Monday, September 29, 2008
Tetangga Menjelang Hari Raya
Malah, kemarin tetangga lantai bawah, mengantarkan puding ketika kami berbuka. Ya, keluarga Indonesia ini juga menyuguhkan wajah indah dalam menyemai silaturahmi. Ada damai menyeruak. Puding itu tidak habis sekali makan, malah saya menyimpannya di lemari es. Baru semalam, saya menghabiskan seakan-akan saya sedang menghitung kebaikan orang lain agar tidak cepat lenyap di ingatan.
Hidup di sebuah flat yang begitu sangat dekat karena tidak ada penyekat memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan salah paham. Meskipun hanya beberapa langkah, kami tidak bisa seenaknya memasuki area pribadi mereka. Pertemuan tidak di sengaja di depan pintu dan seulas senyum dan sapa lebih dari cukup untuk mewujudkan hubungan harmonis. Suara kami dan alat elektronik tidak dipasang keras agar tidak mengganggu ketenangan mereka. Lagi pula, kami tidak perlu volume yang memekakkan telinga untuk menikmati hiburan.
Saturday, September 27, 2008
Menyelaraskan Dunia Dakwah dan Politik
Opini
● 27/09/2008 09:03 WIB
[ penulis: Ahmad Sahidah | Topik: Agama]
Dalam hidup bernegara, Muslim terbelah pada dua kelompok, Islam politik dan etik. Keduanya hakikatnya sama-sama ingin mengungkapkan bahwa umat Islam perlu bertindak untuk melakukan perubahan. Yang pertama meyakini bahwa politik boleh dijadikan sarana untuk berdakwah sementara yang terakhir meragukannya karena dikhawatirkan distortif dan dijadikan kendaraan untuk raihan kekuasaan sesaat.
Tentu Kekhawatiran ini bisa dimaklumi karena dalam sejarahnya dakwah telah disalahgunakan oleh banyak pemerintahan zaman Islam dahulu untuk mengukuhkan kekuasaan. Dakwah di dalam sejarahnya telah digunakan untuk menyebarkan klaim tertentu dari pelbagai dinasti, seperti Abbasiyyah dan sekte-sekte Ismailiyyah. Tidak saja para dai dari dinasti berhasil merekrut banyak pengikut, baik bagi doktrin agama maupun afiliasi politik (Dale F Eickelman dan James Piscatori, 1996).
Namun, juga tak bisa disangkal bahwa banyak gerakan Islam yang menggunakan politik untuk menyampaikan dakwah sebagai perpanjangan dari tafsir terhadap nilai-nilai keagamaan yang diyakini. Keyakinan partai politik Islam yang mengandaikan bahwa politik boleh diinjeksikan dalam dakwah untuk menegakkan masyarakat Islami bukan fenomena baru. Malahan, partai politik berafiliasi Islam di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi), telah meraup suara signifikan untuk menjadi penguasa. Sebuah kemenangan struktual gerakan Islam yang memberi banyak ilham pada kelompok yang sama di seluruh dunia.
Politik adalah Alat Dakwah
Pesimisme bahwa politik mampu menyampaikan pesan dakwah bisa dipahami karena kekhawatiran sifat politik yang cenderung mengotakkan masyarakat dan pada masa yang sama mempunyai kepentingan jangka pendek, meraih kekuasaan. Tapi, flatfom dakwah, mengutip Didin Hafidhuddin, juru dakwah, yang menegaskan bahwa politik itu harus didasarkan pada kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan serta kebersamaan menjadi tantangan baru bagaimana menyelaraskan antara politik dan dakwah. Tugas berat ini sejatinya hanya bisa diemban oleh para nabi.
Jika memang demikian, tuntutan yang harus diajukan pada politisasi dakwah adalah konsistensi penggiatnya untuk berlaku sesuai dengan sifat-sifat yang dilekatkan pada kegiatan dakwah di atas. Tapi, sayangnya, kita tidak menemukan kerja nyata partai politik Islam yang betul-betul berusaha mewujudkan kemaslahatan umat jangka panjang. Tindak tanduk mereka menunjukkan prilaku serampangan, egois dan elitis. Mereka bergerak menjelang pemilu, itu pun hanya berkoar-koar di atas panggung.
Belum lagi, partai politik Islam hanya mengandalkan mobilisasi massa untuk menunjukkan emosi keagamaan artifisial. Selain itu, tidak jarang jargon-jargon diteriakkan untuk memancing keterlibatan khalayak dan tentu ini hanya akan meninabobokkan masyarakat kebanyakan sehingga tidak memahami hakikat dakwah dan politik. Meskipun cara semacam ini masih memancing banyak orang untuk turun ke jalan, tetapi ia tidak akan mengubah keadaan, hanya menambah hiruk pikuk dan hingar bingar kalau Islam itu mengurus tidak hanya akhirat, tetapi sekaligus dunia. Selebihnya, para penggiatnya tidak lagi menyambangi konstituennya setelah duduk di kursi parlemen.
Oleh karena itu, jika kita menemukan partai politik yang bekerja sepanjang masa untuk meningkatkan keterampilan, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat luas, maka dakwah yang dijadikan legitimasi keterlibatan sebagian umat Islam dalam dunia politik adalah absah. Dengan demikian, partai seperti ini tentu saja memerlukan kepiawaan dalam pelbagai bidang disiplin dan keahlian, sehingga kampanye yang dilakukan tidak hanya demonstrasi jalanan dan membual di atas podium, tetapi juga kerja-kerja dan pelayanan sosial secara berkelanjutan.
Bagaimanapun, dakwah yang disterilkan dari politik tidak dengan sendirinya sepi dari kepentingan sesaat pelakunya. Malah, tidak jarang, para penggiat dalam organisasi keagamaan secara tidak langsung menjadikan kedudukannya untuk melakukan tawar menawar dengan kekuatan politik untuk didorong menjadi pengumpul suara atau bahkan calon pemimpin. Jadi, ukurannya tidak lagi apakah dakwah itu harus dijauhkan dari politik, tetapi sejauh mana para pelakunya mempunyai komitmen yang kuat untuk menjaga amanah dengan berprilaku santun dan hidup sederhana. Konsistensi semacam ini tentu akan menepis keraguan banyak orang bahwa politik bisa menjadi alat untuk menyemai kebaikan masyarakat berdasarkan nilai-nilai keagamaan.
Sintesis Dakwah dan Politik
Seorang kawan karib saya yang berkhidmat sebagai kader menegaskan bahwa ia berpartai adalah jalan keluar dari kebuntuan kehendak menyatukan para politisi Islam dalam satu payung. Ia lahir untuk menggerakkan dakwah secara struktural dan kultural sekaligus. Oleh karena itu, di Malaysia misalnya, mereka tidak hanya memenangkan pertarungan pemilihan orang nomor satu di Persatuan Pelajar Malaysia , tetapi juga menyapa buruh migran melalui halaqah dan advokasi dalam bentuk konsultasi psikologi. Sebuah ikhtiar yang tidak dilakukan partai lain dan organisasi keagamaan yang lain.
Namun, kita harus berkaca pada kemenangan partai Islam lain di dunia yang berhasil menawan hati konstituen tidak hanya melulu melesakkan propaganda tentang ketidakterpisahan din (agama) dan daulah (politik), tetapi juga melalui pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan dan bantuan kebutuhan pokok bagi orang miskin. Dasar dari kewajiban ini adalah seruan Tuhan bahwa Muslim diwajibkan memenuhi kewajiban al-Qur’an untuk menciptakan keseimbangan (mizan) dan keadilan (‘adl, qist) dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Tentu, jika komitmen dakwah adalah seperti di atas, maka politik itu adalah sebagian dari pintu masuk untuk mewujudkan kemaslahatan umum, sehingga kerja dakwah tidak hanya berusaha untuk mengajak orang lain mendukung perebutan kekuasaan di tingkat lokal dan nasional. Partai politik bersangkutan harus mempunyai program secara ajeg dan berkelanjutan untuk mengelola lembaga pendidikan, klinik, kredit untuk pengusaha kecil, dan subsidi perumahan. Bagaimanapun, pemenuhan kesejahteraan sosial semacam ini akan menguatkan basis massa berbagai kelompok Islam dan sekaligus mendukung mobilisasi massa untuk kepentingan jangka pendeknya.
Saba Mahmood dalam bukunya Politics of Piety: The Islamic Revival and The Feminist Subject (2005) mengandaikan bahwa politik itu tidak serta merta merupakan sesuatu yang perlu ditanggalkan jika umat beragama ingin menampilkan kesalehan. Ia adalah bagian dari cara Muslim mengekspresikan keyakinannya di ruang publik, meskipun tidak harus melalui organisasi politik untuk merebut kekuasaan. Jadi, apapun instrumen yang digunakan untuk memenuhi perintah Tuhan agar setiap Muslim mengajak pada kebenaran tidak perlu dipersoalkan.
*) Penulis adalah Graduate Research Assistant dan Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia
Friday, September 26, 2008
Berjalan Kaki
Tiba-tiba, saya berbelok ke kiri, bukan ke kanan pintu kampus tempat parkir. Saya memilih berjalan ke kaki ke tempat ibadah, meneladani sang penyair di atas yang selalu berjalan kaki ke mana beliau melangkah. Tadi saya sempat menyelami keteduhan raut mukanya dan terbawa dalam perjalanan melintasi gedung, taman dan jalan setapak. Berjalan kaki seakan menjadi lebih nikmat. Saya menyusuri lantai, tanah dan mereguk udara dengan sepenuh hati.
Tak sengaja, saya melihat mendung hitam dan kabut putih di bukit seberang jalan kampus. Ini pertanda hujan. Ya, tiba-tiba hujan deras sekali menyerbu. Saya berlari kencang sebelum air itu rebah. Sayangnya, sebelum saya sampai ke gedung perpustakaan sebelah masjid, hujan deras itu menerpa tubuh. Dengan napas ngos-ngosan saya mampir ke perpustakaan untuk menenangkan diri dan membiarkan baju 'kering' dahulu sebelum masuk ke masjid.
Sastera Asing di Buminya Sendiri
Ahmad Sahidah*
Di sela menyelesaikan tesis PhD, saya seringkali mengikuti aktiviti sastera yang dianjurkan oleh pusat pengajian tempat saya belajar. Acara sastera yang terakhir saya ikuti di kampus Universiti Sains Malaysia adalah diskusi buku Jelebak Jelebu Corat Coret Anak Kampung karya Dr Rais Yatim dan kedua pelancaran 3 buku terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Debat Kesusasteraan Dunia, Sastera Melayu dan Amerika Latin dan Deklarasi Belantara. Malangnya, kedua-duanya tidak menarik minat pelajar datang untuk berkongsi dengan para pembentang bagaimana menyingkap tabir rahsia dunia kesusasteraan.
Kalaupun ada segelintir pelajar datang, itu kerana mereka harus hadir atas permintaan pensyarahnya dengan menuliskan nama dan nombor kad matrik di daftar hadir. Belum lagi, hampir tak ditemukan pelajar dari pusat pengajian lain, sehingga timbul imej bahawa sastera adalah milik pelajar sastera sahaja. Satu sesat fikir yang jamak dianuti oleh kebanyakan pelajar sekalipun.
Sejatinya, aktiviti kesusasteraan akan banyak mendatangkan peminat hadir sehingga dewan penuh sesak dan tak cukup kerusi seperti mana program hiburan yang menjemput pelakon atau penyanyi ke universiti. Jika sastera tak mendapatkan apresiasi dari kalangan terpelajar, bukankah ini adalah pertanda kematian bagi sastera? Ya, sastera telah menjadi barangan asing di buminya sendiri.
Mempopularkan Sastera
Dalam satu kesempatan, Prof Mohd Haji Salleh, sasterawan negara, menegaskan bahawa budaya popular, seperti novel popular, film dan lagu tidak lebih daripada karya berselera rendah, namun justeru banyak dinikmati oleh orang ramai. Lalu, bagaimana dengan karya-karya sasterawan termasyhur yang hanya dinikmati oleh sedikit peminat? Jika mereka menyatakan diri sebagai penulis karya berselera tinggi, tetapi karyanya tidak banyak disentuh pembaca, tidakkah mereka boleh dikatakan gagal menyampaikan pesanan kepada orang ramai?
Puisi Usman Awang dan A Samad Said yang dijadikan nyanyian mungkin akan mendekatkan sasterawan ke khalayak ramai, meskipun nama besarnya akan tenggelam oleh penyanyi atau personaliti yang membawakan puisinya dalam bentuk nyanyian. Televisyen dan akhbar lebih banyak menyoroti tingkah laku personaliti berbanding sasterawan, sehingga yang terakhir tidak dikenali secara lebih dekat. Sudah masanya media televisyen memberikan ruangan bagi pengenalan sastera lebih berkesan kepada penonton.
Sebenarnya, karya Rejab FI, yang diperkatakan dalam majelis sastera di atas, boleh mendekatkan sastera kepada khalayak, namun kerana ia tidak mendapatkan liputan luas, maka hanya penikmat ‘tulen’ sastera yang boleh mereguk nikmatnya kata-kata. Bagaimanapun, sastera itu adalah dunia kata yang boleh dinikmati sesiapa dan tak memerlukan kepakaran khusus. Sastera sebenarnya adalah kata yang akrab dalam kehidupan seharian, tetapi ia telah mengalami perubahan media dan daya pengungkapan yang lebih berkesan.
Padahal, kalau diperhatikan secara cermat, apa yang ditulis oleh Rejab dalam cerpennya adalah bayangan sesebuah kehidupan yang ditimba daripada rencah kehidupan masyarakat, diabadikan sebagai cemin budaya sesebuah kehidupan. Ya, sumber dari karyanya itu berasal daripada perbualan dan pengalamannya sendiri. Oleh itu, ia sebenarnya adalah kisah sebenar yang telah mengalami transformasi menjadi satu karangan kreatif.
Apatah lagi, dalam karyanya Rejab seringkali menggunakan pendekatan realisme, yang memungkinkan pembaca lebih senang memahami kerana biasanya sang penulis menyusun ayat sedekat mungkin dengan realiti, tanpa kehilangan gaya artistik sebab beliau juga memanfaatkan metafora, perbandingan dan simbolik untuk menarik perhatian pembaca.
Pendek kata, karya Rejab boleh difahami khalayak. Namun masalahnya bagaimana membawa karya ini ke masyarakat lebih luas, tidak hanya diperkatakan di kalangan para sarjana dan pelajar sastera. Saya fikir Ini memerlukan kerja yang membabitkan personaliti yang sudah dikenali untuk juga turut serta dalam perbincangan karya sastera. Sudah masanya, sastera menjadi bahagian kehidupan keseharian masyarakat.
Selain itu, kita berharap agar kita tidak lagi memperdulikan perdebatan tentang budaya berselera tinggi dan rendah agar boleh mengubah kajian sastera yang rumit menjadi karya yang boleh dibaca oleh sesiapapun. Genre apapun dalam sastera yang ditulis oleh pengarang harus dihargai sebagai ikhtiar untuk membiasakan masyarakat melihat realiti sebagaimana struktur dalam karya yang mengandaikan adanya plot, perwatakan, dialog, protagonis dan antogonis, sehingga awam tidak senang berprasangka. Mereka boleh memahami satu soalan secara syumul dan dengan demikian boleh berpandangan luas.
Walau bagaimanapun, sastera, seperti diutarakan oleh Suchismita Sen dalam “Speaking between the Chasm: Literature as a Bridge between Science and Religion” (Cross Currents, 2007) merupakan alat yang boleh menyampaikan pesanan keagamaan lebih menyentuh berbanding sains ataupun ajaran agama itu sendiri. Beliau mengetengahkan “It is here that I argue that creative literature, specifically, fictional literature (describing religious behavior) may play a crucial role by bridging the gap between the empirical method favored by scientists and the decriptive method of humanities.
Sen memberikan contoh catatan pengalaman mistik peribadi seorang suci St Theresa of Avila atau sajak-sajak William Blake, yang memberikan gambaran tentang kedalaman spiritual, tetapi susah diungkap dalam arena empirikal kerana pengalaman ini unik dan tidak boleh diungkap semula sebab bersifat asali. Di dalam tradisi Islam, mungkin kita boleh mendapati kedalaman ini pada sajak-sajak Shabistari, ahli sufi dan penyair dari Parsi, dalam Rahsia Kebun Mawar, yang berupaya menggambarkan pengalaman spiritual dengan metafora sebuah kebun mawar yang kita boleh mencapai rahsia Ilahi melalui pohon-pohon yang ada di dalamnya.
Dari keterangan di atas, tugas penggiat sastera sekarang adalah cuba mengajak orang ramai untuk tidak lagi melihat karya sastera sesuatu yang ada di atas menara gading, tetapi ada di bumi tempat kita berpijak dan mengalami kehidupan seharian. Sastera tidak lagi dipenjara di dalam ruang seminar dan pertunjukan di atas panggung sasaran. Hakikatnya, sastera boleh dan mesti hadir di mana-mana, di televisyen, radio, lebuh raya dan bahkan di pasar.
Penulis adalah Pelajar PhD Ilmu Kemanusiaan dan Pembantu Penyelidik Siswazah di Universiti Sains Malaysia
Thursday, September 25, 2008
Seri Sejarah Lisan USM ke-6
Encik Romli mengungkapkan idealisme mahasiswa pada masa 1970-an yang mempunyai kepedulian sosial yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat dan mereka sangat dekat satu sama lain tanpa disekat oleh perbedaan etnik dan agama. Saya melihat rona Encik Romli berbinar ketika mengungkapkan yang terakhir ini. Sebelumnya hal yang sama juga diungkapkan oleh kesaksian Dr Talhah Idris. Mungkin karena jumlah pegawai masih sedikit, Encik Romli, yang dipanggi tuan haji oleh Profesor Mohd Haji Salleh, orang nomor satu di kampus relatif dekat dengan bawahannya.
Sedangkan Encik Marimuthu menggambarkan suasana kritisisme mahasiswa terhadap kekuasaan, sebelum akhirnya diberangus melalui Undang-Undang Universitas dan Kolej, yang disebut Akta Universiti dan Kolej Universiti pada tahun 1975. Dia juga menyebut sosok aktivis Fatimah Syam yang dengan lantang menunjuk jari dan menyebut nama petinggi kampus tanpa embel-embel gelar. Mengutip kata-kata bekas ketua satuan pengaman ini, "How powerful students". Undang-undang inilah yang akhirnya memisahkan kedekatan satuan pengaman kampus (di sana disebut guard).
Saya menyimpan cerita mereka berdua dalam tulisan dan menikmati kelucuan dan kenakalan mahasiswa pada tahun awal pengembangan pendidikan tinggi negara Malaysia. Beberapa kali saya menahan tawa dan kadang tak kuasa tergelak terguncang karena ekspresi Encik Marimuthu yang polos. Catatan tentang peristiwa yanga berkaitan dengan keamaan kampus masih tersimpan rapi di tangan beliau, sehingga kita bisa mengetahui kapan terjadi.
Acara ini kemudian diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan kepada kedua pencerita. Lalu, peserta beranjak ke luar dari ruang pertemuan. Ternyata peserta juga diberi kesempatan untuk mendapatkan buku secara gratis di depan pintu keluar. Saya mengambil tiga buku, The Scientific Enterprise dan Freedoms and the Civil Society oleh K. J. Ratnam, dan The Decorated Boats of Kelantan oleh Paul J Coatalen dan Rights.
Wednesday, September 24, 2008
Menggugat Sejarah ‘Indonesia’ Versi Tentara
Judul: History in Uniform Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past
Pengarang: Katharine E McGregor
Penerbit: NUS Press Singapore
Cetakan: I, 2007
Teba: xxi+329
Ketika penulis buku ini memulai penelitian pada 1996, dia tidak menyadari betapa berpengaruh militer Indonesia dalam memproduksi dan membentuk ortodoksi sejarah Orde Baru. Selain itu, penulis juga menceritakan bagaimana proses yang harus dilalui untuk melakukan penelitian di Indonesia, karena ketika penelitian ini digagas, Indonesia masih di bawah kekuasaan militer Orde Baru. Perlu tujuh bulan untuk mendapatkan izin. Di halaman prakata, kita akan menemukan cerita betapa rumitnya birokrasi pada masa itu.
Sebenarnya penelitian tentang kiprah militer di Indonesia bukan hal baru. Namun karya ini memberikan perspektif baru tentang tafsir terhadap upaya manipulasi militer terhadap sejarah untuk kepentingannya dan yang mungkin agak mengejutkan adalah uraian penulis tentang seorang tokoh di balik propaganda ini, yaitu Nugroho Notosusanto.
Seperti telah diketahui bersama, militer Indonesia selalu mendaku sebagai unik. Ini disebabkan, pertama, rakyat Indonesia yang menciptakan militer di dalam perjuangan kemerdekaan 1949-1949 melawan Belanda dan kedua, selama perlawanan ini militer mengasumsikan sebagai lapisan kepemimpimpinan nasional setelah penangkapan pemimpin sipil pada tahun 1948. Atas dasar dua klaim ini, militer Indonesia dalam waktu lama memperoleh justifikasi untuk memainkan peranan dwifungsi dalam pertahanan dan politik. Pendek kata, legitimasi sejarah telah digunakan oleh militer Indonesia untuk mempertahankan hak-haknya dalam kekuasaan politik dan pengaruhnya di Indonesia.
Lalu bagaimana peranan diatas diwujudkan dan untuk apa ia dipertahankan? Untuk mengetahui hal ini penulis melakukan survei terhadap beberapa publikasi sejarah resmi (garis miring dari saya) dan tempat-tempat bersejarah seperti buku teks Sejarah Nasional, Museum Sejarah Monumen Nasional dan Museum Angkatan Bersenjata Satriamandala dan yang satu nama yang sering dia temukan yaitu Nugroho Notosusanto. Bahkan, nama yang disebut terakhir menempati posisi yang sangat penting dalam rekonstruksi sejarah masa lalu. Tokoh yang pernah menjadi menteri pendidikan ini adalah pengarang versi pertama dari kudeta 1965. Peranan sangat penting dalam pembuatan sejarah Orde Baru yang bahkan diperluas ke dalam proyek pembuatan film dan materi sejarah untuk pendidikan militer dan sipil.
Atas pertimbangan posisi sentral Nugroho Notosusanto, penulis mencoba untuk menceritakan bagaimana dan mengapa Nugroho bekerja untuk militer Indonesia di dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pusata Sejarah Angkatan Bersenjata. Menurut penulis, ia adalah propagandis utama Orde Baru. Atas dasar asumsi ini, beliau berusaha keras untuk menelisik riwayat hidupnya dari sahabat, rekan dan musuhnya, sehingga dimungkinkan perolehan data yang lengkap.
Untuk menjawab posisinya sebagai seorang sejarawan yang menguji motivasi dan kisah kehidupan sejarawan lain (baca Nugroho Notosusanto), penulis menegaskan bahwa ketertarikannya terletak pada usaha untuk menemukan bagaimana sebuah rezim menggunakan sejarah sebagai legitimasi dan bagaimana ia dimanipulasi untuk menyesuaikan dengan kepentingan dari beberapa kelompok yang berbeda.
Lebih jauh, buku ini juga memasukkan analisis terhadap proyek sejarah yang ditujukan pada sipil dan militer, dengan penekanan pada museum dan monumen yang diciptakan oleh militer. Setelah disurvei, ditemukan bahwa museum diorama (model gambar), menarik perhatian imajinasi penulis. Baginya diorama ini adalah teatrikal masa lalu. Bahkan, boleh dikatakan ini adalah ‘karya’ nyata untuk memahami bagaimana militer merepresentasikan masa lalu.
Pemilihan model sejarah visual ini sengaja dipilih oleh Nugroho Notosusanto karena sebagaimana dia ungkapkan bahwa di dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia yang masih berkembang, di mana kebiasaan membaca masih rendah, kami [kepemimpinan militer] memerpecayai visualisasi sejarah tetap sebagai cara efektif untuk mengungkapkan identitas ABRI. (hlm. 11). Keadaan sekarang tampaknya belum banyak berubah. Masyarakat kita masih lebih bisa menikmati ‘sajian’ visual, terutama televisi. Untungnya, media elektronik tidak lagi dikekang dalam menyampaikan berita dan laporan.
Merujuk kepada pendapat Barry Schwartz bahwa kajian terhadap representasi masa lalu tidak bisa dikonstruksi secara harfiah, ia dieksploitasi secara selektif, maka karya sarjana Australia ini berusaha untuk menampilkan seluruh ‘sejarah’ dan turunannya untuk memosisikan militer sebaga aktor yang, dalam bahasa Asvi Warman Adam, merekayasa peristiwa masa lalu dalam perspektif militerisme.
Lebih jauh dengan mengutip Graeme Turner, penulis menegaskan bahwa representasi di sini adalah sebuah mediasi diskursif yang terjadi antara peristiwa dan kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap konstruksi ideologi nasional. kegunaannya bukan pada sebagai sebuah refleksi atau refraksi masa lalu, tetapi sebagai sebuah konstruksi masa kini. Jadi, penggambaran peristiwa ‘G 30 S PKI’ telah dijadikan ‘alat’ untuk mengukuhkan legitimasi rezim.
Militer sepintas telah berhasil menciptakan citra tentang dirinya sebagai tentara rakyat yang berani berkorban, sebagai penjaga semangat kemerdekaan dan pelindung Pancasila. Namun, tegas penulis, semua ini adalah sebuah representasi yang hipokrit, karena dalam kenyataannya militer mempraktikkan kekerasan selama berkuasa. (hlm. 216). Tetapi, citra ini terus dibangun baik di kalangan militer maupun sipil. Sayangnya, meskipun mereka berhasil menumpas ‘pembangkang’ melalui kekuatan senjata, mereka gagal mengontrol pikiran rakyat Indonesia itu sendiri.
Hal lain yang mungkin memantik kritik adalah representasi sejarah yang bias gender. Penjelasan versi militer tentang perjuangan kemerdekaan cenderung menonjolkan versi maskulin. Hanya pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata yang mendapat tempat dalam sejarah mereka. Sementara sumbangan kaum perempuan dan non-kombatan terpinggirkan. Celakanya, justeru citra perempuan muncul dominan pada peran mereka dalam pemberontakan komunis.
Namun meskipun militer mempunyai kekuasaan yang hampir tak terbatas pada masa itu, tidak berarti sepi dari kritik dan bahkan penolakan dominasi mereka yang menindas. Edward Espinal mencatat bahwa di dalam protes Malari 1974, mahasiswa menuntut pengurangan peran politik militer di dalam pemerintahan dan penghapusan Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban). Penolakan makin menguat ketika pada tahun 1980, mahasiswa secara simbolik membakar sepatu khas militer di beberapa kampus. Malangnya, kekuatan mahasiswa yang belum meluas, sebagaimana tahun 1988, mudah ditumpas.
Akhirnya, salah satu pesan yang paling jelas dan diketahui umum adalah bahwa kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah bisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme. Meskipun, kata penulis, pada masa itu ada sebuah representasi yang mungkin bisa menjadi potensi konter terhadap sejarah resmi, yaitu karya-karya Pramodya Ananta Toer. Munculnya pluralisme penafsiran ini memberikan tantangan besar bagi Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, yang memandang dirinya sebagai penafsir resmi masa lalu Indonesia.
Sejatinya, karya ini menambah terang sejarah tentara yang telah berhasil ‘mengubah’ realitas menjadi cerita untuk mengukuhkan peran dan kekuasaannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak, ia menjadi catatan yang berharga bagi seluruh anggota TNI sekarang untuk tidak lagi mengulang kesalahannya memasuki wilayah yang bukan otoritasnya. Selain itu, penulisan sejarah Indonesia tidak lagi dikangkangi oleh kepentingan kekuasaan dan diserahkan kepada pakar sejarah dan disiplin lain yang berkaitan yang mempunyai komitmen untuk menjelaskan masa lalu secara lebih objektif, seimbang dan adil. Semoga.
Tuesday, September 23, 2008
Kartu Lebaran dari Pimred Jurnal
Setelah dibuka, kartu lebaran tersebut ternyata dikirim oleh Latif Yusoff, ketua redaksi Jurnal Pemikir. Saya senang menerimanya karena biasanya ucapan selamat hari Raya sekarang jarang disampaikan dengan surat pos, tetapi dengan pesan layanan singkat (sms) atau email. Ada gurat kebahagiaan membaca kalimat yang tertera di sebelah kanan: Dengan Ingatan Tulus Ikhlas, Maaf Zahir Batin. Lalu dibubuhi tulisan nama dan nomor telepon.
Saya sendiri pernah menelepon beliau untuk menanyakan kiriman artikel untuk jurnal yang diterbitkan oleh kelompok Utusan Karya ini. Selanjutnya, hubungan kami ditautkan melalui surat elektronik. Sekarang, silaturahmi ini bersemai berkat Ramadhan. Tebersit untuk menjumpai beliau di dunia nyata, agar percakapan kami tentang ihwal intelektual mempunyai wajah yang nyata.
Jakarta adalah Wajah Muram Kita
Bulan Juni yang lalu, saya mengunjungi Jakarta untuk mengurus single entry visa di Kedutaan Besar Malaysia dan sekaligus melawat Perpustakaan Nasional Jakarta di Jalan Salemba untuk mendapatkan sebuah naskah kuno yang telah berusia 8 abad, Bahr al-Lahut. Karya abad ke-12 ini telah menjadi penanda awal bagi kesarjanaan Nusantara dalam bahasa Indonesia.
Untuk kedua kalinya, saya mengurus visa di perwakilan negara tetangga ini dan saya mendapatkan pelayanan yang efisien dan profesional. Tidak ada kesulitan. Demikian pula, ketika saya untuk pertama kalinya mengunjungi perpustakaan di atas, kerani menyambut dengan ramah dan betul-betul memberikan pelayanan yang baik. Jelas, ini melegakan karena selama ini kesan sambil lalu pegawai pemerintah dalam melaksanakan tugas pelayanan masih sering ditemukan. Pendek kata, kita juga mempunyai abdi masyarakat yang baik.
Sebenarnya, saya mengagendakan untuk mengunjungi beberapa tempat lain, tetapi mengurungkan niat karena betapa tidak nyaman transportasi umum di ibu kota ini. Busway yang menjadi andalan saya untuk menjangkau pelosok Jakarta sudah tak nyaman. Saya harus menunggu hampir 1 jam sambil berdesakan di bibir koridor. Tak hanya itu, di dalam bus, saya harus berhimpitan dengan penumpang lain. Ya, stiker yang menempel di badan bus berbunyi jumlah maksimal penumpang 85 orang tidak lebih dari omong kosong.
Dibandingkan Kuala Lumpur
Kadang saya jengkel bercampur gemas ketika anggota DPR melakukan studi banding hingga ke Amerika Latin baru-baru ini. Saya tidak tahu apa yang mereka ingin pelajari di sana. Bagi saya, sebenarnya kita tak perlu jauh-jauh belajar mengurus banyak hal berkaitan dengan kebutuhan masyarakat di Republik ini. Padahal, mereka tak perlu terbang jauh ke negeri seberang, sementara negara tetangga telah berhasil mengatasi masalah negerinya. Mungkin, Kuala Lumpur adalah contoh yang paling dekat dan akrab dengan kita.
Kuala Lumpur sebenarnya adalah kota metropolitian yang relatif baru dibandingkan Jakarta sebagai kota besar. Betapa pun banyak gedung-gedung pencakar langit, kita masih disuguhkan dengan taman kota dan diperlihatkan banyak pepohonan berjejer di pinggir jalan. Demikian pula, angkutan umum lebih nyaman dan memadai dibandingkan Jakarta yang tak terurus. Belum lagi, matahari seperti dengan bebas membakar penghuninya karena jarangnya trotoar yang nyaman untuk dilalui.
Kalau kita membandingkan ruang tunggu angkutan umum di Jakarta dan Malaysia, kita betul-betul menemukan suasana yang berbeda. Saya dengan tenang menunggu angkutan umum dengan harga terjangkau tanpa harus khawatir tidak mendapatkan tempat dan berdiri berdesakan. Ruang tunggu juga tak panas, sementara di koridor yang sempit dan tak ada AC membuat penumpang tak nyaman. Meski angin berhembus, tapi terasa pengap karena satu pohon kelapa yang ada di depan transit Matraman tak cukup untuk menahan hawa panas.
Lebih dari itu, busway menggunakan karcis (manual), Light Rail Transit (LRT) KL memanfaatkan kartu gesek (mechanical) sehingga kesan yang dimunculkan tampak berbeda secara mencolok. Pada yang terakhir kita dianggap manusia yang dipercayai, sementara yang pertama diawasi. Ternyata teknologi bisa kadang memanusiakan kita. Pendek kata, Kuala Lumpur secara perlahan ingin membangun masyarakat tepercaya atau trust society sebagai prasyarat dari masyarakat madani.
Segera benahi Jakarta!
Adalah aneh, ibu kota yang menampung uang hampir 80% ini tidak bisa menyediakan fasilitas yang nyaman bagi masyarakat dan pengunjungnya. Ironinya, setiap hari kita disuguhi dialog, opini dan rekomendasi di media, seminar dan sarasehan bagaimana menciptakan Jakarta lebih baik, tetapi pada saat yang sama, kita menemukan ibu kota yang semrawut, centang perenang dan tak ramah bagi pejalan kaki.
Belum lagi, kanal Timur yang sedang dalam penyelesaian, saya lihat pengerjaannya tak dilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga mungkin tak akan selesai dalam waktu dekat. Ini jelas akan mengakibatkan ‘hantu’ banjir akan menenggelamkan sebagian kawasan. Sebuah ironi yang lain. Bencana ini tentu menghapus seketika kepongahan Jakarta sebagai pusat berkumpulnya orang-orang terpilih dari seluruh negeri.
Kegagalan Jakarta untuk mengubah dirinya seakan menempalak ‘wajah’ cantik kota metropolitan yang diterakan dalam latar iklan berbagai produk dan film. Ibu kota ini akhirnya dikapling untuk menjadi pusat orang yang mempunyai uang dengan dibangunnya kota baru di lokasi strategik dan pinggiran yang dilengkapi fasilitas publik lengkap. Sementara, di sebagian besar kawasan kita menyaksikan kekumuhan berserak di mana-mana. Inilah yang membuat saya enggan ‘menjual’ Jakarta pada teman-teman mahasiswa asing di Malaysia. Serta merta, saya bilang agar mereka datang ke Bali atau Yogyakarta saja, jangan Jakarta! Ternyata, hal yang sama juga dirasakan oleh Badrun dan Stenly, mahasiswa Indonesia di negeri jiran.
Boro-boro wisatawan menikmati pesona Jakarta, baru saja mereka menginjakkan kaki di pintu keluar bandara internasional, mereka akan melihat kesemrawutan. Dibandingkan dengan terminal udara di Pulau Pinang saja, apalagi Kuala Lumpur, Bandara Soekarno Hatta bukan tempat yang nyaman untuk memulai perjalanan dan pelesiran di ibu kota. Kadang saya bergumam, betapa naifnya pemerintah menghamburkan uang untuk mencanangkan Visit Indonesia 2008, sementara sarana pendukung tak mampu menyangganya.
Peter Marcuse (2002:102) menegaskan bahwa kota itu terdiri dari zona bisnis, kekuasaan, industri dan perumahan di dalam kawasannya masing-masing, untuk menghasilkan sebuah kesatuan dengan sejumlah dimensi, satu sama lain berkaitan dan sebangun, cabang-cabangnya saling bergantung. Dari uraian ini, Jakarta sebenarnya gagal untuk disebut sebagai kota. Hampir-hampir perumahan bukan merupakan bagian dari cetak biru besar itu. Betapa miris saya melihat banyak warga tinggal di perumahan yang buangan kamar mandi dibuang ke selokan kecil di depan rumah dan menuju sungai. Selain bau dan mengundang nyamuk, kenyamanan mereka menikmati waktu senggang terganggu.
Selama seminggu di Jakarta, saya merasa tidak nyaman menikmati wajah Jakarta. Jika kemudian saya meriang adalah wajar, dan ini tidak dialami ketika saya pernah tinggal di Kuala Lumpur dalam rentang waktu yang sama. Tapi, saya merasa lebih tidak nyaman mendengar para sarjana dan pemimpin elit di Jakarta bermanis-manis di layar kaca menggagas Indonesia yang permai, sementara di rumahya sendiri mereka tidak berdaya mengatasi masalahnya. Jadi, sudah saatnya mereka tak banyak bicara, segera benahi Jakarta!
Monday, September 22, 2008
Buka Bersama
Sebelumnya, kami, masyarakat Indonesia yang tinggal di Pulau Pinang, berbuka bersama di ruang terbuka kantor konsulat dengan kolak, kurma, kue dan es buah. Di tengah menikmati minum, mereka tampak berbinar sambil berbincang. Lalu, kami bersama-sama menunaikan shalat berjamaah Maghrib di aula. Setelah itu, kami makan ragam menu khas Indonesia yang mengundang selera, seperti lalapan, krupuk, dan rendang. Oh ya, kebetulan ada teman Melayu asal Kelantan yang juga merayakan kebersamaan. Katanya, dia ingin merasakan suasana Indonesia dalam menyambut Ramadhan. Anehnya, kami malah bertukar cerita tentang dunia politik negeri jiran yang lagi hangat mengenai isu peralihan kekuasaan.
Setelah makan besar, kami melaksanakan shalat jamaah Isya dan Tarawih bersama. Mohammad Nuhung menjadi imam shalat malam ini. Sementara Tarawih diimami oleh Ahmad Sahidah. Sesudah shalat witir, kami bersama-sama membacakan doa puasa, kemudian sambil membaca shalawat satu sama lain saling bersalaman. Suasana hangat terpancar dalam suasana seperti ini. Dalam perjalanan pulang, saya meminta kawan baik, Ahmad Farisi untuk memindah gelombang radio ke frekuensi 97.10 fm, radio Sinar, yang selalu menyiarkan lagu-lagu retro. Sepanjang jalan, saya, Farisi, Baim, Aini dan Aris saling bersahutan di tengah suara lagu dan bunyi mesin yang menderu.
Sunday, September 21, 2008
Membaca "Lakon" Tu(a)n Mahathir
Jumat, 19 September 2008 | 02:03 WIB
Oleh Ahmad Sahidah
Tun Mahathir Mohamad berniat masuk kembali ke pangkuan UMNO setelah mundur tiga bulan yang lalu. Meskipun demikian, pengesahan kembalinya mantan orang nomor satu ini menunggu persetujuan majelis tertinggi partai, Abdullah Badawi. Celakanya, mantan perdana menteri ini masih menganggap penggantinya sebagai biang kemerosotan partai dan harus diturunkan.
Seperti biasa, Pak Lah mungkin tidak akan bereaksi secara langsung. Pemimpin yang dijuluki ”Mr Clean dan Mr Nice Guy” ini lebih memilih diam dan tidak meladeni manuver mantan bosnya. Kalaupun ada respons, biasanya datang dari orang-orang dekatnya. Kita tunggu saja. Hanya sekali suami Jeanne Abdulah ini membalas kritik mantan bosnya itu. Malah, ketika ditanya wartawan dalam jumpa pers, sang perdana menteri (PM) tidak akan memberi keputusan seorang diri karena ini adalah hak majelis tertinggi UMNO (TV 3, 11/9/2008).
Harus diakui suara Mahathir di sana tidak lagi bisa dinikmati oleh khalayak Malaysia sendiri. Media tidak lagi memberikan tempat istimewa. Kalaupun dimuat oleh media mainstream (di sana disebut arus perdana), pernyataannya telah disunting sedemikian rupa. Apatah lagi televisi, yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan pemerintah, menutup pintu. Hanya pada acara nonpolitik Mahathir bisa nangkring di layar kaca.
Ironi ”Little Soekarno”
Pada tahun 2006, beliau diundang ke Kampus Universitas Sains Malaysia tempat saya belajar untuk memberikan ceramah umum di hadapan sivitas akademika. Dengan retorika yang memesonakan, perdana menteri ke-4 ini memukau para hadirin yang hadir karena kepiawaiannya menyampaikan gagasan tentang tugas mahasiswa terhadap negara. Hampir dua jam beliau berdiri untuk mengulas keberhasilannya sebagai mantan orang nomor satu di tanah Melayu tanpa jeda.
Sebagai pemimpin, Mahathir berwajah janus, sosok baik dan buruk. Kebaikannya tentu bisa dilihat dari keberhasilan pembangunan dan pewarisan cetak biru masa depan Malaysia, tetapi di atas kesuksesan ini banyak korban berjatuhan. Belum lagi pemberangusan kebebasan yang didukung oleh undang-undang sehingga membuat dia lebih leluasa untuk memuluskan keinginannya.
Secara pribadi, saya mengakui pesona Mahathir sebagai seorang yang pernah memimpin sebuah negara dan mengantarkannya pada kemakmuran dan bahkan menjadi penyelamat ketika krisis moneter mendera 1997. Meskipun demikian, beliau juga mempunyai ”sisi gelap” dalam menjalankan pemerintahannya, tetapi fakta ini tidak diketahui publik karena informasi disaring oleh kaki tangannya. Kim Quek dalam Ke Mana Malaysia? Tampil ke Reformasi Anwar atau Kekalkan Mahathirisme (2006) mencatat dengan baik sisi buruk pemimpin yang dijuluki ”Little Soekarno” ini.
Menyoal pertarungan elite
Jika Mahathir menganggap kerja Badawi hanya menghabiskan uang rakyat dan melabelkan pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, sebagai pemimpi di siang bolong, karena hasratnya menjadi PM, ini tak lebih dari taktik untuk menarik perhatian setelah kesempatan untuk tampil di media makin berkurang. Mahathir tampaknya tetap bernafsu untuk menjadi sosok yang diperhitungkan. Ada yang melihat tindak-tanduk beliau disengaja untuk mengawal perjalanan politik anaknya, Mukhris Mahathir.
Saya heran mengapa Mahathir berkata demikian karena justru pada masa kepemimpiannya beliau banyak menggunakan uang perusahaan minyak Petronas untuk membiayai proyek-proyek raksasa yang dijalankan oleh para kroninya, seperti menara kembar Petronas, Sirkuit F1 Sepang, dan Bandara KLIA (Kuala Lumpur International Airport). Begitu banyak uang dihamburkan untuk memenuhi selera jemawanya untuk membangun proyek mega dan dana ini banyak dikeruk dari Petronas tanpa dipertanggungjawabkan kepada parlemen dan kabinet.
Mungkin benar bahwa Anwar Ibrahim sebagai pemimpi, tetapi kehadirannya lebih menggigit karena di tangannya segepok bukti tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Mahathir. Lebih-lebih lagi, tokoh reformasi ini berani mengungkapkannya kepada khalayak, termasuk isu paling akhir video pengacara Lingam yang mempertontonkan bobroknya kepemimpinan mantan bosnya ini.
Sebenarnya, kritisisme Mahathir ini diduga untuk mengawal para kroninya agar tidak menghilang dari pusaran kekuasaan dalam mendapat kontrak proyek. Memang, Pak Lah masih berbaik hati untuk tidak menyingkirkan para kroni Mahathir dalam menikmati kue pembangunan. Apalagi, orang- orang dekat Mahathir masih banyak yang menduduki kedudukan penting, baik di parlemen maupun pemerintahan.
Bagaimanapun, kehadiran Tun Mahathir adalah sangat penting untuk menjadi anjing penjaga (watch dog) bagi UMNO sendiri. Sementara bagi oposisi (di sana disebut pembangkang), kritisisme ini bisa dimanfaatkan sebagai pembenaran bagi sikap kritis mereka terhadap segala perilaku pejabat elite dan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, keterbukaan semacam ini akan menjadi keseimbangan kehidupan politik baru ke depan setelah sebelumnya pihak berkuasa bertindak otoriter atas nama stabilitas dan keamanan. Selamat datang demokrasi sejati!
Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
Saturday, September 20, 2008
Menyoal Formalisasi Syari'ah
Seiring dengan era keterbukaan, kelompok formalis menyuarakan dengan nyaring bahwa syari’ah adalah satu-satunya pilihan. Tetapi, mereka tidak berada dalam satu payung dan mempunyai strategi yang berbeda untuk memperjuangkan hukum Tuhan di bumi. Strategi struktural biasanya diartikulasikan lebih lunak dan untuk sementara mengedepankan isu-isu netral, sementara cara kultural ditunjukkan dengan sosialiasi melalui demonstrasi, ceramah, dan tulisan dengan bahasa yang tak jarang garang.
Secara umum, pengusung substansialis lebih banyak dukungan karena bisa lebih luwes memosisikan dirinya di dalam masyarakat majemuk. Mereka bisa duduk bersama dengan kelompok lain tanpa dibebani perbedaan, yang menurut kelompok formalis tak bisa diterima. Namun, ironisnya, meskipun sama-sama sebagai bagian dari ummah, kedua kelompok ini sering gontok-gontokan, perang kata-kata dan penghujatan.
Menengok Syari’ah di negeri Jiran
Meskipun prosentase populasi Muslim di Malaysia tidak sebanyak Indonesia, namun pendakuan sebagai Negara Islam dan pelaksanaan hukum Islam relatif tidak menimbulkan gejolak. Ini dikarenakan hukum itu hanya diterapkan pada orang Islam, sedangkan non-Muslim berada di bawah hukum sipil. Selain itu, umat Islam di sana relatif homogen, dibandingkan Indonesia yang heterogen.
Keberadaan pelembagaan hukum itu hakikatnya ingin mewujudkan tujuan syari’ah (maqasid al-syari’ah), yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Contoh yang paling mendapat sorotan di negeri serumpun ini adalah hukum keluar dari Islam (murtad). Meskipun persoalan ini sempat mencuat, tetapi Abdullah Badawi sendiri telah menutup ‘pintu’ untuk membahas masalah ini dikaitkan dengan isu hak asasi karena akan menimbulkan gejolak.
Untuk mewujudkan konsep di atas, negeri serumpun ini melakukan dua strategi secara serentak, yaitu positif dan negatif. Yang pertama meliputi mengukuhkan sistem Islam dan ajarannya, pendidikan, keuangan, persediaan sarana untuk pembangunan sosial ekonomi dan memajukan kegiatan dakwah dan kampanye secara rapi. Kedua meliputi langkah pengawasan, pencegahan dan menutup serta membasmi praktik-praktik kemaksiatan.
Kedudukan Islam di negeri Jiran dilindungi secara hukum melalui lembaga pemerintahan dan mahkamah syari’ah yang tidak boleh diganggugugat oleh pengadilan sipil. Namun, praktik ini sebenarnya untuk ‘melindungi’ orang Melayu yang identik dengan ‘Muslim’. Meskipun ada yang melihat Keislaman lebih dilihat sebagai pengekalan ‘kekuasaan’, bukan pemerataan ‘kesejahteraan’. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan ekonomi negara yang lebih menguntungkan kelompok bisnis, dibandingkan pembagian kue nasional terhadap masyarakat kebanyakan. Sebagaimana, kaum terpeljar di sana mempertanyakan kembali ‘trickle down effect’ (menetes ke bawah) yang macet.
Mencari Konsensus Minimal
Sebenarnya, di antara dua pilihan ini salah satunya tidak boleh memaksakan kehendak karena ada aturan yang harus dipatuhi bersama, selain itu terdapat nilai-nilai etik yang tak tertulis dalam mengekspresikan pendapat. Bagaimanapun pemerintah telah mengadopsi hukum Islam dengan mengesahkan undang-undang Zakat, Haji, dan lain-lain. Kekhawatiran bahwa negeri khatulistiwa ini akan menjadi negara Islam, sebagaimana tesis Arslan Salim, bahwa kelompok Islam telah berhasil memasuki tingkatan ketiga dari lima hierarki yang harus dipenuhi untuk menjadi negara Islam adalah terlalu berlebihan.
Namun yang perlu mendapat perhatian adalah prilaku ‘tebang-pilih’ pada pemberantasan maksiat dan minuman keras yang dirasakan tidak adil karena sasarannya adalah ‘penjaja’ pinggir jalan dan warung kaki lima, sementara mereka yang beraksi di hotel berbintang luput dari tindakan. Hal ini hanya akan makin menjauhkan orang yang papa secara rohani dan duniawi makin terpuruk, karena pengawal agama justeru mengasarinya.
Lebih dari itu, hukum Islam tidak hanya berkaitan dengan prinsip-prinsip (Mabadi) tetapi juga keadilan (‘adalah), sebagai raison d'être. Jika kelompok liberal menyangkal formalisasi, ini bisa dipahami sebab persoalan moralitas yang didengungkan di dalam kitab suci lebih bersifat etik. Tapi, etika semata-mata akan mandul, jika tidak ada otoritas yang mempunyai wewenang untuk mewujudkan nilai etik dalam kehidupan konkret.
Kritik kelompok substansialis tidak hanya berkutat pada ‘kegagalan’ formalis dalam menciptakan masyarakat berkeadilan meskipun menegakkan aturan syari’ah secara formal. Sebab, mereka yang menabalkan diri sebagai anti formalisasi juga menggunakan ‘agama’ dalam bentuk lain, seperti memobilisasi massa dalam pengajian akbar, istighasah, dan melibatkan pemimpin keagamaan dalam memberikan legitimasi politik. Menurut saya, ini boleh dikategorikan sebagai fundamentalisme ‘lunak’.
Demikian juga kelompok formalis tidak terjebak pada ‘angan-angan’ bahwa simbol-simbol agama yang disahkan menjadi ‘undang-undang’ dengan sendirinya telah menyelesaikan masalah, sebab tak jarang di balik tegaknya simbol itu bercokol kekuasaan otoritarian baru, yaitu orang kaya dan elit agama, yang jauh dari masyarakat yang dibelanya.
Hanya saja, perbedaan dua kubu ini diharapkan tidak menumpulkan kekuatan masing-masing dalam mewujudkan cita-cita kenabian, yaitu kesejahteraan manusia secara lahir dan batin. Titik temu dan sinergi diperlukan dan sekaligus komitmen untuk tidak ‘mendramatisasi’ keadaan masing-masing untuk konsumsi publik yang lebih luas wajib dikedepankan. Bagaimanapun, ajaran agama bisa dilihat sebagai persoalan ilmiah akademik yang menuntut penalaran, sehingga perbedaan itu hal yang sangat biasa. Tetapi, upaya menggeser wilayah ini pada ranah ‘populer’ hanya akan menyeret ‘massa’ pada benturan.
MUI, NU dan Muhammadiyah diharapkan menjadi penyeimbang dua kekuatan yang bisa menjadi potensi ke depan pertarungan memasuki wilayah akar rumput. Contoh nyata adalah ketika kekuataan formalis, yang diwakili oleh FPI menggeruduk markas Islam Liberal, Ulil dan kawan-kawan juga melibatkan ‘massa’ untuk menghadang laju ‘kelompok’ yang ditengarai sebagai kawanan yang menggunakan kekerasan dalam membela Tuhan.
Sekarang, pembela syari’ah dan penentangnya tak perlu bersitegang tentang signifikasi penegakan hukum Islam. Jika yang pertama merasa bahwa ‘semangat’ syari’ah telah diakomodasi maukah mereka ‘menularkan’ gagasan ini bisa dipahami oleh masyarakat Muslim kebanyakan, dan pihak kedua ‘mewujudkan’ gagasan ideal dalam pilot project yang lebih indah? Kalau hanya sekedar ‘peraturan’ di atas kertas tanpa bukti konkret bahwa formalisasi syari’ah mendatangkan manfaat, ini sama saja dengan menggambar di atas air. Justeru energi yang meluap dan gairah yang membuncah untuk ‘menjalankan’ syari’ah bisa dilakukan di lingkungan masing-masing.
Diharapkan simpul-simpul pendukung syari’ah akan menciptakan riak dan akhirnya menjadi gelombang. Tanpa harus tergantung pada pemerintah atau negara mereka bisa berbuat sesuatu yang memang menjadi kebutuhan masyarakat agar terjaga kesucian kemanusiaannya, kebebasan intelektual dan hak miliknya, yang justeru menjadi tujuan pemberlakuan hukum Islam. Sebaliknya, para penentang pemberlakukan aturan syari’ah memikirkan kembali posisinya karena gagasan-gagasannya acapkali berseberangan dengan mayoritas Muslim yang justeru sebagai subjek perubahan akan makin memperkuat resistensi terhadap ide-ide liberal.
Jadi, saya melihat selama ini para pendukung dan penentang syari’ah sama-sama bersikukuh untuk terus menggelorakan keyakinan dan mewujudkannya dalam pelbagai retorika, kegiatan dan polemik. Kedua-duanya bisa terjebak pada pengutuban yang ekstrim yang hanya menumbuhkan sikap eksklusif. Bahkan, perlu ada upaya membuka ruang komunikasi, yang sebenarnya pernah dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Jaiz dalam sebuah pertemuan di UIN Jakarta.
Tapi, sayangnya, upaya ‘penjelasan’ (tabayun) yang diharapkan mencairkan kebekuan komunikasi selama ini tidak membantu untuk mencapai ‘kesepakatan’ minimal. Masing-masing kelompok memamerkan kepiawaiannya bermain kata untuk menundukkan yang lain. Tentu saja, para pendukungnya yang hadir pada waktu itu bertepuk tangan menyemangati para jagonya. Sebuah drama panggung yang sempurna. Sama sekali tidak ada ikhtiar untuk mengakhiri perdebatan semacam ini dan mencoba untuk mendekatkan gagasan yang mungkin bisa dimiliki bersama untuk mewudukan cita-cita syariat sejati, yaitu menegakkan martabat kemanusiaan.
Thursday, September 18, 2008
Tamu Istimewa
Sambil menunggu isteri berkemas, saya menyambut tamu istimewa tersebut di ruang tamu. Dengan riang, mereka menjawab pertanyaan yang saya ajukan berkenaan degnan keadaan isteri yang sering sakit kepala menjelang tengah malam. Ibu yang paling tertua menjawab bahwa itu hal biasa dan memasuki bulan keempat akan hilang dengan sendirinya. Saya pun lega.
Setelah petugas mengecek tekanan darah dan mencatatnya di buku merah, mereka pun pamit. Sambil mengantar mereka ke pintu, kami masih sempat ngobrol. Adakah pelayanan semacam ini dinikmati oleh ibu-ibu hamil di Indonesia dari rumah sakit kecamatan? Saya rasa tidak. Malaysia betul-betul telah memikirkan generasinya dengan menggerakkan petugas kesehatan mereka memeriksa keadaan ibu hamil hingga ke rumah.
Wednesday, September 17, 2008
Menagih Janji Politikus Islam
- Oleh Ahmad Sahidah
Hal itu memantik rasa penasaran saya, apakah memang Islam politik itu benar-benar ada atau bayang-bayang dari sebuah kehendak ”tersembunyi” yang lain? Memang, ia selalu muncul dalam sejarah pergerakan Islam, namun kemudian apakah memang kita memerlukan koalisi, dan untuk apa?
Bagaimanapun peristiwa semacam itu dengan sendirinya menimbulkan persoalan relevansi agama dan politik. Kaitan keduanya telah mengharu-biru kehidupan umat Islam zaman modern, zaman saat hubungan antara keduanya kadang ditegaskan dan dinafikan.
Buku Ekspresi Politik Muslim oleh Dale F Eickelman dan James Piscatori adalah salah satu karya yang baik untuk memahami masalah tersebut secara teoretik dan praktik. Tentu, ada juga kelompok keagamaan lain yang apatis terhadap politik, seperti jamaah tabligh.
Fazlur Rahman, sarjana kajian Islam terkemuka, yakin bahwa injeksi politik ke dalam lingkungan agama telah bersifat merusak. Guru Besar Universitas Chicago itu menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam harus mengatur politik, tetapi apa yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi dan konsep Islam oleh kelompok dan elite politik.
Hasilnya adalah politik 'hasutan omong kosong', bukannya politik yang terpisahkan dipergunakan untuk menipu orang-orang kebanyakan agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, Islam justru harus melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai politik (1982: 140).
Parpol Islam
Di antara parpol Islam, hanya PKS yang relatif bergerak untuk melayani masyarakat tanpa menunggu pemilu, dan biasanya kegiatan sosial mereka bersumber pada pembiayaan swadaya anggotanya. PKB, PPP, dan PBB, menunggu pemilu untuk menawan hati masyarakat. Meskipun orang melihat penggiat partai dakwah itu mencuri start, tetapi justru saya melihatnya mereka mengandaikan sebuah perubahan masyarakat tidak hanya dari sisi politik, tetapi juga secara kultural.Para kader dan anggotanya tampak santun dan aktif menggalang kekuatan melalui kegiatan sosial dan keagamaan.
Tentu mereka berkaca kepada pengalaman partai Islam di negara lain yang berhasil menarik simpati masyarakat dengan memberikan pelayanan dalam bidang sosial dan kesehatan, yang tidak sepenuhnya bisa disediakan oleh pemerintah yang berkuasa.
Selama saya belajar di Malaysia, boleh dikatakan hanya para aktivis PKS yang peduli untuk memakmurkan pengajian, yang anehnya kebanyakan pegiatnya barasal dari fakultas umum, bukan agama. Mereka juga mendekati para pekerja Indonesia untuk memupuk kesadaran beragama melalui halaqah. Tidak itu saja, para kadernya juga menyediakan layanan kepada warga Indonesia bekaitan dengan konsultasi psikologi, kesehatan, dan lain-lain yang koordinatornya bisa dihubungi melalui telepon.
Teladan Politikus
Saya tidak mempunyai catatan politikus kiai dan ustad yang benar-benar menampilkan sosok pemimpin ideal muslim, yang hidup sederhana dan peduli, seperti Umar bin Khattab, khalifah ke-2, yang rela memanggul sekantong gandum untuk diberikan kepada si miskin.
Sejauh ini saya belum menemukan politikus dari partai ”Islam” di Indonesia yang membawakan diri seperti seorang politikus gaek dari Kelantan Malaysia, Nik Abdul Aziz Nik Mat, yang menjadi menteri besar (setingkat gubernur) dan masih berumah papan bukan tembok, meskipun berhak untuk tinggal di rumah dinas yang mahal dan mewah.
Namun demikian, saya tidak sepenuhnya sependapat dengan ide tokoh gaek tersebut tentang relasi agama dan politik; tetapi dalam kesehariannya beliau berperilaku sejalan dengan apa yang diyakini bahwa pemimpin itu harus menjadi teladan.
Oleh karena itu, saya menaruh takzim. Lalu, mungkinkah kiai dan ustad yang aktif di politik akan menjadi panutan ketika hidupnya ”mewah” serta menambah jarak dan jurang dengan masyarakat yang dibelanya?
Ada seorang kiai mantan anggota DPR yang membangun rumah berlantai dua dan mewah di sebuah kampung. Lalu, masihkan kita berharap teladan dari seorang kiai tersebut? Sementara itu masih banyak tetangganya yang hidup dalam keadaan daif?
Apakah tidak dengan sendirinya ”legitimasi” agama dalam politik itu hanya pemanis untuk meraih prestise dan kekuasaan? Tidakkah ia makin menegaskan apa yang dikhawatirkan oleh Fazlur Rahman tersebut?
Namun demikian, saya masih berkeyakinan bahwa agama adalah sumber nilai dalam politik, ketika kita menemukan satunya kata dan perbuatan dari pelakunya. Jika tidak, masyarakatlah yang bisa menilai siapakah sosok pemimpin yang akan dipilih untuk menjadi panutannya.
Hal itu telah dilakukan oleh masyarakat Kelantan Malaysia yang tetap setia memilih Nik Aziz Nik Mat, politikus sepuh, karena masih istiqamah menjaga kesederhanaan ketika Ketua Penasihat Partai Islam se-Malaysia (PAS) itu sadar bahwa masyarakat yang memberikan amanah sebagian besar masih hidup miskin. Adakah hal semacam itu juga dipegang teguh oleh penggiat politik Islam di Indonesia?(68)
— Ahmad Sahidah, kandidat doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia.
Tuesday, September 16, 2008
Islam Liberal Jilid Dua, Mungkinkah?
Ibn Khaldun dipuji setinggi langit. Dia dianggap sosok yang tepat yang bisa menjelaskan realitas dari kalangan sarjana Muslim. Demikian pula Sayyid Quthb. Tapi, sayangnya Quthb dikritik karena terbelah antara memilih Islam lunak atau estetik dan Islam formal atau ideologis. Kalau diperhatikan, dengan mengikuti kategori aku estetik dan aku-ideologis, Islam Liberal masih berada pada yang pertama dan memang dalam kenyataannya ia berada pada gerakan individu, bukan massa. Sebenarnya Islam Liberal bisa menjadi massa karena latar penggiatnya yang kebanyakan lulusan pesantren dan IAIN/UIN yang akrab dengan pengalaman organisasi komunal.
Sayangnya, banyak pesantren yang emoh berada di bawah telunjuk gagasan liberal. Bahkan, Pesantren Annuqayah Madura, tempat saya belajar, boleh dikatakan masih alergi dengan ide-ide liberal. Bahkan kyai mudanya yang pernah saya jumpai menyayangkan langkah-langkah Ulil dan kawan-kawan dalam mengutamakan gagasan yang tidak mendesak untuk disampaikan pada masyarakat umum.
Tafsir lain tentang Quthb
Inilah tokoh yang acapkali disalahpahami oleh banyak orang, bahkan oleh pengagumnya di sini sekalipun. Tulisan Roxanne L Euben, Enemy in the Mirror. Islamic Fundamentalism and The Limits Of Modern Relationalism, membantu kita untuk memberi napas baru bagi pembacaan yang lebih berimbang tentang Quthb. Pembacaan Euben terhadap karya Quthb mengantarkan dia pada keyakinan bahwa sosok yang mati di tiang gantungan ini menyangkal teori kedaulatan politik modern yang bertumpu pada sekulerisme dan imperialisme. Dalam bahasa yang lebih abstrak keduanya merupakan buah dari modernisme dan Pencerahan (Aufklarung).
Tesis Quthb adalah jika akal dijadikan sumber kebenaran, pengetahuan dan otoritas, maka ini berakibat pada penyangkalan terhadap dasar transenden yang menyebabkan bencana kemanusiaan, yang menggerus komunitas, otoritas dan secara khusus moralitas. Jelas, kritik ini ditujukan pada kegagalan Barat dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadaban.
Ketergesaan meringkus gagasan Quthb ke dalam pemikiran patologis dan mereduksinya sebagai bentuk frustasi, tambah Euben, menghilangkan kesempatan untuk memahami praktik politik fondasionalis. Padahal, beberapa teoretikus politik Barat mempunyai pandangan yang sama dengan Quthb tentang visi modernitas yang mengalami krisis dan pembusukan, meskipun berbeda bagaimana menyembuhkan penyakit ini.
Tentu kesamaan ini bisa dipahami karena gagasan Quthb juga banyak mempertimbangkan ide para filsuf Barat, seperti Plato, Aristoteles, Descartes, Bertrand Russell, Comte, Marx, Hegel, Fichte dan Nietzsche. Dari sini, kita boleh menyimpulkan bahwa mata pedang kritik bisa diarahkan ke mana saja ketika ada satu ‘kuasa’ yang mengebiri kemajuan, peradaban dan keadilan sejati. Ia tidak dihunjamkan kepada liyan (the other) karena alasan primordialisme.
Bahkan, kebebasan yang menjadi penyangga bagi peradaban Islam, dalam pandangan Quthb, mengandaikan kebebasan yang dirumuskan oleh Isaiah Berlin dalam Four Essays on Liberty (1969), pada kategori positif dan negatif. Yang pertama, bebas dari ketundukan pada kekuasaan tirani dan sekaligus kebebasan untuk tunduk pada Tuhan, dengan menanggalkan dominasi nafsu. Kebebasan di sini sekaligus menegaskan kesetaraan, yang ini hanya mungkin diwujudkan di bawah kedaulatan Tuhan.
Selain itu, yang perlu dicermati adalah bahwa Quthb tidak menjelaskan bentuk kedaulatan konkrit. Tokoh utama Ikhwanul Muslimin ini hanya menyatakan bahwa masalah yang muncul ke permukaan harus diselesaikan melalui musyawarah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur’an (lihat Ali ‘Imran: 159). Dengan kata lain, bentuk ‘negara’ dibiarkan terbuka untuk ditafsirkan. Malahan tugas utama negara yang perlu mendapatkan perhatian yaitu terciptanya keadilan sosial. Komunitas yang ada di dalamnya bertanggungjawab untuk melindungi anggota masyarakatnya yang lemah. Sebuah pandangan progresif yang acapkali terlupakan bahkan oleh para pengikutnya di sini.
Memang, Quthb mengkritik keras konspirasi Zionis dan Kristen, yang dianggap sebagai bentuk xenophobia oleh Euben, tetapi beliau menegaskan bahwa masyarakat Islam yang berkeadilan dicirikan oleh keragaman, sebuah kondisi inklusif yang dibangun atas dasar pluralitas sejarah, kebudayaan dan identitas. Semua unsur ini disatukan di bawah hubungan yang setara di hadapan sang Khaliq. Secara tersirat, pernyataan ini menerima keragaman internal umat Islam, yang tentu saja menolak upaya penyeragaman yang belakangan ini ingin dipaksakan sebagian kelompok terhadap masyarakat yang lain.
Islam Otentik
Robert D Lee dalam Overcoming Traidition and Modernity: The Search for Modernity (1997) menyetarakan Sayyid Quthb dengan Mohammed Arkoun yang sama-sama mencari otentisitas Islam di tengah ketidakseimbangan modernitas Barat yang diterapkan di Timur. Bagaimanapun, ‘fundamentalisme’ Sayyid Quthb adalah respons terhadap modernitas dan kritik intelektual terhadap liberalisme. Secara tegas keduanya memperjuangkan al-ashalah (otentisitas).
Tetapi, mengapa banyak sarjana moderat mengafirmasi Arkoun dan menegasikan Quthb? Bisa dikatakan ini terjadi karena otentisitas yang diperjuangkan yang pertama melibatkan elit dan yang kedua melibatkan massa. Tak terelakkan, massa mudah mengundang kerumunan yang gampang dikendalikan, tentu saja tanpa bermaksud meremehkan mereka. Sementara elit lebih asyik bergumul dengan wacana di ruang-ruang seminar dan diskursus ilmiah di media dan buku.
Biasanya massa menyuarakan pendapatnya dalam suasana kumpulan dan kalimat-kalimat pendek dan bombaptis. Tidak dapat dielakkan, kondisinya menjadi sangat emosional dan ofensif. Ini bisa dipahami karena wakilnya cenderung ingin menggelorakan dan mengaduk-aduk psikologi khalayak. Sementara, para sarjana bergulat dengan pemikiran yang memerlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam kalimat yang panjang, seimbang dan analitikal. Meskipun, tak jarang yang terakhir ini jika berada di depan massa dan berdiri di podium juga lepas kendali.
Namun, penggerak massa di sini perlu diajak turut serta dalam dialog agar tidak mudah memantik kontroversi dan berujung kontraproduktif, yang justeru menghalangi tujuan kebajikan, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama. Saya sendiri merasakan mereka yang mendaku moderat dan ‘murni’ jarang mau membicarakan persoalan umat secara bersahaja dan dalam suasana kebersamaan. Keduanya sama-sama mempunyai ‘panggung’ sendiri dan celakanya, satu sama lain saling menjegal di medianya masing-masing. Mungkin, upaya Metro TV dalam Dialog Today yang melibatkan kedua kelompok ketika membahas al-Qiyadah al-Islamiyyah, bisa ditradisikan dalam skala lebih luas.
Dari dua sarjana Barat di atas, kita mendapatkan pembacaan yang seimbang tentang tokoh pemikiran keagamaan yang terlanjur disingkirkan dalam diskursus keagamaan Islam moderat dan liberal. Namun demikian, kaum sayap ‘kanan’ tidak perlu berapi-api menyudutkan kelompok moderat, seakan-akan monster yang akan menggerogoti umat tanpa mau mendengar apa yang diinginkan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang dikehendaki Nabi.
Dengan mengacu pada dua model pemikiran otentik yang peduli terhadap segelintir elit atau khalayak massa, kita bisa memahami kedudukan masing-masing dalam menjalankan peran kekhalifahannya di bumi. Walau bagaimanapun, pada praktiknya, agama tidak serumit teori yang diperselisihkan para sarjananya. Lalu, kita harus memilih yang mana? Tentu kita harus mendorong mereka membuka diri terhadap kemungkinan bekerja sama, sehingga tidak terjebak pada dikotomi ‘kanan’ atau ‘kiri’.
Terlepas dari semua itu, saya menemukan kecenderungan liberalisme Islam pada apa yang disebut Ulil aku-estetik, yang cenderung mengasyiki dunia kata dan mengabaikan massa, sehingga akan menjauhkan dari umat yang harus dibelanya. Di sini, aku-estetik tak mampu mendorong khalayak untuk berbuat mengubah nasibnya. Tentu, aku-ideologis tidak serta merta dipandang melawan yang pertama, karena bagi saya ia adalah kaki dari pandangan aku-estetik. Tanpa tindakan, pemikiran tak lebih dari igauan. Lalu, mungkinkah Islam Liberal akan merumuskan kembali perjuangannya dalam mewujudkan perubahan? Kita tunggu saja.
Monday, September 15, 2008
Klinik Bukit Jambul
Dengan motor, kami pun membelah jalanan. Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya kami menemukan tempat yang terletak di bawah bangunan flat blok D Bukit Jambul. Dengan tangkas, petugas pendaftaran melayani isteri. Setelah dicatat, isteri diminta untuk cek darah di laboratorium (di Malaysia disebut makmal) di blok sebelah. Namun, sebelumnya, kami harus membayar RM 15 sebagai besaran bayaran untuk orang asing, sementara orang lokal hanya membayar RM 1. Saya sempat membaca tulisan yang ditempel di tembok yang menyatakan bahwa pelayanan tidak kurang dari 10 menit. Terus terang, kami merasakan nyaman dengan perhatian para pekerja di klinik ini. Mereka tampak menikmati pekerjaannya dan ramah.
Setelah selesai, kami pun berjalan menuju parkir dan sempat berhenti sejenak di bangku taman flat. Isteri merasa lemas karena baru saja diambil darahnya. Untung, kami membawa roti dan air untuk menyangga perut. Di bawah pepohonan, kami bercengkerama sambil menunggu isteri menghabiskan roti beraroma pisang. Betapa siang itu mendatangkan kedamaian karena angin segar menerpa wajah kami.
Friday, September 12, 2008
Agama yang Menentramkan
Membaca kutipan pertama tulisan Leonard Weinberg dan Amy Pendahzur dalam Religious Fundamentalism and Political Extremism (Lodnon: Frank Cass, 2004) yang berbunyi: Men never do evil so completely and cheerfully as when they do it from religious conviction -Pascal, membuat saya terperanjat. Sebuah pembukaan yang menghentak dari sebuah karya yang mengurai beberapa tema utama, seperti fundamentalisme agama, radikalisme, agama dan politik, aspek-aspek kekerasan agama dan aspek terorisme agama.
Banyak kelompok agama mempunyai visi politik dalam pengertian mimpi mesianik dan apokaliptik tentang negara/dunia. Banyak orang beriman memegang teguh mimpi ini, dan khayalan kegemilangan dan dominasi masa depan berperan sebagai kompensasi dari ketertekanan masa kini. Untuk mewujudkan mimpi ini, mereka membuat rencana aksi politik. ideologi keagamaan menjadi penting di dalam politik ketika ia ditransformasikan dari sebuah sistem kepercayaan agama ke dalam ideologi politik menjadi sebuah gerakan politik dan ketika gerakan ini memeroleh kekuatan atau dukungan massa (hlm. 41).
Nah, sifat massal dari gerakan ini kadang tidak dapat dikendalikan sehingga berisiko lahirnya kekerasan. Betapapun elit mereka berjuang secara konstitusional, namun pengesahan agama sebagai kendaraan politik rentan disalahgunakan dan sifat eksklusif agama turut menyemai kebencian, baik verbal ataupun tidak. Oleh karena itu, agama yang menyenjukkan, menurut saya, harus mempertimbangkan keterlibatan mereka dalam kegiatan praktis politik, atau pun jika mereka mempunyai keyakinan demikian, ideologinya harus terbuka dan tidak menjual propaganda.
Wednesday, September 10, 2008
Kuras-Kuras Kreatif
Ternyata, kegigihan penerima anugerah S.E.A Write Award ini memantik rasa penasaran saya karena putera kelahiran Kedah ini memanggul beban yang amat berat jika tidak bisa menakwilkan peristiwa menjadi sebuah tulisan. Lalu, dengan serta merta, dia pergi dari rumah meninggalkan isteri untuk satu atau dua hari tinggal di hotel menyelesaikan kehendak mengubah kenyataan menjadi fiksi. Malah, dia blusukan tempat pelacuran karena terpengaruh Chairil Anwar bahwa seorang sastrawan mesti bohemian dan menabrak kelaziman. Secara tersirat juga, ada banyak perempuan dalam proses kreatif kepengarangannya sehingga mereka seperti pendorong kuat untuk terus menulis.
Di dalam buku ini juga, penulis novel Senja Belum Berakhir membela diri bahwa karyanya ini bukan jiplakan dari karangan Toha Muchtar, sastrawan Indonesia, berjudul Pulang. Diakui bahwa novel ini memang telah dibaca dan memberikan ilham dalam mengarang novel di atas. Selain itu, dengan penuh takzim, bekas guru sekolah agama ini mengakui bahwa Shahnon Ahmad, sastrawan terkemuka Malaysia, telah menjadi guru yang baik dalam bidang penulisan. Tambahan lagi, dia juga banyak membaca karya-karya Pramodya Ananta Toer.
Tuesday, September 09, 2008
Membaca Karya Orang Lain
Mungkin membaca buku adalah hal biasa, tetapi membaca karya berjudul Political Islam, World Politics and Europe, menimbulkan kekaguman yang berbeda. Ia ditulis oleh Bassam Tibi, ahli Hubungan Internasional Jerman, dengan tangan, karena seperti diucapkan sendiri dalam pengantar as an old scholar of a different age of writing, I acknowledge that I am fully computer illiterate. Buku berjumlah 311 halaman ini tentu memerlukan ketekunan karena dikerjakan dengan tangan, yang kemudian diketik ulang oleh sekretarisnya, Elizabeth Luft.
Selain itu, buku ini dimulai ditulis ketika sarjana kelahirkan Damaskus, Syiria, ini mengajar di Universitas Islam Negeri Jakarta. Namun kemudian, ia diselesaikan dalam perjalanannya mengajar di pelbagai negara dunia, seperti Eropa, Amerika dan Singapura.
Berbicara politik Islam, penulis prolifik ini menegaskan bahwa Islam bisa mengakomodasi demokrasi berdasarkan reformasi keagamaan yang memerlukan tidak sekedar sebuah penafsiran ulang terhadap kitab suci. Islamisme, sebaliknya, tidak bisa mencapai tugas ini. Islam di sini dimaksudkan sebagai iman dan etik, yang dia yakini dan Islamisme adalah ideologi totalitarian politik yang ditunjukan sebuah gerakan yang didasarkan pada agama transnasional. Dan yang terakhir inilah yang menjadi tema (subject matter) dari buku ini.
Sebagai seorang Muslim, penulis buku ini meyakini pemahaman reformasi Islam sejalan dengan demokrasi hak asasi manusia, oleh karena itu buku berusaha untuk mencari jalan keluar (exit strategy) di dalam sebuah cara resolusi konflik damai.
Dengan demikian ada dua tantangan bagi masyarakat peradaban Islam, pertama usaha untuk mewujudkan ummah dalam menyusun ulang tatanan dunia, baik dengan jihad global atau Islamisme institusional. Kedua, tantangan Muslim terhadap keperluan untuk memahami demokrasi dan pluralismenya di dunia internasional dalam hubungannya dengan masyarakat yang berbeda. Bagaimanapun, tegas Tibi, demokrasi sekuler boleh dianut oleh Muslim dan diakomodasi dalam peradaban Islam. Tetapi, di dalam konteks kembali pada yang Suci (the return of the sacred), Islam tidak hanya ditegakkan sebagai sebuah agama tetapi juga sebagai sebuah sistem kehidupan di dalam sebuah bentuk politik, dan inilah batu sandungan.
Monday, September 08, 2008
Sesederhana Makan Sayur Oseng
Jika urusan perut sesederhana ini, apalagi yang dicari dalam hidup? Saya tidak memerlukan wisata kuliner untuk memanjakan lidah, sebab pemenuhan kebutuhan gizi dengan pola makan seperti ini sudah genap. Apalagi, saya menambahkan dengan bubur kacang ijo dan buah semangka sebagi penutup. Dengan demikian, mungkin asupan batin yang masih belum disempurnakan sehingga ada gelisah yang selalul menyeruak?
Puasa kali ini tentu seperti dulu, keberhasilan menahan makan dan minum, yang bisa diukur dengan pasti. Lalu, bagaimana dengan kemenangan mengatasi nafsu? Rasa malas dan sifat buruk lain mungkin penghalang yang paling besar dalam mewujudkan ketenangan batin. Jika, saya telah mengenal rintangan menuju ketentraman, makan sudah waktunya diri ini melatih untuk tidak bosan menebar kehangatan terhadap hidup.
Bagi saya, tinggal di sebuah flat dengan ragam latar belakang budaya membuat kami terasa 'asing', namun hanya senyum dan sapa hangat yang akan meluruhkan. Kehendak untuk berbuat kebaikan tidak menuntut banyak dari kita, hanya keikhlasan untuk tidak memanjakan prasangka. Lalu, masing-masing sibuk dengan hidupnya sendiri.
Sunday, September 07, 2008
Buka Bersama
Syukur hujan tak deras, hanya rinai kecil. Kami pun memutuskan untuk menghadir undangan ini. Ups, ternyata di depan rumah Halim telah banyak undangan lain yang siap-siap berbuka. Kami pun bergabung dan tak lama kemudian azan terdengar. Bubur kacang menjadi pembuka buka puasa dan diselingi dengan kurma. Tanpa menunggu lagi, kami pun bersantap makan nasi dengan gule kambing dan sayur. Mereka yang hadir terdiri dari Melayu, Arab, Afrika dan tentu mahasiswa Thailand.
Meskipun hidangan di atas menerbitkan selera, saya tentu membatasi diri karena perut ini tidak mampu menampung begitu banyak makanan. Pesta Pasti Berakhir, judul dari lagu Rhoma Irama, adakah kata yang pas untuk menandai berakhirnya acara ini. Kesenangan mengasup makanan tentu melahirkan kesenangan (pleasure), yang menjadi kata kunci dalam meraup kebahagiaan. Makna dari kebersamaan inilah yang mungkin melengkapi arti kebahagiaan yang sesungguhnya, karena kita tidak dibekap kesepian.
Friday, September 05, 2008
Hujan itu bukan Halangan
Setelah meminjam empat buku untuk bahan bacaan akhir minggu, saya keluar dan duduk sejenak menanti hujan reda di bangku panjang depan perpustakaan. Namun, saya urung untuk berlama-lama menanti hujan reda dengan membaca, karena hari ini saya harus mengantarkan surat pelantikan sebagai asisten peneliti ke RCMO rektorat kampus. Dengan berlari kecil, saya menembus hujan. Sesampai di ruangan komputer, saya mengambil payung untuk pergi ke rektorat. Meskipun tidak besar, penahan hujan ini mampu menghalangi tetesan itu membasahi kepala.
Untuk keempat kalinya, saya menemui pegawai bagian penelitian kampus. Herannya, saya masih bingung dengan jalan masuk ke rektorat. Ya, kecerdasan ruang saya memang jeblok. Atau, desain ruangan rektorat yang tidak ramah pada bentuk sehingga membuat saya selalu tak nyaman menelusuri lorong. Di lantai 6, saya menemui Pn Safa untuk menyerahkan surat dan ada item yang belum diisi. Untung, beliau degnan ramah memberitahu kekurangan ini. Saya pun segera melengkapi agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Wednesday, September 03, 2008
Bazar Ramadhan
Berjalan di sepanjang jalan yang kanan kirinya dipenuhi warung makanan membuat sore itu meriah. Belum lagi jalanan sesak karena begitu banyak orang yang ingin membeli makanan atau minuman. Asap arang dan bau ikan dan ayam dipanggang menerbitkan selera. Ketika Pak Stenly membeli air es tebu, penjual kue sempat menyapa isterinya, dari Jawa ya? Serta merta Mbak Troy menukas ya, Jawa Barat. Tiba-tiba di antara kami terasa dekat dan ngobrol meski tak lama.
Saya membeli ikan bakar dan ayam bakar untuk buka puasa. Tidak lupa, saya membeli es cendol untuk melengkapi iftar. Isteri saya membeli buah semangka untuk menghilangkan jeleh. Kami pun beranjak dari pasar itu, meski sempat terhenti di ujung jalan karena berjumpa dengan teman-teman mahasiswa yang juga ingin membeli makanan.
Tuesday, September 02, 2008
Hari Kedua Ramadhan
Hari pertama telah dilalui tanpa hambatan berarti. Menahan lapar karena berpuasa bukan perjuangan yang menyusahkan, karena saya terbiasa sejak kecil, tepatnya sewaktu masih bersekolah di tingkat dasar. Lingkungan kampung dulu telah membentuk kebiasaan ini. Tak ada yang luar biasa. Semua berjalan mengikuti kehendak sosial. Di luar kewajiban ini, saya menemukan ketentraman dengan suasana sekitar. Sore adalah waktu menghabiskan waktu di depan pasar menunggu bedug ditabuh di menara masjid.
Kadang dalam keadaan lapar, saya masih berlarian di sawah untuk merebut layangan putus. Sebuah permainan yang menggairahkan waktu itu. Hanya keriangan yang hadir, bukan kelelahan. Keringat tak menghalangi untuk terus berjibaku mendapatkan layangan, meskipun tak sebanding dengan bahaya yang mungkin menghadang, misalnya jatuh tertusuk sisa akar padi.
Pulang dalam keadaan kotor adalah hal biasa. Mandi akan menyegarkan tubuh. Kadang kami beramai-ramai ke sungai, dan tak jarang terminum air sehingga perut kembung. Namun, saya tetap berpuasa, meski kadang diledek oleh ayah apa sudah kenyang?
Mungkin karena lapar dan lelah, saya akan makan dengan lahap saat buka tiba. Suara azan Maghrib yang disiarkan radio RRI seakan lebih indah. Bahkan, hingga sekarang, suara ini selalu menyeret saya ke masa kecil. Meskipun tidak tahu, siapa yang melantunkannya. Ya, saya kadang mendengarkan azan ini masih diperdengarkan melalui Radio DJ FM Surabaya on line. Dalam keadaan kenyang, badan lemes, tapi itu tidak akan menghalangi saya pergi ke surau, bertemu dengan teman-teman lain untuk melakukan shalat tarawih. Lalu, dilanjutkan dengan tadarus bersama di ruang tengah masjid dengan pengeras suara. Uniknya, kegiatan ini melibatkan warga dari segala usia.
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...