok buku baru. Tapi, kosong. Di papan pameran, saya melihat dua buku, pertama tentang cultural studies dan analisis film. Tanpa berpikir panjang, saya mengambil dua buku ini untuk dipinjam.
Buku pertama berjudul All About the Girl: Culture, Power and Identity dan buku kedua adalah Style and Meaning: Studies in the detailed analysis of film. Malam ini, saya ingi mengunyahnya agar mengantarkan saya pada kedalaman tentang perempuan dan film.
Lalu, kembali ke rutinitas, saya melayari internet dan membaca koran on line. Tak ada yang baru. Semua adalah pengulangan. Tapi, saya membacanya lagi. Siapa tahu ini adalah bentuk internalisasi dari nilai. kebetulan, saya mengikuti pikiran Shirin Ebadi, pemenang Nobel dari Iran, ketika ditanya wartawan TIME tentang ayat al-Qur'an yang menjadi favorit dia. Tegasnya, tentang waktu yang sangat penting dalam kehidupan. Sepertinya, ini mengejek saya yang abai terhadap sang waktu. Lalu, susulnya, dia menyukai membaca novel satu jam sebelum tidur dan katanya, dia sedang menekuri Paulo Coelho.
Sebelumnya, saya pergi ke perpustakaan menengok buku baru. Tapi, kosong. Di papan pameran, saya melihat dua buku, pertama tentang cultural studies dan analisis film. Tanpa berpikir panjang, saya mengambil dua buku ini untuk dipinjam.
Buku pertama berjudul All About the Girl: Culture, Power and Identity dan buku kedua adalah Style and Meaning: Studies in the detailed analysis of film. Malam ini, saya ingi mengunyahnya agar mengantarkan saya pada kedalaman tentang perempuan dan film.
Lalu, kembali ke rutinitas, saya melayari internet dan membaca koran on line. Tak ada yang baru. Semua adalah pengulangan. Tapi, saya membacanya lagi. Siapa tahu ini adalah bentuk internalisasi dari nilai. kebetulan, saya mengikuti pikiran Shirin Ebadi, pemenang Nobel dari Iran, ketika ditanya wartawan TIME tentang ayat al-Qur'an yang menjadi favorit dia. Tegasnya, tentang waktu yang sangat penting dalam kehidupan. Sepertinya, ini mengejek saya yang abai terhadap sang waktu. Lalu, susulnya, dia menyukai membaca novel satu jam sebelum tidur dan katanya, dia sedang menekuri Paulo Coelho.
Sunday, May 07, 2006
Bedah Buku Tokoh Pembaharu
Bangun pukul 7, saya masih melihat hujan rintik menyambut pagi. Hari ini, jam 9 kami, Pak Tahir dan Dian berencana untuk menghadiri bedah buku Buah Pikiran Ashaari Muhammad di hotel Seri Malaysia.
Di sana, kami mengikuti pembahasan buku yang ke-72 dari tokoh Darul Arqam yang pernah menghiasi kontroversi di negeri Jiran ini. Ann Wan Seng (alumni UM bidang Sosiologi), Dr. Ir. Abdur Rahman Effendi (Program Doktor bidang Pesawat Terbang di Perancis), Shahnon Muhammad (penyair, bekas anggota parlemen), dan dimoderatori oleh dosen USM, diskusi berjalan 'marak'.
Pulang dengan Prof Shukri, kami menyempatkan makan siang bersama dan sebelumnya shalat di Masjidk Bayan Lepas. Profesor banyak berbicang dan membuat hubungan dekat.
Bagi saya, Abuya Ashaari tampak sangat memikat orang-orang yang pernah mengenal dekat dan menjadi pengikutnya.
Di sana, kami mengikuti pembahasan buku yang ke-72 dari tokoh Darul Arqam yang pernah menghiasi kontroversi di negeri Jiran ini. Ann Wan Seng (alumni UM bidang Sosiologi), Dr. Ir. Abdur Rahman Effendi (Program Doktor bidang Pesawat Terbang di Perancis), Shahnon Muhammad (penyair, bekas anggota parlemen), dan dimoderatori oleh dosen USM, diskusi berjalan 'marak'.
Pulang dengan Prof Shukri, kami menyempatkan makan siang bersama dan sebelumnya shalat di Masjidk Bayan Lepas. Profesor banyak berbicang dan membuat hubungan dekat.
Bagi saya, Abuya Ashaari tampak sangat memikat orang-orang yang pernah mengenal dekat dan menjadi pengikutnya.
Saturday, May 06, 2006
Realitas dalam Wajah Lain
Judul buku : Documentary in the Digital Age
Penulis : Maxine Baker
Penerbit : Focal Press
Tahun : 2006
Tebal : xii+308
Ahmad Sahidah
Buku ini hendak melihat kehidupan yang sedang berjalan (berlari? on the run), gaya abad duapuluh-pertama, dokumenter di dalam era digital. Penemuan Lumière, sinematografi adalah sebuah mesin yang memfilmkan, memproses, memproyeksikan dan juga, sebagai benda mudah alih (portable), ia bisa dibawa dengan fuss yang minimum dan digunakan untuk merekam dan memperlihatkan pada audiens dunia tempat mereka hidup. Pilihan Lumière memilih untuk memfilmkan orang-orang di dalam situasi nyata, tidak pernah menunjukkan minat pada kisah-kisah dramatik. Oleh karena itu saya pikir bahwa mereka adalah bapak sejati dari bentuk dokumenter. Kenapa film dokumenter tak disuka banyak orang? Apakah kita tidak lagi menyukai kenyataan, tapi impian terus-menerus? Bukankah Nietzsche dan pengikutnya menyatakan katakan ya pada kehidupan agar kita tidak merasa terasing karena selalu memanjakan 'keinginan' yang ada di seberang? Atau memang kenyataan itu perih sehingga tak perlu dikenang? kehadiran buku ini menjadi penting karena film dokumenter belum mendapat perhatian sebagaimana film populer, bahkan di Amerika sendiri belum bisa mensejajarkan dirinya dengan film fiksi lain, meskipun dalam perayaan Oscar, ia adalah salah satu yang dinominasika untuk jenisnya sendiri. Mungkin, hanya 9/11 Fahreinheit arahan Michael Moore, ia mampu menembus pasar film komersial dan bahkan mencecap box office.
Berangkat dari kenyataan ini, kehadiran buku menjadi penting di tengah jarangnya pembahasan film dokumenter dalam buku di tanah air. Meskipun, komunitas penggiat dalam bidang ini sudah ada dan mempunyai forum tersendiri bahkan lebih jauh telah menggelar festival film dokumenter.
Sebagaimana kata penulis, filem jenis ini mempunyai pelbagai pendekatan dan genre yang berbeda. Meskipun selama beberapa tahun, produksi dokumenter yang didominasi oleh gaya estetik verite. Berbeda dengan di Barat di mana filem jenis ini masih banyak mendapat tempat, maka di sini juga perlu memperhatikan keberadaaan sebagai upaya pembelajaran publik tentang filmisasi realitas yang tidak melulu drama.
Masing-masing buku ini menelaah karya satu sutradara. Mereka, tegas penulis, adalah orang yang mempunyai keyakinan yang kaut dan nyleneh. Ada beberapa alasan pemilihan terhadap pengarah film ini, pertama, pengakuan secara pribadi terhadap hasil karya mereka dan kedua mereka mewakili sebuah pendekatan, gaya dan sikap terhadap film yang berbeda.
Buku ini lahir dari orang yang bekerja untuk dunia filem, sebagai pembuat film dokumenter untuk kebanyakan di televisi, seperti BBC, CBC Canada, Televisi Granada. Tidak itu saja, ia juga menjadi pengajar, peneliti, sutradara, produser dan editor. Tampak pengalaman panjang ini akan mengkayakan pemahaman penulis terhadap persoalan ini.
Mungkin, pembaca akan melihat buku tidak lebih dari biografi pembuat filem, namun jika ditelaah lebih jauh kita akan menemukan banyak informasi yang berharga untuk menekuri dunia yang jarang ditengok penikmat film. Mereka tidak hanya mengandalkan pengetahuan seluk-beluk tentan dunia film serta riset yang mendalam tetapi harus berdepan dengan lokasi pengambilan gambar yang berbahaya seperti di negeri yang dilanda peperangan.
Meskipun, buku ini dibuat oleh pembuat film dan untuk pembuat film lain, namun membuka kemungkinan bagi penikmat film menengok betapa sesungguhnya di balik itu ada banyak pergulatan yang memungkinkan untuk memahami realitas dalam bentuk seluloid. Ini juga akan memberi ilham bagi siapa untuk menyampaikan keyakinannya tentang satu masalah. Sebab, film hanya media dan kenyataan adalah hal lain.
*) Ahmad Sahidah
Steerring Committee Pagelaran Film Indonesia di Universitas Sains Malaysia
Penulis : Maxine Baker
Penerbit : Focal Press
Tahun : 2006
Tebal : xii+308
Ahmad Sahidah
Buku ini hendak melihat kehidupan yang sedang berjalan (berlari? on the run), gaya abad duapuluh-pertama, dokumenter di dalam era digital. Penemuan Lumière, sinematografi adalah sebuah mesin yang memfilmkan, memproses, memproyeksikan dan juga, sebagai benda mudah alih (portable), ia bisa dibawa dengan fuss yang minimum dan digunakan untuk merekam dan memperlihatkan pada audiens dunia tempat mereka hidup. Pilihan Lumière memilih untuk memfilmkan orang-orang di dalam situasi nyata, tidak pernah menunjukkan minat pada kisah-kisah dramatik. Oleh karena itu saya pikir bahwa mereka adalah bapak sejati dari bentuk dokumenter. Kenapa film dokumenter tak disuka banyak orang? Apakah kita tidak lagi menyukai kenyataan, tapi impian terus-menerus? Bukankah Nietzsche dan pengikutnya menyatakan katakan ya pada kehidupan agar kita tidak merasa terasing karena selalu memanjakan 'keinginan' yang ada di seberang? Atau memang kenyataan itu perih sehingga tak perlu dikenang? kehadiran buku ini menjadi penting karena film dokumenter belum mendapat perhatian sebagaimana film populer, bahkan di Amerika sendiri belum bisa mensejajarkan dirinya dengan film fiksi lain, meskipun dalam perayaan Oscar, ia adalah salah satu yang dinominasika untuk jenisnya sendiri. Mungkin, hanya 9/11 Fahreinheit arahan Michael Moore, ia mampu menembus pasar film komersial dan bahkan mencecap box office.
Berangkat dari kenyataan ini, kehadiran buku menjadi penting di tengah jarangnya pembahasan film dokumenter dalam buku di tanah air. Meskipun, komunitas penggiat dalam bidang ini sudah ada dan mempunyai forum tersendiri bahkan lebih jauh telah menggelar festival film dokumenter.
Sebagaimana kata penulis, filem jenis ini mempunyai pelbagai pendekatan dan genre yang berbeda. Meskipun selama beberapa tahun, produksi dokumenter yang didominasi oleh gaya estetik verite. Berbeda dengan di Barat di mana filem jenis ini masih banyak mendapat tempat, maka di sini juga perlu memperhatikan keberadaaan sebagai upaya pembelajaran publik tentang filmisasi realitas yang tidak melulu drama.
Masing-masing buku ini menelaah karya satu sutradara. Mereka, tegas penulis, adalah orang yang mempunyai keyakinan yang kaut dan nyleneh. Ada beberapa alasan pemilihan terhadap pengarah film ini, pertama, pengakuan secara pribadi terhadap hasil karya mereka dan kedua mereka mewakili sebuah pendekatan, gaya dan sikap terhadap film yang berbeda.
Buku ini lahir dari orang yang bekerja untuk dunia filem, sebagai pembuat film dokumenter untuk kebanyakan di televisi, seperti BBC, CBC Canada, Televisi Granada. Tidak itu saja, ia juga menjadi pengajar, peneliti, sutradara, produser dan editor. Tampak pengalaman panjang ini akan mengkayakan pemahaman penulis terhadap persoalan ini.
Mungkin, pembaca akan melihat buku tidak lebih dari biografi pembuat filem, namun jika ditelaah lebih jauh kita akan menemukan banyak informasi yang berharga untuk menekuri dunia yang jarang ditengok penikmat film. Mereka tidak hanya mengandalkan pengetahuan seluk-beluk tentan dunia film serta riset yang mendalam tetapi harus berdepan dengan lokasi pengambilan gambar yang berbahaya seperti di negeri yang dilanda peperangan.
Meskipun, buku ini dibuat oleh pembuat film dan untuk pembuat film lain, namun membuka kemungkinan bagi penikmat film menengok betapa sesungguhnya di balik itu ada banyak pergulatan yang memungkinkan untuk memahami realitas dalam bentuk seluloid. Ini juga akan memberi ilham bagi siapa untuk menyampaikan keyakinannya tentang satu masalah. Sebab, film hanya media dan kenyataan adalah hal lain.
*) Ahmad Sahidah
Steerring Committee Pagelaran Film Indonesia di Universitas Sains Malaysia
Friday, May 05, 2006
Belajar dengan Mendengar
Tadi pagi, saya bangun agak telat karena kelelahan. Semalam hujan, seharusnya saya akan dengan segera berangkat ke kampus karena jalanan pasti masih menyisakan basah dan pepohonan.
Siang ini saya makan siang di harapan. Di sana kebetulan saya ketemu teman dari Yaman, yang juga ngajak temannya untuk gabung di meja kami. Tiba-tiba perbincangan mengalir karena orang Malay ini ternyata mempunyai buyut yang berasal dari Yaman dan menyelesaikan Ph.D dalam bidang Planning. Tapi, kegiatannya tidak hanya melulu berkaitan dengan bangunan, melainkan dakwah untuk komunitas berbahasa di Penang dan orang-orang tuna rungu. Sangat khas, bukan? Tak jarang, pembicaraan berjalan ke sana kemari.
Saya hanya mendengar untuk banyak belajar.
Siang ini saya makan siang di harapan. Di sana kebetulan saya ketemu teman dari Yaman, yang juga ngajak temannya untuk gabung di meja kami. Tiba-tiba perbincangan mengalir karena orang Malay ini ternyata mempunyai buyut yang berasal dari Yaman dan menyelesaikan Ph.D dalam bidang Planning. Tapi, kegiatannya tidak hanya melulu berkaitan dengan bangunan, melainkan dakwah untuk komunitas berbahasa di Penang dan orang-orang tuna rungu. Sangat khas, bukan? Tak jarang, pembicaraan berjalan ke sana kemari.
Saya hanya mendengar untuk banyak belajar.
Thursday, May 04, 2006
Siang yang Redup
Hari ini saya makan lebih awal karena tidak sarapan pagi. Di kantin harapan, saya menikmati makan pagi dan siang dengan santai sambil menonton National Geography, yang menayangkan bahaya air pipa terhadap tingkat kesuburan sperma di Amerika karena zat klorin dalam air. Saya tidak tahu, apakah ini akan juga terjadi di sini (Malaysia) atau di Indonesia sekarang.
Setelah sampai di kampus, saya mengirim sms pada pembimbing untuk menyerahkan bab dua. Di sana saya bertemu teman-teman yang sedang menekuri pekerjaannya masing-masing, membaca, berselancar di internet, ngobrol dan saya sendiri melakukan koreksi terhadap bab dua. Ternyata, bahasa Indonesia banyak yang tidak sama dengan bahasa Malaysia. Memang, saya merasa aneh membaca susunan bahasa Jiran ini karena terbiasa dengan bahasa sendiri. Tapi, itu tidak terlalu menghalangi untuk menemukan maksud yang ingin diungkap.
Siang yang redup karena mendung dan hujan rintik membuat saya merasa tentram. Selain udara segar dan pepohonan hijau lembut, saya melihat bumi tidak garang karena panas. Apalagi suara burung bernyanyi di pucuk pohon melengkapi suasana hari ini menjadi nyaman.
Saya berencana untuk mengembalikan novel lama Cinta di Kampus Biru oleh Ashadi Siregar (Gramedia, 1974). Tampak dari catatan belakang novel ini tidak sering dipinjam, karena sejak tahun 77, ia telah dipinjam pertama kali. Luar biasa. Meskipun kertasnya buram dan mutu cetakannya tidak bagus, ia tidak mengurangi keasyikan membaca sampai selesai. Ringan dan tak perlu mengerutkan dahi. Terbayang, bahwa novel yang difilmkan ini , bahkan dibuat versi sinetron, menawarkan warna lain tentang pengungkapan realitas. Tokoh Anton memang ideal, tapi setelah pemerannya Roy Marten dihukum karena sabu, membuat gambar makin rumit.
Lalu, CNN mengajak saya ke belahan dunia Amerika yang acapkali menjadi pusat perhatian. Pekerja Imigran memprotes rencana perubahan undang-undang tentang imigrasi. Ya, di mana-mana ada ketegangan antara masyarkat dan negara, seperti juga kasus buruh dan Undang-Undang Pekerja di negara saya.
Untuk jeda, hari ini saya ingin berburu novel lagi untuk temani malam yang kadang tak nyenyak.
Setelah sampai di kampus, saya mengirim sms pada pembimbing untuk menyerahkan bab dua. Di sana saya bertemu teman-teman yang sedang menekuri pekerjaannya masing-masing, membaca, berselancar di internet, ngobrol dan saya sendiri melakukan koreksi terhadap bab dua. Ternyata, bahasa Indonesia banyak yang tidak sama dengan bahasa Malaysia. Memang, saya merasa aneh membaca susunan bahasa Jiran ini karena terbiasa dengan bahasa sendiri. Tapi, itu tidak terlalu menghalangi untuk menemukan maksud yang ingin diungkap.
Siang yang redup karena mendung dan hujan rintik membuat saya merasa tentram. Selain udara segar dan pepohonan hijau lembut, saya melihat bumi tidak garang karena panas. Apalagi suara burung bernyanyi di pucuk pohon melengkapi suasana hari ini menjadi nyaman.
Saya berencana untuk mengembalikan novel lama Cinta di Kampus Biru oleh Ashadi Siregar (Gramedia, 1974). Tampak dari catatan belakang novel ini tidak sering dipinjam, karena sejak tahun 77, ia telah dipinjam pertama kali. Luar biasa. Meskipun kertasnya buram dan mutu cetakannya tidak bagus, ia tidak mengurangi keasyikan membaca sampai selesai. Ringan dan tak perlu mengerutkan dahi. Terbayang, bahwa novel yang difilmkan ini , bahkan dibuat versi sinetron, menawarkan warna lain tentang pengungkapan realitas. Tokoh Anton memang ideal, tapi setelah pemerannya Roy Marten dihukum karena sabu, membuat gambar makin rumit.
Lalu, CNN mengajak saya ke belahan dunia Amerika yang acapkali menjadi pusat perhatian. Pekerja Imigran memprotes rencana perubahan undang-undang tentang imigrasi. Ya, di mana-mana ada ketegangan antara masyarkat dan negara, seperti juga kasus buruh dan Undang-Undang Pekerja di negara saya.
Untuk jeda, hari ini saya ingin berburu novel lagi untuk temani malam yang kadang tak nyenyak.
Wednesday, May 03, 2006
A Brief History of Globalization
Dunia Kecil Kita
Judul Buku : A Brief History of Globalization: The Untold Story of Our incredible Shrinking Planet
Penulis : Alex MacGillivray
Penerbit : Carroll & Graf Publishers New York
Cetakan : 2006
Tebal : xiv + 338 halaman
Buku ini dimulai dari sebuah kutipan dari François-Maire Arouet ‘the Multitude of books is making us ignorant’. Sebuah awal yang provokatif untuk memulai diskursus tentang globalisasi. Benarkah dengan banyaknya buku yang membahas satu persoalan justeru mempurukkan kita pada ketidaktahuan? Ini karena Alex MacGillivray mengumpulkan data yang mencengangkan, yaitu ada 3.300 buku dalam bahasa Inggeris yang menguak tema globalisasi. Tidak itu saja, keberpihakan yang terbelah dalam menyikapi arus globalisasi pada dua kubu: pro dan kontra menambah rumit persoalan. Sebenarnya hal ini adalah sebuah respons yang alamiah terhadap isu tertentu. Lalu, mungkinkan mengambil posisi netral?
Dari pelbagai pendekatan, penulis membagi empat genre, pertama buku akademik oleh para sosiolog dan ilmuwan politik. Biasanya mereka mendaku bahwa fenomena ini adalah tidak baru, sangat menarik dan kompleks. Di sini, beberapa orang melihat adanya benturan Peradaban antara Kapitalisme Barat dan Islam. Kedua munculnya gelombang buku populer tahun 90-an oleh para pegiat dan wartawan yang melihat fenomena ini sebagai baru dan berdampak negatif dengan perusahaan antar-bangsa sebagai pemicunya? Mereka merapatkan diri sebagai kelompok anti-globalisasi. Ketiga adalah kelompok yang melihat globalisasi, sebagaimana ditegaskan Niall Gerguson, membuat barang lebih murah, orang lebih bebas, ekonomi lebih kuat dan kebudayaan lebih kaya. Dan terakhir adalah melimpahnya sejarah individu dengan judul seperti X: Y yang merubah dunia.
Sang penulis hanya ingin menambahkan sebuah buku yang bisa diakses pembaca umum untuk mencari tahu asal-muasal globalisasi dan kemungkinan ia akan muncul selanjutnya. Untuk membedakan dengan karya lain, sang penulis membatasi pada beberapa pertanyaan, dalam hal apakah sejarah globalisasi berbeda dengan sejarah dunia, apakah globalisasi adalah benar-benar cara baru untuk melihat dunia, atau ia tidak lebih daripada kata baru untuk imperialisme, kolonalisme dan kapitalisme? Siapa yang berada di balik globalisasi, apakah ini benar-benar sebuah fenomena Amerika? Sejauh mana kemajuan globalisasi? Akankah ia mencapai sebuah titik puncak (tipping point), kapan dunia akan mengalami globalisasi sepenuhnya? Jika demikian, kapan? Apakah globalisasi sesuatu yang baik atau buruk? Lalu siapakah yang menjadi pemenang atau pecundang?
Ragam Definisi
Biasanya pembahasan sebuah konsep dimulai dari definisi dan lagi-lagi ini menambah kebingunan karena satu sama lain menyatakan sisi berbeda dari kata yang sama. Bahkan secara tersirat, penulis sengaja mengutip sebuah pernyataan dalam majalah Spectator (5 Oktober 1962) globalization is indeed a staggering concept (sesungguhnya globalisasi adalah sebuah konsep yang membingungkan).
Bill Clinton mendefinisikan globalisasi dengan dunia tanpa tembok, Tony Blair mengatakan sebagai tak terelakkan dan sangat menarik, George Bush menyatakan ikatan perdagangan dan kepercayaan sementara George Monbiot mengungkap bahwa ia memungkinkan perusahaan untuk mengacungkan senjata pada pemerintah.
Sebagian lain justeru membuat imajinasi visual dan anekdot untuk memudahkan memahami istilah ini, yaitu seperti seorang laki-laki berdiri di tembok ratapan sambil memegang telepon gengam sehingga temannya bisa menunjukkan rasa simpati, atau video menayangkan Osama bin Laden menenteng senjata Kalainiskov dan pergelangan tangannya dililit jam Timex. Bukankah sebenarnya peristiwa semacam ini gampang ditemukan di dalam keseharian kita sendiri? Bahkan pada para pendemo pemboikotan produk asing mereka menggunakan celana dan sepatu produk luar, dan tak jarang adalah produk yang dikritiknya?
Pendeknya, ada dua tipe dasar definisi, yaitu tipe ekonomi ketat dan sosial yang longgar. Bagi, Paul Krugman, globalisasi adalah frase tempat segala macam barang untuk perkembangan dunia perdagangan, perkembangan hubungan antara pasar uang di negara yang berbeda dan banyak cara lain di mana dunia menjadi tempat yang lebih kecil. Secara lebih khusus, Joseph Stiglitz lebih memfokuskan pada penghilangan penghalang perdagangan bebas dan penyatuan lebih dekat ekonomi antar-negara.
Namun demikian, kata penulis, adalah perlu untuk mengetahui definisi yang lebih ketat tidak hanya berkaitan dengan ruang lingkup tetapi juga motif. Dengan kata lain, kita tidak hanya ingin mengenal kapan dan di mana, tetapi juga siapa dan mengapa? Sebab memang ragam definisi mempunyai implikasi pada konsep dan praktik dari globalisasi itu sendiri. Seperti ditegaskan di atas, untuk tidak terjebak pada definisi diperlukan sarana lain seperti imajinasi visual atua anekdot seperti di atas.
Banyak penentang dan juga pendukung globalisasi mengutamakan sebuah definisi yang ketat. Misalnya, Forum Internasional untuk Globalisasi, salah satu kelompok utama yang mengajukan alternatif dari globalisasi, mendefinisikannya sebagai dorongan dunia luas saat ini menuju sebuah sistem ekonomi yang terglobalkan yang didominasi oleh perusahan dan lembaga perbankan antara bangsa tidak bertanggung jawab bagi proses demokratis atau pemerintahan nasional. Sangat jelas, globalisasi dibatasi hanya pada persoalan ekonomi.
Sementara yang lain menolak fokus ekonomi karena terlalu sempit. Manfred Steger dari Universitas Illinois mengulas setengah lusin definisi yang lebih luas oleh para akademisi. Dia menyimpulkan bahwa globalisasi adalah sebuah proses sosial multidimensi yang menciptakan, melipatgandakan, membentangkan, dan menguatkan ketergantungan sosial dan pertukaran di seluruh dunia sementara pada waktu yang sama turut mengembangkan di dalam masyarakat sebuah kesadaran akan hubungan yang dalam antara lokal dan yang jauh di seberang (hlm. 5).
Kata global itu sendiri sebenarnya telah digunakan oleh kalangan akademisi Amerika pada tahun 1960-an. Meskipun pada kenyataannya, kata ini sebagai kata sifat bisa ditemukan di dalam Harper’s Magazine tahun 1892. Majalah ini menggambarkan seorang Monsieur de Vogüe, seorang Perancis yang gandrung berkelana. Dia pergi ke Timur dan Barat untuk mendapat ragam warna dan ide, minatnya adalah seluas semesta dan ambisinya, sebagaimana diucapkan sendiri, adalah menjadi ‘global’.
Sebenarnya kehendak-global adalah proses mental ingin melintasi dunia yang telah dimulai oleh Pythagoras pada abad ke-lima sebelum Masehi dan mencapai titik puncaknya dalam perjalanan Columbus dan Vasco da Gama pada abad kelima dan keenambelas. Namun, sumbangan pada arus global ini turut diramaikan oleh liyan yaitu, Yunani, Mongol, Islam, Cina, Belanda dan Irlandia (hlm. 11). Tampak, penulis memosisikan dirinya sebagai subjek dan di luar dirinya adalah liyan, sehingga egonya lebih mengemuka.
Beberapa Sesat Pikir
Menggunakan globalisasi sebagai loncatan untuk kapitalisme Amerika adalah menyesatkan. Seorang pemerintah militer Nigeria yang brutal di bawah almarhum Sani Abacha menggantung sembilan pegiat Ogoni, termasuk dramawan Ken Saro-Wiwa. Ini menimbulkan protes luas terhadap tuduhan Perusahan Minyak Inggeris-Belanda Shell. Pada waktu itu juga, Greenpeace (Pegiat Lingkungan) mempermalukan perusahan ini terhadap rencananya untuk
Selain itu, pembatasan globalisasi pada persoalan ekonomi juga tidak tepat. Ia juga meliputi kebudayaan global sebagai ketegangan dinamis antara identitas lokal dan ambisi global, apakah di dalam agama, seni, film, musik atau sepak bola.
Demikian juga, penyebaran agama-agama besar dunia, Kristen, Hindu, Islam, Budha dan Yahudi, seperti ditulis oleh penulis buku ini, tidak bisa dilepaskan dari peran penyebaran arus orang dan modal. Masing-masing telah menggunakan polanya sendiri dalam menyebarkan agamanya.
Akhirnya, fenomena yang paling dahsyat adalah kekuatan film, musik dan olahraga (penulis di sini menyebut sepak bola) sebagai katalisator yang mendekatkan seluruh emosi orang di dunia terhadap kebudayaan. Batas-batas antar-negara menjadi luruh dengan fanatisme terhadap penyanyi, selebritas film atau olahraga.
Namun demikian, pertukaran kebudayaan global mempunyai dua kecenderungan yang berlawanan. Di satu sisi, ia bisa menciptakan keseragaman dan di sisi lain ia meningkatkan kreativitas kanibalistik dan menyelamatkan peninggalan kebudayaan yang rentan musnah, Misalnya, bagaimana kolaborasi Mickey Hart, mantan penggebuk drum Gratefudl Dead dan Alain Jabbour, Direktur Amerikan Folklife Center mengeluarkan album dari musik pelbagai pulau di Indonesia.
Migrasi global pertama dimulai jutaan tahun yang lalu ketika sekelompok kecil manusia modern mulai menyebar dari padang rumput yang padat di Afrika Timur. Awalnya mereka bergerak sangat lambat – hanya beberapa kilometer dalam setahun. Salah satu motivasinya adalah pencarian buruan baru dan perkawinan dengan suku lain. Mereka menggunakan kaki dan perahu.
Jahe adalah komoditas migrasi pertama yang diperkenalkan oleh Spanyol pada Meksiko dan Jamaica pada abad keenambelas (hlm. 103) selanjutnya pala, karet, cengkeh menjadi rebutan para imperialis untuk diperdagangkan. Bahkan, tak jarang di antara mereka terlibat perang untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah ini.
Pemuja dan Penentang Globalisasi
Perlawanan lokalitas terhadap global dengan sendirinya muncul karena beragamnya praktik politik, budaya dan agama. Salah satu contoh, bagaimana keuangan global tidak akan menjadi tunggal sebab Islam dan Katolik menolak bunga (hlm. 191). Tentu saja, ini hal menarik untuk lahirnya pelbagai praktik transaksi. Bahkan bersatunya negara-negara Eropa telah memungkinkan penyatuan alat tukar yang makin menggerus dominasi dollar di benua Eropa. Tidak itu saja, Iran dan Malaysia mengusulkan dinar sebagai alat transaksi perdangangan internasional, sehingga dimungkinkan makin mengurangi kejayaan dollar di negara-negara Islam.
Dalam kurun waktu dekade ini, para pemrotes globalisasi berkumpul bersama untuk menolak sidang tahunan organisasi global seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Forum ekonomi Dunia dan G 7. Acapkali protes mereka berakhir dengan kerusuhan, seperti yang terjadi di Settle, Washington, Davos dan tempat lain. Yang mengenaskan, di Genoa, tempat kelahirkan Columbus, seorang demonstran muda mati ditembak polisi (Lihat juga hlm. 131).
Dari kekayaan informasi, buku ini tidak akan membuat kita makin bloon atau bingung tentang globalisasi, justeru makin membuat kita banyak tahu dan memberikan keleluasaan memilih. Jika, kita hanya dihadapkan pada posisi biner dalam menyikapi mondialisasi, kata lain yang digunakan untuk fenomena yang sama, justeru kita mengingkari kenyataan bahwa penegasan atau bahkan penafian sama-sama mengandung resiko menolak kenyataan. Kenyataan bahwa yang menempel pada diri kita, agama, pakaian, teknologi adalah akumulasi dari perjalanan panjang dan pertemuan kreativitas antara pelbagai bangsa di dunia.
*) Ahmad Sahidah
Pernah Mengajar Islam dan Globalisasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Mahasiswa Ph D Ilmu Humaniora USM Malaysia
Judul Buku : A Brief History of Globalization: The Untold Story of Our incredible Shrinking Planet
Penulis : Alex MacGillivray
Penerbit : Carroll & Graf Publishers New York
Cetakan : 2006
Tebal : xiv + 338 halaman
Buku ini dimulai dari sebuah kutipan dari François-Maire Arouet ‘the Multitude of books is making us ignorant’. Sebuah awal yang provokatif untuk memulai diskursus tentang globalisasi. Benarkah dengan banyaknya buku yang membahas satu persoalan justeru mempurukkan kita pada ketidaktahuan? Ini karena Alex MacGillivray mengumpulkan data yang mencengangkan, yaitu ada 3.300 buku dalam bahasa Inggeris yang menguak tema globalisasi. Tidak itu saja, keberpihakan yang terbelah dalam menyikapi arus globalisasi pada dua kubu: pro dan kontra menambah rumit persoalan. Sebenarnya hal ini adalah sebuah respons yang alamiah terhadap isu tertentu. Lalu, mungkinkan mengambil posisi netral?
Dari pelbagai pendekatan, penulis membagi empat genre, pertama buku akademik oleh para sosiolog dan ilmuwan politik. Biasanya mereka mendaku bahwa fenomena ini adalah tidak baru, sangat menarik dan kompleks. Di sini, beberapa orang melihat adanya benturan Peradaban antara Kapitalisme Barat dan Islam. Kedua munculnya gelombang buku populer tahun 90-an oleh para pegiat dan wartawan yang melihat fenomena ini sebagai baru dan berdampak negatif dengan perusahaan antar-bangsa sebagai pemicunya? Mereka merapatkan diri sebagai kelompok anti-globalisasi. Ketiga adalah kelompok yang melihat globalisasi, sebagaimana ditegaskan Niall Gerguson, membuat barang lebih murah, orang lebih bebas, ekonomi lebih kuat dan kebudayaan lebih kaya. Dan terakhir adalah melimpahnya sejarah individu dengan judul seperti X: Y yang merubah dunia.
Sang penulis hanya ingin menambahkan sebuah buku yang bisa diakses pembaca umum untuk mencari tahu asal-muasal globalisasi dan kemungkinan ia akan muncul selanjutnya. Untuk membedakan dengan karya lain, sang penulis membatasi pada beberapa pertanyaan, dalam hal apakah sejarah globalisasi berbeda dengan sejarah dunia, apakah globalisasi adalah benar-benar cara baru untuk melihat dunia, atau ia tidak lebih daripada kata baru untuk imperialisme, kolonalisme dan kapitalisme? Siapa yang berada di balik globalisasi, apakah ini benar-benar sebuah fenomena Amerika? Sejauh mana kemajuan globalisasi? Akankah ia mencapai sebuah titik puncak (tipping point), kapan dunia akan mengalami globalisasi sepenuhnya? Jika demikian, kapan? Apakah globalisasi sesuatu yang baik atau buruk? Lalu siapakah yang menjadi pemenang atau pecundang?
Ragam Definisi
Biasanya pembahasan sebuah konsep dimulai dari definisi dan lagi-lagi ini menambah kebingunan karena satu sama lain menyatakan sisi berbeda dari kata yang sama. Bahkan secara tersirat, penulis sengaja mengutip sebuah pernyataan dalam majalah Spectator (5 Oktober 1962) globalization is indeed a staggering concept (sesungguhnya globalisasi adalah sebuah konsep yang membingungkan).
Bill Clinton mendefinisikan globalisasi dengan dunia tanpa tembok, Tony Blair mengatakan sebagai tak terelakkan dan sangat menarik, George Bush menyatakan ikatan perdagangan dan kepercayaan sementara George Monbiot mengungkap bahwa ia memungkinkan perusahaan untuk mengacungkan senjata pada pemerintah.
Sebagian lain justeru membuat imajinasi visual dan anekdot untuk memudahkan memahami istilah ini, yaitu seperti seorang laki-laki berdiri di tembok ratapan sambil memegang telepon gengam sehingga temannya bisa menunjukkan rasa simpati, atau video menayangkan Osama bin Laden menenteng senjata Kalainiskov dan pergelangan tangannya dililit jam Timex. Bukankah sebenarnya peristiwa semacam ini gampang ditemukan di dalam keseharian kita sendiri? Bahkan pada para pendemo pemboikotan produk asing mereka menggunakan celana dan sepatu produk luar, dan tak jarang adalah produk yang dikritiknya?
Pendeknya, ada dua tipe dasar definisi, yaitu tipe ekonomi ketat dan sosial yang longgar. Bagi, Paul Krugman, globalisasi adalah frase tempat segala macam barang untuk perkembangan dunia perdagangan, perkembangan hubungan antara pasar uang di negara yang berbeda dan banyak cara lain di mana dunia menjadi tempat yang lebih kecil. Secara lebih khusus, Joseph Stiglitz lebih memfokuskan pada penghilangan penghalang perdagangan bebas dan penyatuan lebih dekat ekonomi antar-negara.
Namun demikian, kata penulis, adalah perlu untuk mengetahui definisi yang lebih ketat tidak hanya berkaitan dengan ruang lingkup tetapi juga motif. Dengan kata lain, kita tidak hanya ingin mengenal kapan dan di mana, tetapi juga siapa dan mengapa? Sebab memang ragam definisi mempunyai implikasi pada konsep dan praktik dari globalisasi itu sendiri. Seperti ditegaskan di atas, untuk tidak terjebak pada definisi diperlukan sarana lain seperti imajinasi visual atua anekdot seperti di atas.
Banyak penentang dan juga pendukung globalisasi mengutamakan sebuah definisi yang ketat. Misalnya, Forum Internasional untuk Globalisasi, salah satu kelompok utama yang mengajukan alternatif dari globalisasi, mendefinisikannya sebagai dorongan dunia luas saat ini menuju sebuah sistem ekonomi yang terglobalkan yang didominasi oleh perusahan dan lembaga perbankan antara bangsa tidak bertanggung jawab bagi proses demokratis atau pemerintahan nasional. Sangat jelas, globalisasi dibatasi hanya pada persoalan ekonomi.
Sementara yang lain menolak fokus ekonomi karena terlalu sempit. Manfred Steger dari Universitas Illinois mengulas setengah lusin definisi yang lebih luas oleh para akademisi. Dia menyimpulkan bahwa globalisasi adalah sebuah proses sosial multidimensi yang menciptakan, melipatgandakan, membentangkan, dan menguatkan ketergantungan sosial dan pertukaran di seluruh dunia sementara pada waktu yang sama turut mengembangkan di dalam masyarakat sebuah kesadaran akan hubungan yang dalam antara lokal dan yang jauh di seberang (hlm. 5).
Kata global itu sendiri sebenarnya telah digunakan oleh kalangan akademisi Amerika pada tahun 1960-an. Meskipun pada kenyataannya, kata ini sebagai kata sifat bisa ditemukan di dalam Harper’s Magazine tahun 1892. Majalah ini menggambarkan seorang Monsieur de Vogüe, seorang Perancis yang gandrung berkelana. Dia pergi ke Timur dan Barat untuk mendapat ragam warna dan ide, minatnya adalah seluas semesta dan ambisinya, sebagaimana diucapkan sendiri, adalah menjadi ‘global’.
Sebenarnya kehendak-global adalah proses mental ingin melintasi dunia yang telah dimulai oleh Pythagoras pada abad ke-lima sebelum Masehi dan mencapai titik puncaknya dalam perjalanan Columbus dan Vasco da Gama pada abad kelima dan keenambelas. Namun, sumbangan pada arus global ini turut diramaikan oleh liyan yaitu, Yunani, Mongol, Islam, Cina, Belanda dan Irlandia (hlm. 11). Tampak, penulis memosisikan dirinya sebagai subjek dan di luar dirinya adalah liyan, sehingga egonya lebih mengemuka.
Beberapa Sesat Pikir
Menggunakan globalisasi sebagai loncatan untuk kapitalisme Amerika adalah menyesatkan. Seorang pemerintah militer Nigeria yang brutal di bawah almarhum Sani Abacha menggantung sembilan pegiat Ogoni, termasuk dramawan Ken Saro-Wiwa. Ini menimbulkan protes luas terhadap tuduhan Perusahan Minyak Inggeris-Belanda Shell. Pada waktu itu juga, Greenpeace (Pegiat Lingkungan) mempermalukan perusahan ini terhadap rencananya untuk
Selain itu, pembatasan globalisasi pada persoalan ekonomi juga tidak tepat. Ia juga meliputi kebudayaan global sebagai ketegangan dinamis antara identitas lokal dan ambisi global, apakah di dalam agama, seni, film, musik atau sepak bola.
Demikian juga, penyebaran agama-agama besar dunia, Kristen, Hindu, Islam, Budha dan Yahudi, seperti ditulis oleh penulis buku ini, tidak bisa dilepaskan dari peran penyebaran arus orang dan modal. Masing-masing telah menggunakan polanya sendiri dalam menyebarkan agamanya.
Akhirnya, fenomena yang paling dahsyat adalah kekuatan film, musik dan olahraga (penulis di sini menyebut sepak bola) sebagai katalisator yang mendekatkan seluruh emosi orang di dunia terhadap kebudayaan. Batas-batas antar-negara menjadi luruh dengan fanatisme terhadap penyanyi, selebritas film atau olahraga.
Namun demikian, pertukaran kebudayaan global mempunyai dua kecenderungan yang berlawanan. Di satu sisi, ia bisa menciptakan keseragaman dan di sisi lain ia meningkatkan kreativitas kanibalistik dan menyelamatkan peninggalan kebudayaan yang rentan musnah, Misalnya, bagaimana kolaborasi Mickey Hart, mantan penggebuk drum Gratefudl Dead dan Alain Jabbour, Direktur Amerikan Folklife Center mengeluarkan album dari musik pelbagai pulau di Indonesia.
Migrasi global pertama dimulai jutaan tahun yang lalu ketika sekelompok kecil manusia modern mulai menyebar dari padang rumput yang padat di Afrika Timur. Awalnya mereka bergerak sangat lambat – hanya beberapa kilometer dalam setahun. Salah satu motivasinya adalah pencarian buruan baru dan perkawinan dengan suku lain. Mereka menggunakan kaki dan perahu.
Jahe adalah komoditas migrasi pertama yang diperkenalkan oleh Spanyol pada Meksiko dan Jamaica pada abad keenambelas (hlm. 103) selanjutnya pala, karet, cengkeh menjadi rebutan para imperialis untuk diperdagangkan. Bahkan, tak jarang di antara mereka terlibat perang untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah ini.
Pemuja dan Penentang Globalisasi
Perlawanan lokalitas terhadap global dengan sendirinya muncul karena beragamnya praktik politik, budaya dan agama. Salah satu contoh, bagaimana keuangan global tidak akan menjadi tunggal sebab Islam dan Katolik menolak bunga (hlm. 191). Tentu saja, ini hal menarik untuk lahirnya pelbagai praktik transaksi. Bahkan bersatunya negara-negara Eropa telah memungkinkan penyatuan alat tukar yang makin menggerus dominasi dollar di benua Eropa. Tidak itu saja, Iran dan Malaysia mengusulkan dinar sebagai alat transaksi perdangangan internasional, sehingga dimungkinkan makin mengurangi kejayaan dollar di negara-negara Islam.
Dalam kurun waktu dekade ini, para pemrotes globalisasi berkumpul bersama untuk menolak sidang tahunan organisasi global seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Forum ekonomi Dunia dan G 7. Acapkali protes mereka berakhir dengan kerusuhan, seperti yang terjadi di Settle, Washington, Davos dan tempat lain. Yang mengenaskan, di Genoa, tempat kelahirkan Columbus, seorang demonstran muda mati ditembak polisi (Lihat juga hlm. 131).
Dari kekayaan informasi, buku ini tidak akan membuat kita makin bloon atau bingung tentang globalisasi, justeru makin membuat kita banyak tahu dan memberikan keleluasaan memilih. Jika, kita hanya dihadapkan pada posisi biner dalam menyikapi mondialisasi, kata lain yang digunakan untuk fenomena yang sama, justeru kita mengingkari kenyataan bahwa penegasan atau bahkan penafian sama-sama mengandung resiko menolak kenyataan. Kenyataan bahwa yang menempel pada diri kita, agama, pakaian, teknologi adalah akumulasi dari perjalanan panjang dan pertemuan kreativitas antara pelbagai bangsa di dunia.
*) Ahmad Sahidah
Pernah Mengajar Islam dan Globalisasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Mahasiswa Ph D Ilmu Humaniora USM Malaysia
Subscribe to:
Posts (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...