Bagi saya, mall terbesar di wilayah Utara Malaysia, Queens Bay, adalah tempat rehat yang menyenangkan bukan semata-mata karena lokasinya di bibir laut dan di depannya teronggok pulau kecil, Pulau Jerejak, lebih dari itu di sini kita bisa mengunjungi toko buku terbesar, Borders. Di tempat yang terakhir ini, saya menemukan rak-rak yang dipenuhi buku-buku terbaru dari pelbagai disiplin.
Di temboknya, saya terserempak dengan tulisan yang berbunyi Books are the carriers of civilization. Without books, history is silent, literature dumb, science crippled, thought and speculation at a standstill - Barbara Tuchman. Ya, dengan buku, segala sesuatunya menjadi terang benderang. Saya tinggal memilih persoalan yang sedang tak terpecahkan untuk dicarikan jawabannya di dalam buku. Hebatnya lagi, di tembok yang lain tertera tulisan I cannot live withouth books - Thomas Jefferson, mantan Presiden Amerika Serikat.
Setiap kali saya mengunjungi toko buku di atas, saya selalu mencatat beberapa buku yang diimpikan untuk dimiliki, seperti Fareed Zakaria, The Future of Freedom, Mohammed Ayoob, The Many Faces of Political Islam, Husin Mutalib, Islam in Southeast Asia dan Emile Durkheim, On Morality and Society. Sesudah membaca banyak buku di sini, saya, isteri dan Muzammil beranjak menuju ke toko buku yang lain, Popular, untuk mencari buku Farish A Noor berjudul The Other Malaysia dalam versi Melayu. Sayangnya, buku yang diincar oleh teman saya ini juga tak tersedia.
Thursday, July 31, 2008
Wednesday, July 30, 2008
Peristiwa Pagi
Mungkin karena saya belum shalat Isya', pagi jauh sebelum Subuh, tiba-tiba terjaga dari tidur. Agar segar, saya menyiram tubuh dengan air. Mata jadi terang dan kepala terasa ringan. Karena tanggung, saya tidak tidur lagi. Sambil menunggu azan Subuh, buku Kalim Siddiqui berjudul Stages of Islamic Revolution menjadi teman.
Saya tertarik dengan pernyataan sarjana terkemuka yang bermukim di Inggeris ini bahwa sejarah tidak bergerak dengan melompat. Revolusi terjadi dalam sebuah masa yang panjang setelah perkembangan ide-ide baru. Ide ini pertama kali dibicarakan di antara segelintir orang, kemudian banyak orang, sebelum akhirnya menggapai khalayak (hlm. 47). Ya, pernyataan ini mengandaikan adanya masyarakat minoritas kreatif yang berhasrat untuk melakukan perubahan. Menurut penggagas Parlemen Muslim Inggris, kaum Muslim hanya perlu merujuk kepada Sunnah dan Sirah Nabi untuk mengulang masyarakat berkeadaban.
Saya tertarik dengan pernyataan sarjana terkemuka yang bermukim di Inggeris ini bahwa sejarah tidak bergerak dengan melompat. Revolusi terjadi dalam sebuah masa yang panjang setelah perkembangan ide-ide baru. Ide ini pertama kali dibicarakan di antara segelintir orang, kemudian banyak orang, sebelum akhirnya menggapai khalayak (hlm. 47). Ya, pernyataan ini mengandaikan adanya masyarakat minoritas kreatif yang berhasrat untuk melakukan perubahan. Menurut penggagas Parlemen Muslim Inggris, kaum Muslim hanya perlu merujuk kepada Sunnah dan Sirah Nabi untuk mengulang masyarakat berkeadaban.
Tuesday, July 29, 2008
Membaca kembali A A Navis
Kemarin, saya mengambil tiga buku, dua buah berkaitan dengan A A Navis dan satu novel berjudul Maria Mariam oleh Farahdiba untuk bacaan isteri. Buku penulis Robohnya Surau Kami ini saya ambil untuk membaca kembali judul cerpen yang dijadikan judul antologi ini, yang mengungkap ketegangan antara kesalehan sosial dan individual.
Cerita pendek yang dimuat pertama kali di dalam majalah Kisah ini dulu sempat mengundang kontroversi dan juga pujian. Bahkan, ia telah diterjemahkan ke dalam empat bahasa Asing, Inggeris, Jepang, Perancis dan Jerman. Sesuatu yang jarang terjadi dalam dunia sastera Indonesia. Mungkin hanya tetralogi Pramodya yang mengatasinya. Sebagai tambahan, saya juga menyeimbangi dengan cara pandang kritik sastra yang telah ditunaikan dengan baik oleh Ivan Adilla dalam A A Navis: Karya dan Dunianya (Grasindo, 2003).
Membaca cerita pendek buah karya sasterawan Minang ini membuka jendela rumah agar bisa melihat bagaimana orang lain melihat hidupnya. Lebih dari itu, kadang saya cemburu bahwa daerah yang dikenal sebagai kawasan lahirnya gerakan Islam modern telah mengharubiru dunia sastera Indonesia, dengan hanya bermodal peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Coba lihat, Salah Asuhan Abdoel Muis atau Tenggelamnya Kapal Van Derwijck Hamka. Keduanya merupakan pembacaan penghuni rumah Gadang terhadap kegalauan masyarakat terhadap serbuan modernitas. Sesuatu yang mungkin juga terjadi di Madura, tetapi tak sempat direkam melalui tulisan oleh warganya.
Cerita pendek yang dimuat pertama kali di dalam majalah Kisah ini dulu sempat mengundang kontroversi dan juga pujian. Bahkan, ia telah diterjemahkan ke dalam empat bahasa Asing, Inggeris, Jepang, Perancis dan Jerman. Sesuatu yang jarang terjadi dalam dunia sastera Indonesia. Mungkin hanya tetralogi Pramodya yang mengatasinya. Sebagai tambahan, saya juga menyeimbangi dengan cara pandang kritik sastra yang telah ditunaikan dengan baik oleh Ivan Adilla dalam A A Navis: Karya dan Dunianya (Grasindo, 2003).
Membaca cerita pendek buah karya sasterawan Minang ini membuka jendela rumah agar bisa melihat bagaimana orang lain melihat hidupnya. Lebih dari itu, kadang saya cemburu bahwa daerah yang dikenal sebagai kawasan lahirnya gerakan Islam modern telah mengharubiru dunia sastera Indonesia, dengan hanya bermodal peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Coba lihat, Salah Asuhan Abdoel Muis atau Tenggelamnya Kapal Van Derwijck Hamka. Keduanya merupakan pembacaan penghuni rumah Gadang terhadap kegalauan masyarakat terhadap serbuan modernitas. Sesuatu yang mungkin juga terjadi di Madura, tetapi tak sempat direkam melalui tulisan oleh warganya.
Monday, July 28, 2008
Malam Budaya Indonesia di Malaysia
Saya dan isteri berangkat lebih awal ke dewan pertemuan tempat perhelatan malam budaya Indonesia bertajuk Sparkling. Pengarah opera musikal, Ibu Junita Batubara, meminta kami untuk datang dua jam lebih awal untuk menyempurnakan olah vokal persembahan pascasarjana Universiti Sains Malaysia.
Ternyata, sesampai di sana, band Tequelectric sedang latihan, sehingga kami menunda sejenak untuk melakukan gladi bersih untuk terakhir kali. Namun tak lama kemudian, akhirnya kami melakukan latihan. Indonesia Pusaka, Apuse dan Ampar-Ampar Pisang dan selarik puisi berjudul Sepi tak Berujung adalah menu kami yang harus dikunyah dan akhirnya dilantunkan dengan sepenuh jiwa.
Menjelang jam 8 malam, bapak dan ibu konsul datang. Panitia terkejut atas kedatangan wakil pemerintah Indonesia di Pulau Pinang ini sebelum acara dimulai. Ternyata, beliau berdua sengaja datang lebih awal karena baru selesai mengikuti acara Fareview di gedung Dewan Budaya, sebelah Dewan Tunku Syed Putera, tempat malam budaya akan digelar. Saya dan isteri menemani mereka untuk menunggu acara dimulai di ruang VIP lantai atas. Lalu, disusul kemudian oleh Saudara Irfan, ketua Persatuan Pelajar Indonesia USM. Katanya, Mahda memberitahu kalau Bapak Munir, konsul RI, datang.
Akhirnya upacara pembukaan segera akan dimulai. Seluruh undangan diminta masuk dan kehadiran Pak Munir dan Isteri di ruangan yang luas itu diiringi lagu daerah. Saya pun menyelinap ke balik panggung untuk menyiapkan diri tampil. Setelah acara sambutan, pelbagai seni budaya Indonesia dipanggungkan, seperti Tari Saman yang dibawakan dengan kompak oleh mahasiswa Universitas Presiden Jakarta, Tari Poco-Poco oleh putera-puteri dari mahasiswa PhD Indonesia di USM, Tari Prawiro dan akhirnya sesi kami, membawakan lagu daerah di atas, dan muskik angklung.
Di tengah keterbatasan panitia, tentu acara ini sangat penting untuk belajar merawat kebudayaan yang mungkin sudah tak dinikmati seperti dulu lagi. Dukungan dari banyak pihak tentu meringankan kerja panitia yang telah banyak mengubah konsep semula tentang acara ini. Memang, panitia mendapatkan dukungan dari Departemen Budaya dan Pariwisata untuk menyampaikan kampanye visit Indonesia 2008, sehingga malam budaya ini benar-benar menjadi malam Indonesia di negara tetangga. Cuplikan video kunjungan wisata Indonesia 2008 yang ditayangkan mampu menggugah cita rasa estetik penonton betapa negeri nusantara ini indah permai.
Penonton yang hadir cukup mewakili ragam bangsa seluruh dunia, seperti Timur Tengah, Iran, dan Eropa, termasuk mahasiswa Malaysia. Mereka tentu akan mengenal lebih dekat keadaan Indonesia yang elok. Malah, teman kami dari Iran, Mustafa (lihat gambar sebelah), sengaja merekam persembahan kami dari balik panggung hingga kami mementaskan persembahan di atas. Sebuah sudut pandang penggambaran yang menentramkan.
Ternyata, sesampai di sana, band Tequelectric sedang latihan, sehingga kami menunda sejenak untuk melakukan gladi bersih untuk terakhir kali. Namun tak lama kemudian, akhirnya kami melakukan latihan. Indonesia Pusaka, Apuse dan Ampar-Ampar Pisang dan selarik puisi berjudul Sepi tak Berujung adalah menu kami yang harus dikunyah dan akhirnya dilantunkan dengan sepenuh jiwa.
Menjelang jam 8 malam, bapak dan ibu konsul datang. Panitia terkejut atas kedatangan wakil pemerintah Indonesia di Pulau Pinang ini sebelum acara dimulai. Ternyata, beliau berdua sengaja datang lebih awal karena baru selesai mengikuti acara Fareview di gedung Dewan Budaya, sebelah Dewan Tunku Syed Putera, tempat malam budaya akan digelar. Saya dan isteri menemani mereka untuk menunggu acara dimulai di ruang VIP lantai atas. Lalu, disusul kemudian oleh Saudara Irfan, ketua Persatuan Pelajar Indonesia USM. Katanya, Mahda memberitahu kalau Bapak Munir, konsul RI, datang.
Akhirnya upacara pembukaan segera akan dimulai. Seluruh undangan diminta masuk dan kehadiran Pak Munir dan Isteri di ruangan yang luas itu diiringi lagu daerah. Saya pun menyelinap ke balik panggung untuk menyiapkan diri tampil. Setelah acara sambutan, pelbagai seni budaya Indonesia dipanggungkan, seperti Tari Saman yang dibawakan dengan kompak oleh mahasiswa Universitas Presiden Jakarta, Tari Poco-Poco oleh putera-puteri dari mahasiswa PhD Indonesia di USM, Tari Prawiro dan akhirnya sesi kami, membawakan lagu daerah di atas, dan muskik angklung.
Di tengah keterbatasan panitia, tentu acara ini sangat penting untuk belajar merawat kebudayaan yang mungkin sudah tak dinikmati seperti dulu lagi. Dukungan dari banyak pihak tentu meringankan kerja panitia yang telah banyak mengubah konsep semula tentang acara ini. Memang, panitia mendapatkan dukungan dari Departemen Budaya dan Pariwisata untuk menyampaikan kampanye visit Indonesia 2008, sehingga malam budaya ini benar-benar menjadi malam Indonesia di negara tetangga. Cuplikan video kunjungan wisata Indonesia 2008 yang ditayangkan mampu menggugah cita rasa estetik penonton betapa negeri nusantara ini indah permai.
Penonton yang hadir cukup mewakili ragam bangsa seluruh dunia, seperti Timur Tengah, Iran, dan Eropa, termasuk mahasiswa Malaysia. Mereka tentu akan mengenal lebih dekat keadaan Indonesia yang elok. Malah, teman kami dari Iran, Mustafa (lihat gambar sebelah), sengaja merekam persembahan kami dari balik panggung hingga kami mementaskan persembahan di atas. Sebuah sudut pandang penggambaran yang menentramkan.
Tentu, persembahan musik Tequelectric menampilkan sisi lain dari malam kebudayaan, karena ia adalah adaptasi terhadap fenomena kebudayaan modern. Tambahan lagi, penampilan jazz band kampus benar-benar mengusung cara ungkap komunitas lain dalam merayakan kebersamaan. Mungkin, kehadiran The Times, band indie lokal, adalah penutup yang manis karena penonton berdesakan ke depan panggung untuk berjingkrak. Saya tentu tidak turut turun karena usia tua menghalangi untuk mengimbangi gairah anak muda mengusir dingin AC yang makin menusuk.
Friday, July 25, 2008
Menekuri Dunia Melayu Awal
Tadi pagi, saya membawa foto kopi bagian buku Preaching of Islam yang ditulis T W Arnold kepada profesor dalam rangka melengkapi bahan untuk proyek penulisan Islamisasi Dunia Melayu. Selain itu, saya juga membawa salinan tulisan saya yang dimuat di Majalah al-Islam (Desember 2007) berjudul "Melayu Islam Klasik dan Manifestasi Kontemporari".
Sebelumnya, saya memang mengirim pesan singkat pada profesor setelah menyalin bahan yang dimaksud di atas secara swalayan di toko foto kopi yang terletak di lantai dasar perpustakaan. Satu jam kemudian, beliau menelepon untuk berjumpa. Sebenarnya, saya juga mempunyai catatan lain tentang manuskrip Bahr al-Lahut, yaitu naskah asli yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, Untuk pertama kalinya, saya membaui naskah kuno. Sebelumnya, saya hanya melihat dalam gambar di buku atau di internet.
Berburu naskah kuno mendatangkan keasyikan. Ada semacam pengembaraan ke masa lalu yang menegangkan karena selalu saja saya tidak mengapresiasi pandangan masa dulu karena kadang tampak sudah usang. Ternyata, tidak demikian. Justeru, di dalam naskah kuno, saya menemukan kearifan dan kedalaman tentang sebuah ajaran.
Keingintahuan untuk mengenal lebih jauh tentang masa lalu Islam Melayu makin membuncah, setelah ada kecenderungan Islam di tanah Melayu ini menampilkan pemahaman formal tentang Islam.
Sebelumnya, saya memang mengirim pesan singkat pada profesor setelah menyalin bahan yang dimaksud di atas secara swalayan di toko foto kopi yang terletak di lantai dasar perpustakaan. Satu jam kemudian, beliau menelepon untuk berjumpa. Sebenarnya, saya juga mempunyai catatan lain tentang manuskrip Bahr al-Lahut, yaitu naskah asli yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, Untuk pertama kalinya, saya membaui naskah kuno. Sebelumnya, saya hanya melihat dalam gambar di buku atau di internet.
Berburu naskah kuno mendatangkan keasyikan. Ada semacam pengembaraan ke masa lalu yang menegangkan karena selalu saja saya tidak mengapresiasi pandangan masa dulu karena kadang tampak sudah usang. Ternyata, tidak demikian. Justeru, di dalam naskah kuno, saya menemukan kearifan dan kedalaman tentang sebuah ajaran.
Keingintahuan untuk mengenal lebih jauh tentang masa lalu Islam Melayu makin membuncah, setelah ada kecenderungan Islam di tanah Melayu ini menampilkan pemahaman formal tentang Islam.
Menikmati Tembang Jawa
Memasuki hari ketiga latihan, kami makin menemukan irama kebersamaan. Apalagi, ada beberapa selipan yang membuat saya makin nyaman menikmati penampilan opera musikal. Pada pembukaan, Wahyu membuka persembahan dengan membawakan tembang (pangkur) Jawa, yang kata mahasiswa PhD Teknik Industri ini, bercerita tentang agama dan pengetahuan. Selebihnya, saya tak bertanya lebih terperinci arti perkata dari tembang ini, tetapi selalu saja memejamkan mata ketika lamat-lamat saya menikmatinya dari jarak yang cukup jauh. Nuansa magis tiba-tiba menyemburat bersama angin malam.
Tanah Air Beta, lagu kebangsaan, yang dinyanyikan bersama juga mendatangkan suasana lain. Kami berempat mencoba untuk menemukan kekompakan, meskipun saya yakin masing-masing mencoba untuk meresapi berdasarkan pengalaman yang mungkin tidak sama. Tetapi, jelas lagu ini mengandaikan tentang tanah air yang dibanggakan, tempat nanti bersemayam dan kedekatan yang dalam untuk merawat dwipantara.
Di sela-sela menyanyi, tiga orang membawakan tiga puisi dengan tiga dialek berbeda, Jawa, Menado dan Madura. Melalui bahasa Indonesia, ketiga daerah ini melebur menjadi satu dalam mengungkapkan perasaan yang paling dalam sebagai anak manusia, meskipun tak harus menghapus kekhasannya masing-masing. Justeru, karena perbedaan inilah kami merangkai kebersamaan. Ia seperti menampilkan ragam warna yang melahirkan pelangi, sehingga setiap orang akan merasa nyaman melihatnya.
Tanah Air Beta, lagu kebangsaan, yang dinyanyikan bersama juga mendatangkan suasana lain. Kami berempat mencoba untuk menemukan kekompakan, meskipun saya yakin masing-masing mencoba untuk meresapi berdasarkan pengalaman yang mungkin tidak sama. Tetapi, jelas lagu ini mengandaikan tentang tanah air yang dibanggakan, tempat nanti bersemayam dan kedekatan yang dalam untuk merawat dwipantara.
Di sela-sela menyanyi, tiga orang membawakan tiga puisi dengan tiga dialek berbeda, Jawa, Menado dan Madura. Melalui bahasa Indonesia, ketiga daerah ini melebur menjadi satu dalam mengungkapkan perasaan yang paling dalam sebagai anak manusia, meskipun tak harus menghapus kekhasannya masing-masing. Justeru, karena perbedaan inilah kami merangkai kebersamaan. Ia seperti menampilkan ragam warna yang melahirkan pelangi, sehingga setiap orang akan merasa nyaman melihatnya.
Thursday, July 24, 2008
Menikmati Trek Stadion Kampus
Kemarin, setelah shalat ashar jamaah dengan isteri, kami menunaikan niat untuk berlari di trek stadion. Sekalian, saya ingin memenuhi janji dengan Fakhrizal untuk bermain pingpong sebagai persiapan mengikuti kejuaraan tenis meja Konsulat Jenderal Republik Indonesia Pulau Pinang. Sesampai di sana, saya melakukan pemanasan dengan berlari mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak 5 kali. Ini sudah melebihi dari cukup membuat badan panas.
Kemudian, saya menuju ke gedung olahraga untuk bermain pingpong. Di sana, kami bermain ganda sebanyak dua babak. Terus terang, tenis meja selalu menguras tenaga saya dan menyebabkan saya berkeringat. Untung, saya telah menyediakan air minum sehingga dahaga tak menyiksa. Namun, sayangnya saya tak bisa melanjutkan permainan karena harus berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar Gelugor. Di sana, kami tidak hanya berbelanja sayur mayur, daging ayam, dan ikan asin, tetapi juga memeriksa tulisan di majalah al-Islam dan Milenia dalam edisi Agustus 2008. Sayang, saya juga belum melihat karangan dimuat di dalam dua majalah di atas.
Kami tidak terlalu lama berada di pasar karena hari sudah beranjak gelap. Lebih-lebih, saya harus mengejar waktu agar bisa bersembahyang jamaah di surau flat. Alhamdulillah, saya mempunyai banyak waktu untuk mandi sehingga tak perlu terburu-buru ke musalla. Seperti biasa, rumah Tuhan itu tidak menarik penghuninya untuk hadir. Shalat Maghrib hanya diikuti tiga orang, saya sendiri dan dua pekerja Pakistan, Ali dan Syahid. Berbeda dengan sehari sebelumnya, surau dipenuhi jamaah karena ada rombongan anggota Tabligh sehingga memenuhi surau hingga baris (saf) kedua. Malah, selepas maghrib, mereka yang terakhir mengetuk pintu rumah untuk mengajak mengikuti shalat Isya bersama di surau. Sebuah usaha mulia untuk memperjuangkan prinsip Islam tanpa pamrih.
Kemudian, saya menuju ke gedung olahraga untuk bermain pingpong. Di sana, kami bermain ganda sebanyak dua babak. Terus terang, tenis meja selalu menguras tenaga saya dan menyebabkan saya berkeringat. Untung, saya telah menyediakan air minum sehingga dahaga tak menyiksa. Namun, sayangnya saya tak bisa melanjutkan permainan karena harus berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar Gelugor. Di sana, kami tidak hanya berbelanja sayur mayur, daging ayam, dan ikan asin, tetapi juga memeriksa tulisan di majalah al-Islam dan Milenia dalam edisi Agustus 2008. Sayang, saya juga belum melihat karangan dimuat di dalam dua majalah di atas.
Kami tidak terlalu lama berada di pasar karena hari sudah beranjak gelap. Lebih-lebih, saya harus mengejar waktu agar bisa bersembahyang jamaah di surau flat. Alhamdulillah, saya mempunyai banyak waktu untuk mandi sehingga tak perlu terburu-buru ke musalla. Seperti biasa, rumah Tuhan itu tidak menarik penghuninya untuk hadir. Shalat Maghrib hanya diikuti tiga orang, saya sendiri dan dua pekerja Pakistan, Ali dan Syahid. Berbeda dengan sehari sebelumnya, surau dipenuhi jamaah karena ada rombongan anggota Tabligh sehingga memenuhi surau hingga baris (saf) kedua. Malah, selepas maghrib, mereka yang terakhir mengetuk pintu rumah untuk mengajak mengikuti shalat Isya bersama di surau. Sebuah usaha mulia untuk memperjuangkan prinsip Islam tanpa pamrih.
Wednesday, July 23, 2008
Apuse Kokondao dan Ampar-Ampar Pisang
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik, mengajari kami menyanyi dengan diiringi piano. Tak hanya sekedar melantukan lagu, tapi kami mencoba untuk membahas kemungkinan penyertaan persembahan opera dan koreografi yang menambah cemerlang penampilan. Ya, latihan ini adalah sebagian dari kegiatan untuk mendukung Malam Budaya Indonesia di Universitas Sains Malaysia dalam tajuk Sparkling Indonesia.
Saya sendiri tidak mengerti makna lagu, tapi menyanyikannya sepenuh hati. Saya mengandaikan sedang membaca mantra, yang hanya berharap ada tuah jika mengulang-ulang kata, yang saya yakin itu menunjukkan ekspresi manusia yang tulus dan riang. Lagu Kalimantan di atas juga dinyanyikan beberapa kali untuk menemukan kekompakan antara kami. Akhirnya, sesi ketiga adalah lagu kebangsaan, Indonesia Tanah Air, yang betul-betul menjadi penutup yang manis karena lagu ini menyeret saya ke masa lalu, masa kecil yang tak direpotkan oleh gundah gulana dan risau.
Di sela-sela berlatih, Stenly, Wahyu, Yunita, Tetty dan saya saling melempar cerita untuk memancing tawa dan canda. Mungkin di sinilah sebenarnya kita bisa berbagi banyak hal yang lahir secara spontan. Dari mereka, saya menemukan kiat dan model menjalani pertemanan. Dengan gaya masing-masing mereka menyampaikan pesan pada saya, bahkan tak jarang kritik yang terselubung. Suasana yang hangat membuat segala sesuatu terasa menyenangkan.
Malam nanti, latihan juga akan dilakukan untuk makin menumbuhkan apresasi terhadap lagu dan menyemai kedekatan antara peserta. Lebih dari itu, saya rasa ini adalah cara kami merawat Indonesia, melakukan kegiatan tanpa pamrih dan menjalin silaturahmi di antara mahasiswa yang ada di tanah jiran ini. Kedalaman pertemuan akan membantu kita menepis prasangka yang acapkali muncul jika kita bersua dengan perbedaan. Oleh karena itu, kita seharusnya tak lagi disibukkan dengan perbedaan, karena memang itu niscaya. Sudah saatnya, kita merayakan kesamaan sebagai manusia agar hidup tidak melulu muram. Itu saja!
Saya sendiri tidak mengerti makna lagu, tapi menyanyikannya sepenuh hati. Saya mengandaikan sedang membaca mantra, yang hanya berharap ada tuah jika mengulang-ulang kata, yang saya yakin itu menunjukkan ekspresi manusia yang tulus dan riang. Lagu Kalimantan di atas juga dinyanyikan beberapa kali untuk menemukan kekompakan antara kami. Akhirnya, sesi ketiga adalah lagu kebangsaan, Indonesia Tanah Air, yang betul-betul menjadi penutup yang manis karena lagu ini menyeret saya ke masa lalu, masa kecil yang tak direpotkan oleh gundah gulana dan risau.
Di sela-sela berlatih, Stenly, Wahyu, Yunita, Tetty dan saya saling melempar cerita untuk memancing tawa dan canda. Mungkin di sinilah sebenarnya kita bisa berbagi banyak hal yang lahir secara spontan. Dari mereka, saya menemukan kiat dan model menjalani pertemanan. Dengan gaya masing-masing mereka menyampaikan pesan pada saya, bahkan tak jarang kritik yang terselubung. Suasana yang hangat membuat segala sesuatu terasa menyenangkan.
Malam nanti, latihan juga akan dilakukan untuk makin menumbuhkan apresasi terhadap lagu dan menyemai kedekatan antara peserta. Lebih dari itu, saya rasa ini adalah cara kami merawat Indonesia, melakukan kegiatan tanpa pamrih dan menjalin silaturahmi di antara mahasiswa yang ada di tanah jiran ini. Kedalaman pertemuan akan membantu kita menepis prasangka yang acapkali muncul jika kita bersua dengan perbedaan. Oleh karena itu, kita seharusnya tak lagi disibukkan dengan perbedaan, karena memang itu niscaya. Sudah saatnya, kita merayakan kesamaan sebagai manusia agar hidup tidak melulu muram. Itu saja!
Tuesday, July 22, 2008
Membuka diri bagi Kemungkinan
Dalam dua hari ini, saya mengikuti dua pertemuan penting, pertama menghadiri acara Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera (PIP PKS) Malaysia di Sungai Dua, dekat kampus, dan silaturahmi dengan Dai Bachtiar, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia di Konsulat Jenderal RI Pulau Pinang.
Saya tegaskan dalam sesi tanya jawab bahwa saya bukan anggota dan kader PKS, tapi menaruh simpati dengan partai dakwah ini. Bagi saya, politik itu sederhana, yaitu siapa mendapatkan apa dan kapan. Jila, PKS kemudian menyodorkan ide ingin melayani tentu merupakan terobosan baru yang perlu disambut baik oleh komponen masyarakat yang lain. Apalagi, dengan tegas bahwa partai yang banyak digerakkan oleh bekas aktivis mahasiswa Islam kampus ingin mengubah keadaan bersama yang lain.
Sementara, semalam saya mencatat beberapa hal penting dengan komitmen duta besar baru untuk berpegang pada prinsip peduli dan berpihak. Dua kata yang cukup mewakili apa yang bisa dilakukan dengan prinsip ini, yaitu melayani masyarakat Indonesia yang tinggal di negara jiran ini. Tentu adalah sangat menyenangkan jika pelayanan yang akan diberikan pada warga negara yang bermastautin berkaitan dengan administasi selesai dalam satu hari, atau apa yang dia sebut dengan one day service.
Dalam kesempatan ini, masyarakat Indonesia bisa mengenal lebih dekat apa yang diinginkan oleh duta besar baru ini mengingat begitu banyak masalah yang acapkali timbul antara dua negara serumpun ini. Jika kemudian ada pertanyaan dari mahasiswa bahwa kualitas hubungan antara keduanya tidak setara karena Indonesia tampak tidak berdaya berhadapan dengan mitranya adalah wajar. Misalnya, bagaimana Malaysia tidak bersedia menandatangani perjanjian mandatory consular notification yang berisi permintaan terhadap pemerintah Malaysia agar menginformasikan warga negara Indonesia yang mempunyai masalah hukum pada perwakilan Indonesia.
Secara umum, Dai Bachtiar secara lugas telah menjabarkan apa yang ingin dilakukan dalam waktu dekat, seperti mewujudkan hotline, tempat pengaduan masyarakat Indonesia serta menyediakan data base bagi hal ihwal keberadaan warga RI di Malaysia. Angka yang disampaikan mantan Kapolri ini bahwa dari 1700 tahanan di penjara Kajang terdapat 1300 warga negara Indonesia adalah mengejutkan. Jelas kenyataan ini memprihantinkan dan sekaligus persoalan ini akan menjadi data penting bagi para pembuat kebijakan dan komponen masyarakat lain yang peduli untuk memberikan perhatian dan pelayanan terhadap mereka.
Saya tegaskan dalam sesi tanya jawab bahwa saya bukan anggota dan kader PKS, tapi menaruh simpati dengan partai dakwah ini. Bagi saya, politik itu sederhana, yaitu siapa mendapatkan apa dan kapan. Jila, PKS kemudian menyodorkan ide ingin melayani tentu merupakan terobosan baru yang perlu disambut baik oleh komponen masyarakat yang lain. Apalagi, dengan tegas bahwa partai yang banyak digerakkan oleh bekas aktivis mahasiswa Islam kampus ingin mengubah keadaan bersama yang lain.
Sementara, semalam saya mencatat beberapa hal penting dengan komitmen duta besar baru untuk berpegang pada prinsip peduli dan berpihak. Dua kata yang cukup mewakili apa yang bisa dilakukan dengan prinsip ini, yaitu melayani masyarakat Indonesia yang tinggal di negara jiran ini. Tentu adalah sangat menyenangkan jika pelayanan yang akan diberikan pada warga negara yang bermastautin berkaitan dengan administasi selesai dalam satu hari, atau apa yang dia sebut dengan one day service.
Dalam kesempatan ini, masyarakat Indonesia bisa mengenal lebih dekat apa yang diinginkan oleh duta besar baru ini mengingat begitu banyak masalah yang acapkali timbul antara dua negara serumpun ini. Jika kemudian ada pertanyaan dari mahasiswa bahwa kualitas hubungan antara keduanya tidak setara karena Indonesia tampak tidak berdaya berhadapan dengan mitranya adalah wajar. Misalnya, bagaimana Malaysia tidak bersedia menandatangani perjanjian mandatory consular notification yang berisi permintaan terhadap pemerintah Malaysia agar menginformasikan warga negara Indonesia yang mempunyai masalah hukum pada perwakilan Indonesia.
Secara umum, Dai Bachtiar secara lugas telah menjabarkan apa yang ingin dilakukan dalam waktu dekat, seperti mewujudkan hotline, tempat pengaduan masyarakat Indonesia serta menyediakan data base bagi hal ihwal keberadaan warga RI di Malaysia. Angka yang disampaikan mantan Kapolri ini bahwa dari 1700 tahanan di penjara Kajang terdapat 1300 warga negara Indonesia adalah mengejutkan. Jelas kenyataan ini memprihantinkan dan sekaligus persoalan ini akan menjadi data penting bagi para pembuat kebijakan dan komponen masyarakat lain yang peduli untuk memberikan perhatian dan pelayanan terhadap mereka.
Sunday, July 20, 2008
Merawat Indonesia melalui Wacana dan Aksi Nyata
Untuk pertama kalinya PPI menghelat sebuah diskusi 'kecil' dalam memancing minat mahasiswa dalam mengenal dirinya dan persoalan bangsanya. Acara-acara sebelumnya boleh dikatakan lebih memerhatikan seremoni bukan diskusi intensif yang tidak memerlukan 'tetek bengek' sebuah acara yang biasanya diisi sambutan.
Tema acara ini adalah Persatuan, Sebuah Keniscayaan: Antara Harapan dan Kenyataan. Sebagai nara Sumber adalah Suyatno, MA, Mahasiswa PhD Ilmu Politik Universitas Sains Malaysia. Sementara peserta dari diskusi adalah Irfan, Haswin, Yatno, Hilal, Doni, Ahmad, Cut, Gaby, Dita , Ahmad, Pangeran, Fajar dan Dede.
Perbincangan ini mengandaikan keinginan untuk menciptakan hubungan sinergi antara masyarakat kreatif dan pemerintah, yang meliputi isu penting, di antaranya keinginan untuk maju dan berubah dimiliki oleh keduanya, tidak adanya titik temu untuk saling bekerja sama, masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri dan demokrasi adalah modal penting untuk kemajuan, tapi bukan panacea (obat mujarab).
Dari mana memulai untuk mewujudkan cita-cita di atas? Jawabanya dari kita sendiri. Paling tidak dari beberapa gagasan yang sempat terlontar dalam perbincangan ini meliputi:
1. Tidak semestinya Lembaga Swadaya Masyarakat mewakili kepentingan khalayak, dengan demikian PPI mempunyai kesempatan untuk berbuat untuk kebutuhan anggota dan lebih jauh untuk Indonesia 2. Media alternatif bisa dijadikan untuk membuat masyarakat tidak mudah lupa (amnesia), seperti kenaikan BBM sengaja ditutupi dan orang disibukkan dengan kasus Front Pembela Islam dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berbangsa dan Beragama. 3. Media mainstream tidak mewakili keinginan kritis masyarakat 4. Kebersamaan organisasi atau apapun berakar pada kesamaan visi, dan kita hadir dalam kegiatan pergerakan mahasiswa karena tekad yang kuat untuk merawat keindonesiaan, sehingga perbedaan yang berakhir dengan pemisahan harus diakomodasi melalui dialog. Dari sinilah lahir otonomi. Lebih jauh, kata Mas Yatno, kontrak politik itu hakikatnya adalah pemenuhan kesejahteraan 5. Merawat Indonesia adalah merawat PPI 6. Liason Officer PPI sebagai pintu gerbang mahasiswa Indonesia mengenal USM dan diterima oleh LO untuk memulai tinggal di kampus, institusi tempat bertanya melalui website, sebagai alternatif 7. PPI bukan organisasi massa 8. Menjadi pelajar yang baik tidak harus menyelesaikan studi cepat, lama dengan catatan tidak mengganggu keuangan keluarga dan banyak melakukan kegiatan seperti diskusi, membaca dan akhirnya berpikir dan membaca yang baik, dan lebih penting membuat pilihan agar terpenuhi unsur-unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran 9. Anjuran untuk mengenal Malaysia lebih dekat dari pelbagai sudut pandang, berkaitan dengan budaya, dan sekaligus warga Negara Indonesia di sini, seperti dilakukan oleh Mas Hilal dengan advokasinya pada tenaga kerja Indoensia 10. PPI harus fokus pada usaha untuk mendapatkan hasil maksimal, rujukan survey Ahmad Farisi bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan kegiatan ke depan 11. Dede mengusulkan agar PPI harus lebih memberikan perhatian pada kerja-kerja konkret dari persoalan yang muncul sebelumnya 12. Proses itu penting dalam ikhtiar mencari pengetahuan dan dengan sendirinya kita memeroleh pengalaman dan makna 13. Pandangan dikotomis, kata Irfan, harus dihindari karena menjebak kita pada pandangan hitam putih (binary distinction) 14. Mencintai dan menggunakan produk bangsa sendiri, seperti produk Mustika Ratu, Sari Ayu, Extra Joss (sponsor acara Sparkling), dan lain-lain 15. Ilmu sosial mengajarkan kritik dan paradigma sehingga tidak terjebak pada kebingungan karena ia segenap persoalan hakikatnya bisa dijelaskan 16. Menjelaskan Indonesia secara persuasif kepada warga Malaysia dan 17. Perbedaan tidak disikapi antipasti tetapi justeru didekati untuk menemukan persamaan Memiliki budaya dengan sendirinya mengandaikan keinginan merawat agar tidak punah.
Mungkin peserta yang lain akan menyodorkan catatan yang berbeda bagaimana merawat Indonesia agar kita bisa memahami sejauh mana warganya mengerti persatuan dan kesatuan melalui tindakan bukan sekadar jargon.
Tema acara ini adalah Persatuan, Sebuah Keniscayaan: Antara Harapan dan Kenyataan. Sebagai nara Sumber adalah Suyatno, MA, Mahasiswa PhD Ilmu Politik Universitas Sains Malaysia. Sementara peserta dari diskusi adalah Irfan, Haswin, Yatno, Hilal, Doni, Ahmad, Cut, Gaby, Dita , Ahmad, Pangeran, Fajar dan Dede.
Perbincangan ini mengandaikan keinginan untuk menciptakan hubungan sinergi antara masyarakat kreatif dan pemerintah, yang meliputi isu penting, di antaranya keinginan untuk maju dan berubah dimiliki oleh keduanya, tidak adanya titik temu untuk saling bekerja sama, masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri dan demokrasi adalah modal penting untuk kemajuan, tapi bukan panacea (obat mujarab).
Dari mana memulai untuk mewujudkan cita-cita di atas? Jawabanya dari kita sendiri. Paling tidak dari beberapa gagasan yang sempat terlontar dalam perbincangan ini meliputi:
1. Tidak semestinya Lembaga Swadaya Masyarakat mewakili kepentingan khalayak, dengan demikian PPI mempunyai kesempatan untuk berbuat untuk kebutuhan anggota dan lebih jauh untuk Indonesia 2. Media alternatif bisa dijadikan untuk membuat masyarakat tidak mudah lupa (amnesia), seperti kenaikan BBM sengaja ditutupi dan orang disibukkan dengan kasus Front Pembela Islam dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berbangsa dan Beragama. 3. Media mainstream tidak mewakili keinginan kritis masyarakat 4. Kebersamaan organisasi atau apapun berakar pada kesamaan visi, dan kita hadir dalam kegiatan pergerakan mahasiswa karena tekad yang kuat untuk merawat keindonesiaan, sehingga perbedaan yang berakhir dengan pemisahan harus diakomodasi melalui dialog. Dari sinilah lahir otonomi. Lebih jauh, kata Mas Yatno, kontrak politik itu hakikatnya adalah pemenuhan kesejahteraan 5. Merawat Indonesia adalah merawat PPI 6. Liason Officer PPI sebagai pintu gerbang mahasiswa Indonesia mengenal USM dan diterima oleh LO untuk memulai tinggal di kampus, institusi tempat bertanya melalui website, sebagai alternatif 7. PPI bukan organisasi massa 8. Menjadi pelajar yang baik tidak harus menyelesaikan studi cepat, lama dengan catatan tidak mengganggu keuangan keluarga dan banyak melakukan kegiatan seperti diskusi, membaca dan akhirnya berpikir dan membaca yang baik, dan lebih penting membuat pilihan agar terpenuhi unsur-unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran 9. Anjuran untuk mengenal Malaysia lebih dekat dari pelbagai sudut pandang, berkaitan dengan budaya, dan sekaligus warga Negara Indonesia di sini, seperti dilakukan oleh Mas Hilal dengan advokasinya pada tenaga kerja Indoensia 10. PPI harus fokus pada usaha untuk mendapatkan hasil maksimal, rujukan survey Ahmad Farisi bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan kegiatan ke depan 11. Dede mengusulkan agar PPI harus lebih memberikan perhatian pada kerja-kerja konkret dari persoalan yang muncul sebelumnya 12. Proses itu penting dalam ikhtiar mencari pengetahuan dan dengan sendirinya kita memeroleh pengalaman dan makna 13. Pandangan dikotomis, kata Irfan, harus dihindari karena menjebak kita pada pandangan hitam putih (binary distinction) 14. Mencintai dan menggunakan produk bangsa sendiri, seperti produk Mustika Ratu, Sari Ayu, Extra Joss (sponsor acara Sparkling), dan lain-lain 15. Ilmu sosial mengajarkan kritik dan paradigma sehingga tidak terjebak pada kebingungan karena ia segenap persoalan hakikatnya bisa dijelaskan 16. Menjelaskan Indonesia secara persuasif kepada warga Malaysia dan 17. Perbedaan tidak disikapi antipasti tetapi justeru didekati untuk menemukan persamaan Memiliki budaya dengan sendirinya mengandaikan keinginan merawat agar tidak punah.
Mungkin peserta yang lain akan menyodorkan catatan yang berbeda bagaimana merawat Indonesia agar kita bisa memahami sejauh mana warganya mengerti persatuan dan kesatuan melalui tindakan bukan sekadar jargon.
Friday, July 18, 2008
Memahami Diri Melalui Buku
Di tengah hujan yang deras mengguyur, saya berjalan dengan payung di tangan mengunjungi toko buku. Kemarin, saya melihat tumpukan jurnal Pemikir yang belum diletakkan di rak. Saya ingin memastikan apakah tulisan saya berjudul "Peranan Intelektual di Zaman Globalisasi" dimuat. Sayangnya, karya tersebut belum bisa dibaca di jurnal tiga bulanan yang diterbitkan oleh Utusan Karya, perusahaan yang menaungi koran terkenal Utusan.
Lalu, saya kembali bermain dengan hujan dan menyusuri jalan yang tergenang air menuju mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di depan perpustakaan. Setelah mengantongi uang, saya melipat payung dan berjalan di sepanjang koridor. Dalam perjalanan kembali ke kampus, saya mampir ke pameran buku Penerbit USM dan membeli satu buku yang ditulis oleh Dr Suhaimi Abdul Aziz bertajuk Kecerdasaan Emosi dalam Kesusasteraan Kanak-Kanak. Agar pembacaan saya lebih kuat, saya menemui penulisnya di ruangan wakil dekan Fakultas Ilmu Humaniora untuk berbincang dan meminta tanda tangannya.
Meskipun, buku ini berbicara tentang tema kanak-kanak, tetapi saya bisa mengenal lebih dalam mengenai dunia psikologi. Apatah lagi, dalam bab awal, penulis prolifik ini mengurai pernak pernik kecerdasan. Tentu saja, poin yang paling mendapatkan tekanan adalah kecerdasan emosi, yang katanya, menjadi penentu keberhasilan seseorang dalam hidupnya.
Lalu, saya kembali bermain dengan hujan dan menyusuri jalan yang tergenang air menuju mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di depan perpustakaan. Setelah mengantongi uang, saya melipat payung dan berjalan di sepanjang koridor. Dalam perjalanan kembali ke kampus, saya mampir ke pameran buku Penerbit USM dan membeli satu buku yang ditulis oleh Dr Suhaimi Abdul Aziz bertajuk Kecerdasaan Emosi dalam Kesusasteraan Kanak-Kanak. Agar pembacaan saya lebih kuat, saya menemui penulisnya di ruangan wakil dekan Fakultas Ilmu Humaniora untuk berbincang dan meminta tanda tangannya.
Meskipun, buku ini berbicara tentang tema kanak-kanak, tetapi saya bisa mengenal lebih dalam mengenai dunia psikologi. Apatah lagi, dalam bab awal, penulis prolifik ini mengurai pernak pernik kecerdasan. Tentu saja, poin yang paling mendapatkan tekanan adalah kecerdasan emosi, yang katanya, menjadi penentu keberhasilan seseorang dalam hidupnya.
Thursday, July 17, 2008
Sepagi ini hujan
Semalam, saya menyangka hujan akan turun. Meskipun ada bulan bertengger di langit, tetapi di sebelah ujung langit yang lain awan berarak gelap. Ya, dalam perjalanan ke pasar malam Tun Sardun, kami menyusuri malam dengan motor butut dengan hasrat berbelanja kebutuhan sehari-hari, seperti sayur, lauk dan tentu saja menjadi acara ini sebagai rekreasi murah.
Nyatanya, hingga tengah malam kami tak mendengar bunyi tetesan menimpa kanopi lantai bawah, seperti biasa jika hujan datang. Justeru, saya menemukan hujan di pagi hari ketika bersama kawan karib saya menyesap teh tarik di kantin. Tanpa didahului oleh irisan kecil, tiba-tiba air tercurah lebat. Kami pun tetap kembali ke flat mahasiswa dengan penutup koran bekas di kepala. Di depan International house, saya berjumpa dengan teman kampus, Kazem Youssefi, mahasiswa PhD dari Iran, yang berniat pergi ke kantor imigrasi yang berada di sebelah Bank CIMB. Setelah berbincang sebentar dengan kawan yang sedang menulis disertasi tentang puisi Hafiz Iran, kami pun naik ke lantai 2 untuk berkumpul merenda hari.
Tak lama berbincang di kamar En Zailani, kami pun menuju restoran Istimewa untuk minum menjelang siang sambil menunggu toko fotokopi buka. Hujan makin deras dan kami masing-masing memesan minum. Saya sendiri memilih kopi panas, ya dingin perlu dilawan dengan asupan panas. Di sini, diskusi pun digelar, dari isu seminar tentang Direktur MAS, Dato Sri Idris Jala, hingga tantangan bahasa Melayu menghadapi globalisasi, sekaligus kaitannya dengan kebijakan pemerintah mewajibkan penggunaan bahasa Inggeris dalam pelajaran ilmu alam dan matematik di sekolah dasar hingga menengah.
Memang tidak hanya ngobrol hal serius, kami bertukar cerita keseharian juga. Makin lama, saya sendiri begitu dalam menemukan alam Melayu Malaysia karena selama ini kawan karib saya adalah teman-teman Melayu, bukan dari Indonesia. Saya banyak menghabsikan waktu senggang di warung bersama En Zailani, yang memberikan banyak cara melihat persoalan kemalaysiaan. Kami selalu menjaga untuk mengurai masalah secara objektif, tanpa menjadi partisan ketika membicarakan persoalan sosial, politik dan sedikit ekonomi.
Di kamar kawan baik ini, saya melihat tumpukan buku terjemahan kitab Ihya Ulumuddin yang diterbitkan oleh Menara Kudus 1980. Saya sempat menengok kembali kitab yang pernah saya kaji di pondok pesantren dan menekuri sebuah ulasan bahwa suci itu sebagian dari iman. Suci atau thuhur di sini tidak hanya bersih dari kotoran (hadats), tetapi sekaligus dari dosa. Sebuah penjelasan yang utuh bagaimana kita memahami suci dalam pengertian yang tidak melulu formal.
Nyatanya, hingga tengah malam kami tak mendengar bunyi tetesan menimpa kanopi lantai bawah, seperti biasa jika hujan datang. Justeru, saya menemukan hujan di pagi hari ketika bersama kawan karib saya menyesap teh tarik di kantin. Tanpa didahului oleh irisan kecil, tiba-tiba air tercurah lebat. Kami pun tetap kembali ke flat mahasiswa dengan penutup koran bekas di kepala. Di depan International house, saya berjumpa dengan teman kampus, Kazem Youssefi, mahasiswa PhD dari Iran, yang berniat pergi ke kantor imigrasi yang berada di sebelah Bank CIMB. Setelah berbincang sebentar dengan kawan yang sedang menulis disertasi tentang puisi Hafiz Iran, kami pun naik ke lantai 2 untuk berkumpul merenda hari.
Tak lama berbincang di kamar En Zailani, kami pun menuju restoran Istimewa untuk minum menjelang siang sambil menunggu toko fotokopi buka. Hujan makin deras dan kami masing-masing memesan minum. Saya sendiri memilih kopi panas, ya dingin perlu dilawan dengan asupan panas. Di sini, diskusi pun digelar, dari isu seminar tentang Direktur MAS, Dato Sri Idris Jala, hingga tantangan bahasa Melayu menghadapi globalisasi, sekaligus kaitannya dengan kebijakan pemerintah mewajibkan penggunaan bahasa Inggeris dalam pelajaran ilmu alam dan matematik di sekolah dasar hingga menengah.
Memang tidak hanya ngobrol hal serius, kami bertukar cerita keseharian juga. Makin lama, saya sendiri begitu dalam menemukan alam Melayu Malaysia karena selama ini kawan karib saya adalah teman-teman Melayu, bukan dari Indonesia. Saya banyak menghabsikan waktu senggang di warung bersama En Zailani, yang memberikan banyak cara melihat persoalan kemalaysiaan. Kami selalu menjaga untuk mengurai masalah secara objektif, tanpa menjadi partisan ketika membicarakan persoalan sosial, politik dan sedikit ekonomi.
Di kamar kawan baik ini, saya melihat tumpukan buku terjemahan kitab Ihya Ulumuddin yang diterbitkan oleh Menara Kudus 1980. Saya sempat menengok kembali kitab yang pernah saya kaji di pondok pesantren dan menekuri sebuah ulasan bahwa suci itu sebagian dari iman. Suci atau thuhur di sini tidak hanya bersih dari kotoran (hadats), tetapi sekaligus dari dosa. Sebuah penjelasan yang utuh bagaimana kita memahami suci dalam pengertian yang tidak melulu formal.
Wednesday, July 16, 2008
Becermin melalui bahasa
Sisa gairah terus berlanjut hingga pagi. Semangat itu pun terus membuncah ketika saya sampai di kampus untuk mengikuti kuliah umum Profesor Emeritus Dr Abdullah Hassan berjudul Bahasa Melayu di Persimpangan: Antara Tuntutan Jati Diri dan Rempuhan Globalisasi di Dewan Budaya. Berbeda dengan kuliah umum sebelumnya, pesertanya membludak dan bahkan dihadiri juga oleh banyak tokoh penting universitas.
Kuliah ini juga diikuti dengan anugerah bahasa Melayu Universiti Sains Malaysia 2007. Untuk tahun ini, hadiah digondol oleh dosen arsitektur Prof Madya Zulkifli Hanafi. Sebelum acara ini dihelat, Abdullah Hassan memberikan kuliah selama hampir dua jam tentang pentingnya bahasa nasional dalam menunjukkan identitas atau jati diri. Di dalam buku kecil, saya mencatat beberapa hal penting, di mana saya menemukan ketakutan kita pada Barat tetapi pada sisi lain, kita tidak bisa mengelakkan diri dari cara mereka memahami realitas. Ya, di satu sisi kita khawatir bahwa globalisasi melalui penggunaan bahasa Inggeris dengan sendirinya akan membawa pandangan hidup yang khas dan akhirnya mengubah prilaku pemakainya. Namun, di sisi lain, warga Malaysia tidak bisa melepaskan dari kenyataan bahwa bahasa internasional ini telah digunakan dalam musik, film dan mungkin juga makanan. Pendek kata, bahasa mengusung budaya di mana ia bersemai.
Menengok catatan saya, pakar bahasa ini banyak merujuk pada banyak ahli filsafat dan sosiologi Barat, seperti Lock, Leibniz, yang dengan sendirinya alih-alih memperoleh jati diri, bahkan untuk memberi definisi tentang jati diri dia harus mengambil dari takrif pemikira Barat. Ini seakan-akan memerangkap kita untuk tidak bisa keluar dari tawanan Barat. Jika jadi diri berkait dengan asal usul nenek moyang, bahasa, geografi maka tidak sepenuhnya ketiga unsur ini bisa menegaskan siapa kita.
Hanya saja dalam sesi tanya jawab, saya mengajukan masalah kedekatan emosional Indonesia dan Malaysia yang dimulai pada tahun 1920-an, ketiak penggiat kiri Indonesia, Tan Malaka, Sutan Djenain, Djamaluddin Saleh bereksil ke Tanjung Malim, tepatnya Sultan Idris Training College untuk sama-sama berjuang melawan kolonialisme. Tentu perasaan senasib sepenanggungan ini lahir dari perasaan kesamaan 'bahasa', sehingga mereka bisa menemukan titik pijak yang sama menghadapi penjajah. Lalu, apakah penggunaan bahasa Inggeris dalam pelajaran sains matematik di sekolah karena pembuat kebijakan banyak berlatar belakang pendidikan bahasa Inggeris dan pada masa yang sama kaum kiri tidak mendapatkan posisi untuk juga turut mengubah cara pandang bahwa bahasa Melayu itulah yang menyuburkan jati diri sebagai bangsa.
Kuliah ini juga diikuti dengan anugerah bahasa Melayu Universiti Sains Malaysia 2007. Untuk tahun ini, hadiah digondol oleh dosen arsitektur Prof Madya Zulkifli Hanafi. Sebelum acara ini dihelat, Abdullah Hassan memberikan kuliah selama hampir dua jam tentang pentingnya bahasa nasional dalam menunjukkan identitas atau jati diri. Di dalam buku kecil, saya mencatat beberapa hal penting, di mana saya menemukan ketakutan kita pada Barat tetapi pada sisi lain, kita tidak bisa mengelakkan diri dari cara mereka memahami realitas. Ya, di satu sisi kita khawatir bahwa globalisasi melalui penggunaan bahasa Inggeris dengan sendirinya akan membawa pandangan hidup yang khas dan akhirnya mengubah prilaku pemakainya. Namun, di sisi lain, warga Malaysia tidak bisa melepaskan dari kenyataan bahwa bahasa internasional ini telah digunakan dalam musik, film dan mungkin juga makanan. Pendek kata, bahasa mengusung budaya di mana ia bersemai.
Menengok catatan saya, pakar bahasa ini banyak merujuk pada banyak ahli filsafat dan sosiologi Barat, seperti Lock, Leibniz, yang dengan sendirinya alih-alih memperoleh jati diri, bahkan untuk memberi definisi tentang jati diri dia harus mengambil dari takrif pemikira Barat. Ini seakan-akan memerangkap kita untuk tidak bisa keluar dari tawanan Barat. Jika jadi diri berkait dengan asal usul nenek moyang, bahasa, geografi maka tidak sepenuhnya ketiga unsur ini bisa menegaskan siapa kita.
Hanya saja dalam sesi tanya jawab, saya mengajukan masalah kedekatan emosional Indonesia dan Malaysia yang dimulai pada tahun 1920-an, ketiak penggiat kiri Indonesia, Tan Malaka, Sutan Djenain, Djamaluddin Saleh bereksil ke Tanjung Malim, tepatnya Sultan Idris Training College untuk sama-sama berjuang melawan kolonialisme. Tentu perasaan senasib sepenanggungan ini lahir dari perasaan kesamaan 'bahasa', sehingga mereka bisa menemukan titik pijak yang sama menghadapi penjajah. Lalu, apakah penggunaan bahasa Inggeris dalam pelajaran sains matematik di sekolah karena pembuat kebijakan banyak berlatar belakang pendidikan bahasa Inggeris dan pada masa yang sama kaum kiri tidak mendapatkan posisi untuk juga turut mengubah cara pandang bahwa bahasa Melayu itulah yang menyuburkan jati diri sebagai bangsa.
Tuesday, July 15, 2008
Minggu yang Menyenangkan
Hari minggu kemarin, kami mengisi hari dengan mengunjungi danau kampus untuk bercanda dengan ikan. Isteri saya dengan riang melempar remahan roti untuk dilahap oleh binatang yang bernapas dengan insang ini. Seperti biasa, lele berbadan jumbo itu mengalahkan ikan lain yang lebih kecil untuk memangsa roti.
Selepas menikmati danau kampus yang mulai menyegar karena dalam hari terakhir ini ditingkahi hujan, kami pun beranjak meninggalkan tempat favorit kami menuju kampus untuk mengecek tulisan koran minggu. Sayangnya, tulisan di kolom ide (opini) dan resensi saya juga belum dimuat oleh salah sebuah koran nasional. Bukan barang baru, saya harus melupakan untuk mengkoleksi surat kabar karena tulisan dimuat.
Karena rintik, kami pun bergegas. Di kampus, ruangan komputer masih sepi. Maklum liburan. Tak banyak berubah dalam penelusuran berita koran minggu, selain menengok resensi buku, kolom budaya dan sastera, saya juga mengikuti informasi politik baru, baik Malaysia maupun Indonesia. Namun, saya lebih memusatkan perhatian pada gejolak politik negeri jiran karena di sana saya bisa mengikuti secara lebih dekat berbanding pemerhati di Indonesia.
Tak lama kemudian, kami pun pulang karena perut keroncongan. Belum lagi, badan diterjang udara AC yang dingin, sehingga lapar makin menjadi. Sambil menunggu isteri memasak, saya pun terpikir untuk menunaikan niat mencuci motor butut itu. Dengan sampo clear, saya membersihkan setiap sudut dari motor yang selalu setia menemani saya pergi. Tidak itu saja, saya sekalian membersihkan surau tempat kami penghuni flat menunaikan jamaah shalat lima waktu. Saya memang sengaja membawa sapu dari rumah agar bisa mengenyahkan kotoran dari karpet dan sesawang yang menghuni langit-langit. Tapi, malangnya, saya tidak bisa menjangkau hingga ujung tembok karena tak cukup panjang menyentuhnya.
Ya, semoga dengan keadaan surau yang semakin bersih akan membuat jamaah makin nyaman dan tentu saya berharap agar lebih banyak lagi penghuni flat akan datang untuk sama-sama bersembahyang.
Selepas menikmati danau kampus yang mulai menyegar karena dalam hari terakhir ini ditingkahi hujan, kami pun beranjak meninggalkan tempat favorit kami menuju kampus untuk mengecek tulisan koran minggu. Sayangnya, tulisan di kolom ide (opini) dan resensi saya juga belum dimuat oleh salah sebuah koran nasional. Bukan barang baru, saya harus melupakan untuk mengkoleksi surat kabar karena tulisan dimuat.
Karena rintik, kami pun bergegas. Di kampus, ruangan komputer masih sepi. Maklum liburan. Tak banyak berubah dalam penelusuran berita koran minggu, selain menengok resensi buku, kolom budaya dan sastera, saya juga mengikuti informasi politik baru, baik Malaysia maupun Indonesia. Namun, saya lebih memusatkan perhatian pada gejolak politik negeri jiran karena di sana saya bisa mengikuti secara lebih dekat berbanding pemerhati di Indonesia.
Tak lama kemudian, kami pun pulang karena perut keroncongan. Belum lagi, badan diterjang udara AC yang dingin, sehingga lapar makin menjadi. Sambil menunggu isteri memasak, saya pun terpikir untuk menunaikan niat mencuci motor butut itu. Dengan sampo clear, saya membersihkan setiap sudut dari motor yang selalu setia menemani saya pergi. Tidak itu saja, saya sekalian membersihkan surau tempat kami penghuni flat menunaikan jamaah shalat lima waktu. Saya memang sengaja membawa sapu dari rumah agar bisa mengenyahkan kotoran dari karpet dan sesawang yang menghuni langit-langit. Tapi, malangnya, saya tidak bisa menjangkau hingga ujung tembok karena tak cukup panjang menyentuhnya.
Ya, semoga dengan keadaan surau yang semakin bersih akan membuat jamaah makin nyaman dan tentu saya berharap agar lebih banyak lagi penghuni flat akan datang untuk sama-sama bersembahyang.
Monday, July 14, 2008
Meraup Semangat dari Liyan
Sejak semalam, saya telah merencanakan untuk hadir pada acara kuliah umum (syarahan umum) Dato' Sri Idris Jala, Direktur Maskapai Malaysian Airlines (MAS). Saya tak banyak tahu tentang mantan mahasiswa manajemen USM ini, selain hanya mengenalnya sebagai manajer yang berhasil membantu MAS dari kebangkrutan karena persoalan keuangan.
Ternyata, kabar itu bukan mengada-ngada. Tadi pagi, saya melihat sosoknya secara lebih dekat karena dia dan tamu yang lain berjalan melewati kursi yang saya duduki di bagian tengan dekat panggung. Acara yang dikemas dalam tajuk Business Turnaround: The MAS Experience berjalan lancar, meskipun tak banyak peserta yang meramaikan untuk mendengar pengalaman keberhasilan anak Sarawak ini memberikan keuntungan tertinggi dalam sejarahnya pada perusahaan pemerintah Malaysia yang berada dalam manajemen GLC atau Government Link Corporate.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh organisasi alumni USM sebagai bentuk kepedulian mereka mewujudkan hubungan alumni dan almamater agar melahirkan hubungan saling menguntungkan. Sebelum memasuki ruangan, saya mengisi daftar hadir dan menerima nota bertuliskan Pejabat Perhubungan Alumni (Kantor Alumni) dan sekilas gambaran di halaman depan tentang organisasi alumni yang beralamat di http://www.usm.my/alumni.
Seperti diceritakan, anak kelahiran Miri ini diminta oleh pemerintahan untuk membenahi MAS dan dia keluar dari tempatnya bekerja, Shell, perusahaan minyak milik Belanda Inggeris. Paling tidak ada enam kunci sukses, yaitu a. The Game of The Impossible b. Anchoring The P and L c. The Discipline of action d. Situational Leadership e. Winning Coaliton and finally f. Divine Intervention. Dengan media presentasi power point, dia menguraikan dengan bahasa Inggeris yang jelas dan lugas tentang semua rahasia ini dan acapkali diselingi dengan kutipan bernuansa falsafah, seperti perkataan Ray Croc The Quality of an individual is reflected in the standards they set for themselves. Seorang pribadi dinilai dari apa yang dilakukan dalam keseharian.
Dari uraiannya, saya bisa menyimpulkan bahwa tokoh manajer ini banyak membaca, karena ketika berbicara tentang Campur Tangan Tuhan, dia membicarakan tentang nilai dan tindakan. Dengan mengutip teori Johan Galtung, Theory of Social Cosmology, manusia akan mendapatkan sesuatu yang tak bisa dikontrol (60% , dibandingkan 40% yang bisa dikawal) apabila mereka menjadi seorang manusia yang baik. Mungkin, saya perlu membaca lebih jauh tentang teori ini untuk mengenal lebih jauh apa sebenarnya relevansi pemikir futurologi ini tentang manusia.
Saturday, July 12, 2008
Kabar Baik itu Mungkin Disalahpahami
Isteri saya mengkritik cerita saya di sini tentang kegiatan saya berjamaah di surau flat. Mungkin, penceritaan ini sebentuk narsisme yang tak baik bagi kesehatan. Namun, saya berkilah. Toh, saya juga mengungkapkan kehadiran jamaah lain, pekerja Pakistan yang juga tinggal di satu rumah susun. Malah, saya menyebut nama segala, seperti Naim, Sayyidul Islam, dan Ali.
Pagi ini, kami berdiskusi bahwa saya berjamaah maghrib untuk sekaligus menjalin silaturahmi dengan warga flat. Lagi pula, saya paling banter mengunjungi surau yang 'tak terawat' itu waktu maghrib. Di sini, saya bisa saling bertukar sapa dan cerita. Lebih dari itu, saya yakin bahwa jamaah itu mempunyai implikasi sosial, tidak hanya batin pengamalnya. Betapa saya juga memberikan apresiasi pada mereka yang juga meluangkan waktu untuk bershalat bersama. Pendek kata, orang lain juga bisa melakukannya.
Di benak ini sekarang berkelebat, apakah yang harus kami lakukan agar surau itu tidak terbengkalai? Sesawang di langit-langit, sajadah yang apak karena tak dicuci, sampah di halaman yang tak sempat dibersihkan dan pagar tembok yang kusut karena lama tak disentuh dilabur cat putih menambah buram rumah Tuhan di sana. Padahal, saya melihat banyak penghuni Muslim di rumah tingkat itu. Mungkin, saya akan membicarakannya dengan rekan jamaah, Pak Agung, yang juga setia merawat surau tersebut.
Pagi ini, kami berdiskusi bahwa saya berjamaah maghrib untuk sekaligus menjalin silaturahmi dengan warga flat. Lagi pula, saya paling banter mengunjungi surau yang 'tak terawat' itu waktu maghrib. Di sini, saya bisa saling bertukar sapa dan cerita. Lebih dari itu, saya yakin bahwa jamaah itu mempunyai implikasi sosial, tidak hanya batin pengamalnya. Betapa saya juga memberikan apresiasi pada mereka yang juga meluangkan waktu untuk bershalat bersama. Pendek kata, orang lain juga bisa melakukannya.
Di benak ini sekarang berkelebat, apakah yang harus kami lakukan agar surau itu tidak terbengkalai? Sesawang di langit-langit, sajadah yang apak karena tak dicuci, sampah di halaman yang tak sempat dibersihkan dan pagar tembok yang kusut karena lama tak disentuh dilabur cat putih menambah buram rumah Tuhan di sana. Padahal, saya melihat banyak penghuni Muslim di rumah tingkat itu. Mungkin, saya akan membicarakannya dengan rekan jamaah, Pak Agung, yang juga setia merawat surau tersebut.
Friday, July 11, 2008
Membuang bosan dengan Body Language
Tadi sore, kami secara spontan melakukan senam di rumah. Meskipun, baru pertama, saya cukup akrab dengan gerakan yang diperagakan isteri, karena pernah melihat sebelumnya di pelbagai kesempatan. Dulu, ANTEVE sering memutar senam di pinggir kolam setiap pagi.
Ternyata, tangan terasa pegal karena tak terbiasa dengan gerakan yang diajarkan isteri. Tapi, saya tetap memaksakan diri untuk terus menggerakkan lengan agar otot meregang. Tak terasa, keringat mulai keluar, meski tak deras. Saya betul-betul menemukan dunia baru karena ini adalah pengalaman pertama. Apalagi, sudah dua mingguan saya tak berolahraga.
Kata isteri, senam ini cocok untuk perempuan, tapi bagi saya, ini juga bisa dilakukan kaum lelaki. Intinya, kita perlu memanaskan badan dengan gerakan agar metabolisme tubuh berjalan normal. Nyatanya, saya merasa lebih ringan dan mandi pun terasa segar. Namun, sebelum memasuki kamar mandi, saya harus mengeringkan keringat dengan menyalakan kipas di titik angka 3. Baru setelah kering, saya mengguyur tubuh dengan air yang seperti menusuk kulit karena dingin.
Ternyata, tangan terasa pegal karena tak terbiasa dengan gerakan yang diajarkan isteri. Tapi, saya tetap memaksakan diri untuk terus menggerakkan lengan agar otot meregang. Tak terasa, keringat mulai keluar, meski tak deras. Saya betul-betul menemukan dunia baru karena ini adalah pengalaman pertama. Apalagi, sudah dua mingguan saya tak berolahraga.
Kata isteri, senam ini cocok untuk perempuan, tapi bagi saya, ini juga bisa dilakukan kaum lelaki. Intinya, kita perlu memanaskan badan dengan gerakan agar metabolisme tubuh berjalan normal. Nyatanya, saya merasa lebih ringan dan mandi pun terasa segar. Namun, sebelum memasuki kamar mandi, saya harus mengeringkan keringat dengan menyalakan kipas di titik angka 3. Baru setelah kering, saya mengguyur tubuh dengan air yang seperti menusuk kulit karena dingin.
Thursday, July 10, 2008
Lagi-lagi tentang Hujan
Genangan air di aspal parkir flat bergerak diterpa butiran rintik hujan. Pertanda hujan masih turun. Ya, sebelumnya, saya telah melihat mendung hitam berarak di atas bukit ketika baru keluar dari Fakultas Pendidikan bersama Zailani. Kata kawan karib saya, sebentar lagi hujan. Ya, ternyata jam 12-an hujan benar-benar tumpah dari langit.
Saya bersyukur karena tanah yang akan dipijak nanti telah basah. Tiba-tiba saya bergidik hujan kali ini disertai angin kencang. Bunyi desirnya mendebarkan. Samar-samar terdengar benda jatuh berdegum keras. Di tengah hujan deras itu, saya menengok sekilas dari jendela kampus butiran hujan yang jatuh dalam kemiringan karena diterpa angin keras. Stenly, kawan karib saya, berkali-kali melihat hujan melalui jendela dengan menguak gorden.
Hingga jam 1, hujan masih mengguyur bumi. Tapi, saya tak pernah malas menghadapi cuaca seperti ini. Justeru, dengan payung, saya betul-betul menikmati langkah kaki menuju ke mana pun. Kebetulan, saya ingin mengisi botol air minum di kantor pasca sarjana. Selepas penuh, saya pun beranjak melewati lorong menuju perpustakaan. Segera saya meneliti siapa tahu ada buku baru di rak pameran. Tak ada buku yang membuat tangan ini tertarik mengambilnya.
Kemudian, saya beralih ke rak bagian buku keislaman. Di sini, saya mengambil karya Ibn Taimiyyah, Politik Syar'ie, yang diterjemahkan oleh Hamid Fahmi dan Asep Sobari. Dengan membacanya, saya berharap lebih mengenal secara dekat apa yang dipikirkan tokoh 'konservatif' ini. Untuk bandingan, saya juga meminjam karangan Dale F Eickelman, Ekspresi Politik Muslim. Tambahan lagi, buku Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan adalah amunisi lain untuk melengkapi bacaan tentang Islam politik.
Guratan di atas dilakukan sambil mengasup nasi goreng yang dibuat oleh isteri. Ya, nasi panas itu menambah hangat suasana di sore yang dingin. Ditingkahi lagu lembut dari radio Hot FM, kami menikmati senja kala itu dengan riang.
Saya bersyukur karena tanah yang akan dipijak nanti telah basah. Tiba-tiba saya bergidik hujan kali ini disertai angin kencang. Bunyi desirnya mendebarkan. Samar-samar terdengar benda jatuh berdegum keras. Di tengah hujan deras itu, saya menengok sekilas dari jendela kampus butiran hujan yang jatuh dalam kemiringan karena diterpa angin keras. Stenly, kawan karib saya, berkali-kali melihat hujan melalui jendela dengan menguak gorden.
Hingga jam 1, hujan masih mengguyur bumi. Tapi, saya tak pernah malas menghadapi cuaca seperti ini. Justeru, dengan payung, saya betul-betul menikmati langkah kaki menuju ke mana pun. Kebetulan, saya ingin mengisi botol air minum di kantor pasca sarjana. Selepas penuh, saya pun beranjak melewati lorong menuju perpustakaan. Segera saya meneliti siapa tahu ada buku baru di rak pameran. Tak ada buku yang membuat tangan ini tertarik mengambilnya.
Kemudian, saya beralih ke rak bagian buku keislaman. Di sini, saya mengambil karya Ibn Taimiyyah, Politik Syar'ie, yang diterjemahkan oleh Hamid Fahmi dan Asep Sobari. Dengan membacanya, saya berharap lebih mengenal secara dekat apa yang dipikirkan tokoh 'konservatif' ini. Untuk bandingan, saya juga meminjam karangan Dale F Eickelman, Ekspresi Politik Muslim. Tambahan lagi, buku Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan adalah amunisi lain untuk melengkapi bacaan tentang Islam politik.
Guratan di atas dilakukan sambil mengasup nasi goreng yang dibuat oleh isteri. Ya, nasi panas itu menambah hangat suasana di sore yang dingin. Ditingkahi lagu lembut dari radio Hot FM, kami menikmati senja kala itu dengan riang.
Masih tentang Hujan
Hujan adalah peristiwa biasa, seperti panas terik dan gelap malam. Tapi, di Pulau Pinang, tempat saya tinggal, ia adalah berkah yang tak terkira. Betapa saya bisa menghitung dengan jari peristiwa air tumpah dari langit. Belum lagi, curahnya tak banyak dan tak lama, sehingga air itu tak meresap dalam ke bumi.
Semalam, sebelum jam 11 tepat, tiba-tiba saya mendengar bunyi gemerisik air menimpa kanopi rumah di bawah lantai 8, tempat kami bermukim. Ya, hujan! Saya 'melonjak' girang, meski tak perlu berdiri dan menghentakkan kaki. Hujan deras dan tak sebentar seperti biasa. Untuk merasakannya, saya membuka nako jendela, menikmati butiran air jatuh di sela cahaya lampu penerang parkir flat. Lama, kami berdiri untuk merasakan dingin yang mulai menyelusup lubang di sela kaca nako.
Karena tak tidur siang, saya beranjak tidur awal dan terus menikmati bunyi hujan yang makin lebat. Di benak, saya membayangkan bahwa pagi esok adalah keindahan, karena pepohonan akan lebih hijau dan tanah basah mengabarkan keriangan. Ya, tak elok, tanah itu kering kerontang. Dengan basah, tanah itu akan merasakan nyaman, sebab tanaman mendapakan makanan.
Ternyata, pagi memang basah. Saya berangkat ke kampus lebih awal. Selain ingin mencecapi tanah basah, saya juga ingin memenuhi janji bertemu dengan kawan karib, Zailani dan Shaikh Abdullah di kantin kampus, Zubaidah. Di pertigaan jalan keluar flat, saya sempat melihat matahari bertengger di ufuk sana. Duh, seketika, saya merasakan cahaya lembut menerpa, tak hanya wajah tapi juga hati. Karena jarum bensin mendekati tanda merah, saya mampir ke pom bensin (di Malaysia disebut stesen minyak) Petronas. Dengan RM 5, saya mendapatkan bensin kurang dari 2 liter.
Sesampai di depan parkir kampus, saya melihat dekan Fakultas Humaniora, Prof Dr Abu Talib dan menunggu sebentar untuk bersalaman. Lalu, berlalu tak lama setelah beliau bilang, saya tak kelihatan, dan jawab saya, bahwa baru balik dari Indonesia. Beliau sosok yang ramah dan dekat dengan mahasiswa. Selain itu, beliau rendah hati (di sana rendah diri), tak menampakkan orang berposisi tinggi. Sebuah teladan yang patut direkam.
Seperti biasa, di ruang komputer kampus, saya membuka email, koran on line (pertama koran Tempo) karena ternyata versi on line baru dua hari yang lalu bisa diakses. Sayangnya, tulisan saya belum (tidak) dimuat. Kemudian saya berburu berita di sejumlah surat kabar dan tidak lupa meneliti artikel opini masing-masing koran.
Jam 8.50, saya menghampiri Zailani untuk bersama-sama menemui Shaikh di kantin. Di sana, saya memesan tosa, semacam kroket India, dan kopi panas. Sementara, Shaikh tak sarapan karena sedang berpuasa sunnah. Di sana, mereka berdua berdiskusi tentang penghakiman moral (moral judgement) di kalangan siswa sekolah menengah. Salah satu pokok masalah adalah pengertian moral dan akhlak yang bisa bertukar tempat, padahal keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Yang pertama mengacu pada tradisi Barat dan kedua pada Islam. Shaikh tidak mempermasalahkan penukaran tempat istilah dan bahkan menyarankan untuk menggunakan standar sendiri dalam pemberian pengertian terhadap moral, dengan catatan menggunakan kerangka Islami.
Hanya setengah jam kami berdiskusi, lalu bubaran.
Semalam, sebelum jam 11 tepat, tiba-tiba saya mendengar bunyi gemerisik air menimpa kanopi rumah di bawah lantai 8, tempat kami bermukim. Ya, hujan! Saya 'melonjak' girang, meski tak perlu berdiri dan menghentakkan kaki. Hujan deras dan tak sebentar seperti biasa. Untuk merasakannya, saya membuka nako jendela, menikmati butiran air jatuh di sela cahaya lampu penerang parkir flat. Lama, kami berdiri untuk merasakan dingin yang mulai menyelusup lubang di sela kaca nako.
Karena tak tidur siang, saya beranjak tidur awal dan terus menikmati bunyi hujan yang makin lebat. Di benak, saya membayangkan bahwa pagi esok adalah keindahan, karena pepohonan akan lebih hijau dan tanah basah mengabarkan keriangan. Ya, tak elok, tanah itu kering kerontang. Dengan basah, tanah itu akan merasakan nyaman, sebab tanaman mendapakan makanan.
Ternyata, pagi memang basah. Saya berangkat ke kampus lebih awal. Selain ingin mencecapi tanah basah, saya juga ingin memenuhi janji bertemu dengan kawan karib, Zailani dan Shaikh Abdullah di kantin kampus, Zubaidah. Di pertigaan jalan keluar flat, saya sempat melihat matahari bertengger di ufuk sana. Duh, seketika, saya merasakan cahaya lembut menerpa, tak hanya wajah tapi juga hati. Karena jarum bensin mendekati tanda merah, saya mampir ke pom bensin (di Malaysia disebut stesen minyak) Petronas. Dengan RM 5, saya mendapatkan bensin kurang dari 2 liter.
Sesampai di depan parkir kampus, saya melihat dekan Fakultas Humaniora, Prof Dr Abu Talib dan menunggu sebentar untuk bersalaman. Lalu, berlalu tak lama setelah beliau bilang, saya tak kelihatan, dan jawab saya, bahwa baru balik dari Indonesia. Beliau sosok yang ramah dan dekat dengan mahasiswa. Selain itu, beliau rendah hati (di sana rendah diri), tak menampakkan orang berposisi tinggi. Sebuah teladan yang patut direkam.
Seperti biasa, di ruang komputer kampus, saya membuka email, koran on line (pertama koran Tempo) karena ternyata versi on line baru dua hari yang lalu bisa diakses. Sayangnya, tulisan saya belum (tidak) dimuat. Kemudian saya berburu berita di sejumlah surat kabar dan tidak lupa meneliti artikel opini masing-masing koran.
Jam 8.50, saya menghampiri Zailani untuk bersama-sama menemui Shaikh di kantin. Di sana, saya memesan tosa, semacam kroket India, dan kopi panas. Sementara, Shaikh tak sarapan karena sedang berpuasa sunnah. Di sana, mereka berdua berdiskusi tentang penghakiman moral (moral judgement) di kalangan siswa sekolah menengah. Salah satu pokok masalah adalah pengertian moral dan akhlak yang bisa bertukar tempat, padahal keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Yang pertama mengacu pada tradisi Barat dan kedua pada Islam. Shaikh tidak mempermasalahkan penukaran tempat istilah dan bahkan menyarankan untuk menggunakan standar sendiri dalam pemberian pengertian terhadap moral, dengan catatan menggunakan kerangka Islami.
Hanya setengah jam kami berdiskusi, lalu bubaran.
Wednesday, July 09, 2008
Anwar Ibrahim di Ujung Tanduk
[Jawa Pos, Rabu, 09 Juli 2008 ]
Oleh Ahmad Sahidah*
Hingga memasuki minggu kedua, kasus ''sodomi'' Anwar Ibrahim masih menghiasi media utama Malaysia. Malah, sekarang drama tersebut memasuki babak baru, yaitu perseteruan terbuka antara tokoh reformasi itu dan calon perdana menteri Mohammad Najib Tun Razak. Gonjang-ganjing itu seakan-akan menegaskan apa yang jauh sebelumnya diramalkan kolumnis terkemuka Hishamuddin Rais bahwa pertarungan akhir dari carut-marut politik akhir-akhir ini adalah antara Anwar dan Najib (Malaysia Kini, 18 Mei 2008).
Keduanya saling menyerang dengan amunisi masing-masing. Najib tentu saja lebih diuntungkan karena didukung media arus utama, sementara Anwar hanya berbekal kemampuan orasinya dan media alternatif yang mempunyai daya jangkau terbatas. Tentu saja, media blog tak bisa sepenuhnya dipercaya. Meskipun kadang memberikan sensasi tersendiri dalam memengaruhi opini publik. Pengakuan Mohd Saiful Bukhari Azlan, mantan pembantu Anwar, yang disodomi mantan bosnya mengentak publik Malaysia.
Akankah kasus ''sodomi'' yang pernah menjungkalkan Anwar akan terulang? Dulu, mantan aktivis mahasiswa itu harus meringkuk di penjara karena kasus yang sama dan telah menghentikan langkahnya untuk menjadi orang nomor satu di negeri jiran. Namun, keadaan berubah. Setelah Mahathir mundur, penggantinya, Pak Lah - panggilan Abdullah Badawi- ''mengeluarkan'' Anwar dari bui dan bahkan secara tidak langsung menunjukkan simpatinya dengan memberikan paspor untuk bisa berobat ke luar negeri melalui menantunya, Khairi Jamaluddin.
Hegemoni Media Arus Utama
Akta Mesin Cetak dan Penerbitan (1984) adalah instrumen undang-undang yang digunakan pemerintah untuk mengekang kebebasan media. Setelah pemilihan umum ke-12, kekangan mulai dilonggarkan. Keputusan Syed Hamid Albar untuk memberikan izin penerbitan koran Suara Keadilan adalah angin segar bagi perkembangan demokrasi pers. Demikian pula, pemberian perpanjangan izin kepada koran berbahasa India, Makkal Osai, menambah keyakinan publik terhadap iklim kebebasan berekspresi.
Saya melihat tokoh keturunan Arab itu mempunyai pandangan terbuka dan cakrawala yang luas. Sebelumnya, ketika memegang posisi menteri luar negeri, dia mengundang Karen Amstrong, penulis The History of God, dalam konferensi internasional bertajuk Islam and The West: Bridging the Gap (15-16 Juni 2007) bahwa saya turut menghadiri acara tersebut. Sementara itu, pada masa yang sama, Kementerian Dalam Negeri melarang buku mantan biarawati tersebut beredar di Malaysia lantaran pandangannya dianggap menyimpang (liberal).
Namun, kelonggaran yang ditunjukkan itu belum berpengaruh kepada pemberitaan yang seimbang pada media utama, baik koran, televisi, maupun radio. Semua alat itu masih berada di bawah kendali pemerintah, sementara pihak oposisi mengais dari media yang mereka produksi, tetapi minim sirkulasi dan miskin dana karena iklan terbatas. Namun, perimbangan kekuasaan memaksa media utama harus berbagi dengan oposisi karena mereka memerintah di beberapa negara bagian yang makmur, seperti Selangor dan Pulau Pinang.
Berkaitan dengan kasus Anwar, saya menemukan kecenderungan media arus utama untuk menggiring pendapat masyarakat agar tidak memercayai mantan menteri keuangan itu. Pemilihan judul dan kandungan berita dibuat sehalus mungkin untuk menimbulkan opini bahwa tokoh dialog peradaban itu tak layak berkuasa.
Namun, media oposisi berada dalam keadaan sebaliknya. Hanya di media alternatif, seperti Malaysia Kini dan The Sun, kita bisa menemukan berita yang mencoba untuk menghadirkan pandangan kedua pihak.
Peluang Anwar Ibrahim
Dalam situs pribadi yang beralamat di www.anwaribrahimblog.com, tokoh terkemuka Asia itu mem-posting tulisan Hamid Basyaib dari Freedom Institute Indonesia yang memujinya selangit, meskipun didahului dengan uraian jatuh bangun Anwar di dalam meniti karir sebagai politisi beken. Tidak ada seorang pun yang bisa menyangkal betapa dia telah berjuang membela rakyat sejak menjadi mahasiswa.
Aktivisme itulah yang menyebabkan dia mendekam di hotel prodeo karena membela petani yang kelaparan di kampung Baling pada 1970-an melalui demonstrasi dan mogok makan.
Nama Anwar makin berkibar karena media asing, seperti AFP, Reuters, dan Al Jazirah, memberikan tempat yang istimewa. Tambahan lagi, majalah Newsweek (Maret, 2008) menjadikan dia sebagai gambar sampul dan berita utama. Jelas-jelas posisi itu menguntungkan Anwar karena terekspos untuk kalangan kelas menengah. Sementara itu, untuk menjangkau kelas bawah, Anwar memanfaatkan kepiawaiannya berpidato yang sangat memukau. Retorikanya disangga oleh latar belakang pendidikannya dalam sastra Melayu dan pengalaman yang luas sebagai mantan pejabat teras.
Bukan itu saja, dukungan banyak pemimpin dunia telah menempatkan Anwar pada posisi menguntungkan. Kedekatannya dengan Perdana Menteri Turki Tayib Erdogan menyebabkan mantan wakil PM itu mudah bersembunyi di Kedutaan Besar Turki di Kuala Lumpur. Bahkan, Tom Casey, juru bicara pemerintah Amerika, mendesak pemerintah Malaysia untuk tidak memidanakan Anwar karena dugaan kuat bahwa tuduhan sodomi adalah konspirasi politik. Sayang, hingga hari ini kita belum mendengar pembelaan sejawatnya dari Indonesia.
Bagaimanapun, Anwar telah berhasil memaksa pers dalam negeri yang tidak pernah memberikan tempat dan meyakinkan rakyat Malaysia bahwa dirinya sebenarnya layak menjadi sumber berita dan ujung-ujungnya sebagai pemimpin fajar baru karena diakui dunia.
Bagaimanapun, pers luar negeri telah menjadikan dia sebagai berita utama (making news), sebagai bentuk pengakuan dengan menyebutnya dalam judul besar Anwar Ibrahim was Asia's Most Celebrated Young Leader before He Was Sent to Jail. Now, He Has a Second Chance (Newsweek, 24/5/08)
*Ahmad Sahidah, kandidat doktor Departemen Filsafat dan Peradaban, Universitas Sains, Malaysia
Oleh Ahmad Sahidah*
Hingga memasuki minggu kedua, kasus ''sodomi'' Anwar Ibrahim masih menghiasi media utama Malaysia. Malah, sekarang drama tersebut memasuki babak baru, yaitu perseteruan terbuka antara tokoh reformasi itu dan calon perdana menteri Mohammad Najib Tun Razak. Gonjang-ganjing itu seakan-akan menegaskan apa yang jauh sebelumnya diramalkan kolumnis terkemuka Hishamuddin Rais bahwa pertarungan akhir dari carut-marut politik akhir-akhir ini adalah antara Anwar dan Najib (Malaysia Kini, 18 Mei 2008).
Keduanya saling menyerang dengan amunisi masing-masing. Najib tentu saja lebih diuntungkan karena didukung media arus utama, sementara Anwar hanya berbekal kemampuan orasinya dan media alternatif yang mempunyai daya jangkau terbatas. Tentu saja, media blog tak bisa sepenuhnya dipercaya. Meskipun kadang memberikan sensasi tersendiri dalam memengaruhi opini publik. Pengakuan Mohd Saiful Bukhari Azlan, mantan pembantu Anwar, yang disodomi mantan bosnya mengentak publik Malaysia.
Akankah kasus ''sodomi'' yang pernah menjungkalkan Anwar akan terulang? Dulu, mantan aktivis mahasiswa itu harus meringkuk di penjara karena kasus yang sama dan telah menghentikan langkahnya untuk menjadi orang nomor satu di negeri jiran. Namun, keadaan berubah. Setelah Mahathir mundur, penggantinya, Pak Lah - panggilan Abdullah Badawi- ''mengeluarkan'' Anwar dari bui dan bahkan secara tidak langsung menunjukkan simpatinya dengan memberikan paspor untuk bisa berobat ke luar negeri melalui menantunya, Khairi Jamaluddin.
Hegemoni Media Arus Utama
Akta Mesin Cetak dan Penerbitan (1984) adalah instrumen undang-undang yang digunakan pemerintah untuk mengekang kebebasan media. Setelah pemilihan umum ke-12, kekangan mulai dilonggarkan. Keputusan Syed Hamid Albar untuk memberikan izin penerbitan koran Suara Keadilan adalah angin segar bagi perkembangan demokrasi pers. Demikian pula, pemberian perpanjangan izin kepada koran berbahasa India, Makkal Osai, menambah keyakinan publik terhadap iklim kebebasan berekspresi.
Saya melihat tokoh keturunan Arab itu mempunyai pandangan terbuka dan cakrawala yang luas. Sebelumnya, ketika memegang posisi menteri luar negeri, dia mengundang Karen Amstrong, penulis The History of God, dalam konferensi internasional bertajuk Islam and The West: Bridging the Gap (15-16 Juni 2007) bahwa saya turut menghadiri acara tersebut. Sementara itu, pada masa yang sama, Kementerian Dalam Negeri melarang buku mantan biarawati tersebut beredar di Malaysia lantaran pandangannya dianggap menyimpang (liberal).
Namun, kelonggaran yang ditunjukkan itu belum berpengaruh kepada pemberitaan yang seimbang pada media utama, baik koran, televisi, maupun radio. Semua alat itu masih berada di bawah kendali pemerintah, sementara pihak oposisi mengais dari media yang mereka produksi, tetapi minim sirkulasi dan miskin dana karena iklan terbatas. Namun, perimbangan kekuasaan memaksa media utama harus berbagi dengan oposisi karena mereka memerintah di beberapa negara bagian yang makmur, seperti Selangor dan Pulau Pinang.
Berkaitan dengan kasus Anwar, saya menemukan kecenderungan media arus utama untuk menggiring pendapat masyarakat agar tidak memercayai mantan menteri keuangan itu. Pemilihan judul dan kandungan berita dibuat sehalus mungkin untuk menimbulkan opini bahwa tokoh dialog peradaban itu tak layak berkuasa.
Namun, media oposisi berada dalam keadaan sebaliknya. Hanya di media alternatif, seperti Malaysia Kini dan The Sun, kita bisa menemukan berita yang mencoba untuk menghadirkan pandangan kedua pihak.
Peluang Anwar Ibrahim
Dalam situs pribadi yang beralamat di www.anwaribrahimblog.com, tokoh terkemuka Asia itu mem-posting tulisan Hamid Basyaib dari Freedom Institute Indonesia yang memujinya selangit, meskipun didahului dengan uraian jatuh bangun Anwar di dalam meniti karir sebagai politisi beken. Tidak ada seorang pun yang bisa menyangkal betapa dia telah berjuang membela rakyat sejak menjadi mahasiswa.
Aktivisme itulah yang menyebabkan dia mendekam di hotel prodeo karena membela petani yang kelaparan di kampung Baling pada 1970-an melalui demonstrasi dan mogok makan.
Nama Anwar makin berkibar karena media asing, seperti AFP, Reuters, dan Al Jazirah, memberikan tempat yang istimewa. Tambahan lagi, majalah Newsweek (Maret, 2008) menjadikan dia sebagai gambar sampul dan berita utama. Jelas-jelas posisi itu menguntungkan Anwar karena terekspos untuk kalangan kelas menengah. Sementara itu, untuk menjangkau kelas bawah, Anwar memanfaatkan kepiawaiannya berpidato yang sangat memukau. Retorikanya disangga oleh latar belakang pendidikannya dalam sastra Melayu dan pengalaman yang luas sebagai mantan pejabat teras.
Bukan itu saja, dukungan banyak pemimpin dunia telah menempatkan Anwar pada posisi menguntungkan. Kedekatannya dengan Perdana Menteri Turki Tayib Erdogan menyebabkan mantan wakil PM itu mudah bersembunyi di Kedutaan Besar Turki di Kuala Lumpur. Bahkan, Tom Casey, juru bicara pemerintah Amerika, mendesak pemerintah Malaysia untuk tidak memidanakan Anwar karena dugaan kuat bahwa tuduhan sodomi adalah konspirasi politik. Sayang, hingga hari ini kita belum mendengar pembelaan sejawatnya dari Indonesia.
Bagaimanapun, Anwar telah berhasil memaksa pers dalam negeri yang tidak pernah memberikan tempat dan meyakinkan rakyat Malaysia bahwa dirinya sebenarnya layak menjadi sumber berita dan ujung-ujungnya sebagai pemimpin fajar baru karena diakui dunia.
Bagaimanapun, pers luar negeri telah menjadikan dia sebagai berita utama (making news), sebagai bentuk pengakuan dengan menyebutnya dalam judul besar Anwar Ibrahim was Asia's Most Celebrated Young Leader before He Was Sent to Jail. Now, He Has a Second Chance (Newsweek, 24/5/08)
*Ahmad Sahidah, kandidat doktor Departemen Filsafat dan Peradaban, Universitas Sains, Malaysia
Tuesday, July 08, 2008
Robohnya Surau Kami
Karya A. A. Navis ini saya telah kenal ketika masih bersekolah di tingkat menengah. Tentu dalam pelajaran bahasa Indonesia. Anehnya, saya baru membacanya secara utuh, tidak hanya tahu judulnya, setelah berada di Malaysia. Kumpulan karya penyair ranah Minang ini saya pinjam dari perpustakaan kampus.
Lalu, apa makna simbolik yang bisa kita petik dari karya ini? Ya, rumah ibadah kita tak hanya dibangun lalu ditinggalkan. Meski ia tegas, bisa jadi, eksistensinya telah runtuh karena dikosongkan oleh penganutnya. Sebagaimana surau di flat tempat kami tinggal. Semalam, hanya 6 orang Pakistan yang menunaikan jamaah Maghrib. Lalu, ke mana yang lain? Mungkin, mereka kecapaian setelah pulang kerja.
Untuk kesekian kalinya, saya merasa terenyuh dengan keadaan surau ini. Karpetnya berbau apak dan tembok di atas sana ditumbuhi 'kotoran'. Demikian pula, pintu pagar juga tak berfungsi, sehingga kadang ada kotoran binatang di depan surau. Memang, saya kadang membersihkan sampah, seperti bungkus makanan, kertas tisu dan dedaunan yang berserak di halaman surau. Lebih dari itu, kadang saya juga membersihkan sisa-sisa sayap laron yang melekat di karpet dengan sapu kecil.
Oh ya, di surau ini, saya menemukan kitab Yasin dan terjemahannya yang diterbitkan Swarnadwipa Bandung, 1969. Selain itu, desain buku ini dilakukan seorang ahli kaligrafi ternama Indonesia A.D. Pirous. Tidak itu saja, di sini saya juga menemukan al-Qur'an terjehaman Departemen Agama Indonesia yang diterbitkan ulang oleh C.V. Toha Putera Semarang.
Selepas jamaah, saya masih menunaikan shalat sunnah. Sang imam tak membaca doa keras dan diaminkan oleh makmum. Berbeda dengan di kampung, selalu saja, sang iman melakukan ini untuk memimpin doa. Lalu, saya bergegas pulang. Di depan pintu lift, saya berjumpa dengan sang iman dan berkenalan. Namanya Sayyidul Islam, asal Pakistan.
Lalu, apa makna simbolik yang bisa kita petik dari karya ini? Ya, rumah ibadah kita tak hanya dibangun lalu ditinggalkan. Meski ia tegas, bisa jadi, eksistensinya telah runtuh karena dikosongkan oleh penganutnya. Sebagaimana surau di flat tempat kami tinggal. Semalam, hanya 6 orang Pakistan yang menunaikan jamaah Maghrib. Lalu, ke mana yang lain? Mungkin, mereka kecapaian setelah pulang kerja.
Untuk kesekian kalinya, saya merasa terenyuh dengan keadaan surau ini. Karpetnya berbau apak dan tembok di atas sana ditumbuhi 'kotoran'. Demikian pula, pintu pagar juga tak berfungsi, sehingga kadang ada kotoran binatang di depan surau. Memang, saya kadang membersihkan sampah, seperti bungkus makanan, kertas tisu dan dedaunan yang berserak di halaman surau. Lebih dari itu, kadang saya juga membersihkan sisa-sisa sayap laron yang melekat di karpet dengan sapu kecil.
Oh ya, di surau ini, saya menemukan kitab Yasin dan terjemahannya yang diterbitkan Swarnadwipa Bandung, 1969. Selain itu, desain buku ini dilakukan seorang ahli kaligrafi ternama Indonesia A.D. Pirous. Tidak itu saja, di sini saya juga menemukan al-Qur'an terjehaman Departemen Agama Indonesia yang diterbitkan ulang oleh C.V. Toha Putera Semarang.
Selepas jamaah, saya masih menunaikan shalat sunnah. Sang imam tak membaca doa keras dan diaminkan oleh makmum. Berbeda dengan di kampung, selalu saja, sang iman melakukan ini untuk memimpin doa. Lalu, saya bergegas pulang. Di depan pintu lift, saya berjumpa dengan sang iman dan berkenalan. Namanya Sayyidul Islam, asal Pakistan.
Monday, July 07, 2008
Bersama Pak Allwar
Bapak yang satu ini adalah kawan sekamar asrama. Hampir selama dua tahun kami berbagi. Sekarang, beliau pindah ke flat Jade View tak jauh kampus. Tadi pagi, kami berdua pergi ke Konsulat Indonesia untuk mengurus pindah alamat. Selain itu, saya juga menemui Pak Ayub untuk membincangkan persiapalan Pemilu Indonesia di Pulau Pinang. Bapak yang kalem ini menegaskan bahwa urusan kepanitiaan pemilihan umum telah diserahkan pada Bapak Karnadi.
Seusai dari urusan ini, kami pun pulang ke USM. Malah, kami pun juga sama-sama mengunjungi klinik kampus. Sekarang, bangunan pusat kesehatan ini lebih luas dan nyaman. Proses pendaftaran tak mengalami perubahan, di mana saya harus mendaftar untuk mendapatkan nomor, lalu ke pusat saringan (screening), baru kemudian menunggu panggilan otomatik. Untuk kesekian kalinya, saya menjumpai Dr Noormala. Beliau adalah dokter yang sangat baik dan penuh perhatian pada pasiennya. Di sini, saya juga bertemu dengan teman Indonesia dan Malaysia berkebangsaan India, Mr Tarsame. Dengan yang terakhir ini, kami pun berbincang sambil menunggu giliran.
Dalam perjalanan mengambil obat di farmasi, saya menimbang berat badan yang telah mencapai 60 Kg. Sesampai di pusat obat ini, saya juga bertemu Khursid, kawan dari Pakistan. Tiba-tiba, kami pun juga larut dalam perbincangan. Mahasiswa Farmasi ini bercerita betapa negaranya, Pakistan, selalu dirundung malang, karena acapkali terjadi peledakan bom.
Seusai dari urusan ini, kami pun pulang ke USM. Malah, kami pun juga sama-sama mengunjungi klinik kampus. Sekarang, bangunan pusat kesehatan ini lebih luas dan nyaman. Proses pendaftaran tak mengalami perubahan, di mana saya harus mendaftar untuk mendapatkan nomor, lalu ke pusat saringan (screening), baru kemudian menunggu panggilan otomatik. Untuk kesekian kalinya, saya menjumpai Dr Noormala. Beliau adalah dokter yang sangat baik dan penuh perhatian pada pasiennya. Di sini, saya juga bertemu dengan teman Indonesia dan Malaysia berkebangsaan India, Mr Tarsame. Dengan yang terakhir ini, kami pun berbincang sambil menunggu giliran.
Dalam perjalanan mengambil obat di farmasi, saya menimbang berat badan yang telah mencapai 60 Kg. Sesampai di pusat obat ini, saya juga bertemu Khursid, kawan dari Pakistan. Tiba-tiba, kami pun juga larut dalam perbincangan. Mahasiswa Farmasi ini bercerita betapa negaranya, Pakistan, selalu dirundung malang, karena acapkali terjadi peledakan bom.
Sunday, July 06, 2008
Pasar Malam
Kami telah merencanakan beberapa hari sebelumnya untuk mengunjungi pasar malam dekat kampus, tepat di daerah Sungai Dua. Setelah menyiapkan catatan belanja, kami berdua berangkat selepas Maghrib. Untuk sampai ke tempat tujuan, kami mengambil jalan pintas dengan melewati kampus. Sebelum memasuki arena, jalanan udah disesaki oleh kendaraan. Biasanya, kami memarkir motor di depan rumah penduduk yang berada di simpang tiga.
Pertama kali, kami belanja sayuran dan bumbu, seperti bawang, cabe besar (RM 1.2 untuk 100 once) dan kecil, telor (RM 2.9 untuk sepuluh biji) pada seorang pedagang India. Lagi-lagi, saya harus berjumpa dengan serombongan pekerja Indonesia yang juga berbelanja. Dari bahasanya, saya mengenal mereka adalah orang Jawa. Malah, saya bersua dengan mahasiswa Indonesia, Mas Noval dan Pak Faisal yang juga tampak menikmati riuh rendah pasar malam.
Niat untuk membeli carimuthu, alat penghalus bumbu, tak tertunai. Kami hanya berhasil membeli alat penggorengan (sotel), sendok nasi pada penjual China seharga RM masing-masing RM 4 dan RM 1. Tampak, penjual ini sangat ramah dan betul-betul menghayati bahwa pembeli adalah raja. Agar acara belanja lebih menyenangkan kami sempat mampir ke penjual minuman es kelapa yang dicampur es krim pada penjual Melayu. Sekali-kali saya menyeruput minuman dingin untuk membasahi tenggorokan. Setelah puas-puas keliling, kami pun beranjak pulang.
Namun, kami tak segera kembali ke rumah, tapi mampir sejenak di gardu tempat tunggu depan kampus. Di sana, kami duduk sambil menikmati air kelapa yang menjadi teman menikmati malam. Tak lama, saya bilang pada Bunda untuk shalat jamaah Isya di masjid kampus, dengan berlari kecil saya menuju tempat wudhu dan dengan langkah besar saya mengisi barisan kedua. Karena terlambat, saya harus melanjutkan shalat agar sempurna empat rakaat. Karpet lembut terasa nyaman di dahi dan saya melafazkan doa dengan sepenuh hati.
Setelah usai, saya membalikkan badan dan berjalan pelan sambil memerhatikan anggota jamaah yang lain. Seperti biasa, mahasiswa dari Timur Tengah tampak berbincang-bincang, ada yang duduk melingkar, berdiri dan sambil berjalan. Mereka adalah jamaah setia dari Masjid Kampus. Mungkin, kalau tak ada mereka, masjid ini hanya dimakmurkan sedikit orang. Malah, ketika mengambil sepatu, saya melihat empat orang Arab bercakap-cakap di bibir masjid.
Saya pun memuaskan malam itu dengan nongkrong di gardu kampus. Tak sengaja, saya melihat sebuah keluarga yang mempunyai tiga anak lelaki dan dua anak perempuan sedang berjalan bersama keluar dari halaman masjid. Untuk kesekian kalinya, saya terserempak dengan mereka. Luar biasa, mereka selalu setia mengunjungi rumah Tuhan. Kadang, kepala keluarga ini, seorang lelaki dengan jambang yang lebat, mengimami shalat jamaah. Sebuah potret yang menentramkan.
Pertama kali, kami belanja sayuran dan bumbu, seperti bawang, cabe besar (RM 1.2 untuk 100 once) dan kecil, telor (RM 2.9 untuk sepuluh biji) pada seorang pedagang India. Lagi-lagi, saya harus berjumpa dengan serombongan pekerja Indonesia yang juga berbelanja. Dari bahasanya, saya mengenal mereka adalah orang Jawa. Malah, saya bersua dengan mahasiswa Indonesia, Mas Noval dan Pak Faisal yang juga tampak menikmati riuh rendah pasar malam.
Niat untuk membeli carimuthu, alat penghalus bumbu, tak tertunai. Kami hanya berhasil membeli alat penggorengan (sotel), sendok nasi pada penjual China seharga RM masing-masing RM 4 dan RM 1. Tampak, penjual ini sangat ramah dan betul-betul menghayati bahwa pembeli adalah raja. Agar acara belanja lebih menyenangkan kami sempat mampir ke penjual minuman es kelapa yang dicampur es krim pada penjual Melayu. Sekali-kali saya menyeruput minuman dingin untuk membasahi tenggorokan. Setelah puas-puas keliling, kami pun beranjak pulang.
Namun, kami tak segera kembali ke rumah, tapi mampir sejenak di gardu tempat tunggu depan kampus. Di sana, kami duduk sambil menikmati air kelapa yang menjadi teman menikmati malam. Tak lama, saya bilang pada Bunda untuk shalat jamaah Isya di masjid kampus, dengan berlari kecil saya menuju tempat wudhu dan dengan langkah besar saya mengisi barisan kedua. Karena terlambat, saya harus melanjutkan shalat agar sempurna empat rakaat. Karpet lembut terasa nyaman di dahi dan saya melafazkan doa dengan sepenuh hati.
Setelah usai, saya membalikkan badan dan berjalan pelan sambil memerhatikan anggota jamaah yang lain. Seperti biasa, mahasiswa dari Timur Tengah tampak berbincang-bincang, ada yang duduk melingkar, berdiri dan sambil berjalan. Mereka adalah jamaah setia dari Masjid Kampus. Mungkin, kalau tak ada mereka, masjid ini hanya dimakmurkan sedikit orang. Malah, ketika mengambil sepatu, saya melihat empat orang Arab bercakap-cakap di bibir masjid.
Saya pun memuaskan malam itu dengan nongkrong di gardu kampus. Tak sengaja, saya melihat sebuah keluarga yang mempunyai tiga anak lelaki dan dua anak perempuan sedang berjalan bersama keluar dari halaman masjid. Untuk kesekian kalinya, saya terserempak dengan mereka. Luar biasa, mereka selalu setia mengunjungi rumah Tuhan. Kadang, kepala keluarga ini, seorang lelaki dengan jambang yang lebat, mengimami shalat jamaah. Sebuah potret yang menentramkan.
Friday, July 04, 2008
Rumah Baru (Hari ke-3)
Semalam kami tidur agak awal. Pagi pun terasa segar karena cukup tidur. Ketika melihat ke luar jendela, gelap masih lekat. Karena ingin mengerjakan banyak hal, saya pun menyiapkan lebih awal ke kampus, memeriksa transfer, membayar sewa rumah, mengunjungi dokter kampus dan menjawab email profesor. Sekarang, saya tak lagi bisa menggunakan internet di rumah, seperti di flat kampus.
Memang, keluar rumah di awal pagi menyenangkan karena udara masih terasa segar. Dengan motor butut, saya menyusuri jalan beraspal yang masih hitam terang karena baru diperbaiki. Dengan jalan pintas, saya tak perlu berputar menuju kampus. Sayangnya, klinik mahasiswa tutup selama libur semester. Sesampai di ruangan komputer kampus, saya membuka koran dan email. Isu yang lagi hangat tentu saja kasus tuduhan 'sodomi' Anwar Ibrahim yang melibatkan mantan pembantunya.
Lalu, saya mengecek transfer dan ternyata sudah terkirim. Tak lama, saya akhirnya pergi ke Bank CIMB untuk menarik uang tunai dan menuju ke Maybank untuk membayar sewa kontrakan sebesar RM 350 (kira-kira Rp 1.011.500). Dari bank, saya pulang ke rumah untuk makan siang, namun sebelumnya sempat berbelanja tepung gandum dan ayam (RM 8.8) di mobil pick up keliling.
Memang, keluar rumah di awal pagi menyenangkan karena udara masih terasa segar. Dengan motor butut, saya menyusuri jalan beraspal yang masih hitam terang karena baru diperbaiki. Dengan jalan pintas, saya tak perlu berputar menuju kampus. Sayangnya, klinik mahasiswa tutup selama libur semester. Sesampai di ruangan komputer kampus, saya membuka koran dan email. Isu yang lagi hangat tentu saja kasus tuduhan 'sodomi' Anwar Ibrahim yang melibatkan mantan pembantunya.
Lalu, saya mengecek transfer dan ternyata sudah terkirim. Tak lama, saya akhirnya pergi ke Bank CIMB untuk menarik uang tunai dan menuju ke Maybank untuk membayar sewa kontrakan sebesar RM 350 (kira-kira Rp 1.011.500). Dari bank, saya pulang ke rumah untuk makan siang, namun sebelumnya sempat berbelanja tepung gandum dan ayam (RM 8.8) di mobil pick up keliling.
Menempati Rumah Baru (Hari ke-2)
Pembuka: Once dengan Dealova
Hari pertama di rumah baru, saya masih belum melakukan kegiatan rutin, seperti membaca, menulis dan mendengarkan lagu – kebetulan pada waktu itu sedang menikmati nyanyian dari radio Hot FM. Sekarang, semuanya berjalan seperti biasa. Apalagi, sore itu saya betul-betul merasakan nyaman karena udara segar setelah semalaman hujan, dan bahkan hingga jam 9 pagi. Bumi basah dan burung bernyanyi lebih riang.
Rumah baru yang terletak tak jauh dari kampus berada di lantai delapan, nomor 15. pemiliknya telah merenovasi rumah berukuran 10x7m menjadi tempat yang nyaman. Saya bisa menjadikan kamar satunya tempat membaca dan menulis. kamar mandinya juga telah diubah, berbeda dengan aslinya. Saya bisa menggunakan bak air yang dibuat kecil di pojok, meskipun shower tetap dipertahankan. Dasar bawaan sejak kecil!
Sore hari, ketika matahari terhalang awan, keadaan tampak muram. Saya pun tak ingin larut dalam keadaan sebegini. Dengan ditemani radio, saya melanjutkan membaca novel 24 Wajah Billy. Hanya 20 menitan, saya beranjak dan menengok jam menunjuk pukul 7.30, pertanda Magrib akan tiba. Lalu, dengan bergegas, saya mengambil kopiah untuk menunaikan shalat berjamaah di surau bawah flat. Di sana, saya berkenalan dengan pekerja asal Pakistan bernama Naim. Dia sudah bekerja di negeri jiran selama 3 tahun. Dia juga yang melantukan azan dengan nada yang unik.
Ada sekitar 6 orang yang mendirikan shalat jamaah. Saya pun diminta untuk menjadi imam. 4 orang berkebangsaan Pakistan dan 1 orang saya rasa dari Afrika. Malah, sebelum azan, saya sempat bertukar cerita dengan Naim, salah seorang imigran, yang tampak fasih berbicara bahasa Melayu. Kemudian, setelah dia melantunkan azan, saya berdiri di depan pintu dan tiba-tiba dua orang Pakistan yang lain datang seraya menghampiri dan menyalami saya. Bagi saya, bersalaman dengan orang asing menunjukkan ketidakterasingan dan ini hanya bisa dilakukan di surau atau masjid. Kebersamaan dan persaudaraan mudah tercipta di sini. Sayang, surau di flat ini tak ramai dengan jamaah, sama dengan nasib surau-surau yang lain di muka bumi ini.
Hari pertama di rumah baru, saya masih belum melakukan kegiatan rutin, seperti membaca, menulis dan mendengarkan lagu – kebetulan pada waktu itu sedang menikmati nyanyian dari radio Hot FM. Sekarang, semuanya berjalan seperti biasa. Apalagi, sore itu saya betul-betul merasakan nyaman karena udara segar setelah semalaman hujan, dan bahkan hingga jam 9 pagi. Bumi basah dan burung bernyanyi lebih riang.
Rumah baru yang terletak tak jauh dari kampus berada di lantai delapan, nomor 15. pemiliknya telah merenovasi rumah berukuran 10x7m menjadi tempat yang nyaman. Saya bisa menjadikan kamar satunya tempat membaca dan menulis. kamar mandinya juga telah diubah, berbeda dengan aslinya. Saya bisa menggunakan bak air yang dibuat kecil di pojok, meskipun shower tetap dipertahankan. Dasar bawaan sejak kecil!
Sore hari, ketika matahari terhalang awan, keadaan tampak muram. Saya pun tak ingin larut dalam keadaan sebegini. Dengan ditemani radio, saya melanjutkan membaca novel 24 Wajah Billy. Hanya 20 menitan, saya beranjak dan menengok jam menunjuk pukul 7.30, pertanda Magrib akan tiba. Lalu, dengan bergegas, saya mengambil kopiah untuk menunaikan shalat berjamaah di surau bawah flat. Di sana, saya berkenalan dengan pekerja asal Pakistan bernama Naim. Dia sudah bekerja di negeri jiran selama 3 tahun. Dia juga yang melantukan azan dengan nada yang unik.
Ada sekitar 6 orang yang mendirikan shalat jamaah. Saya pun diminta untuk menjadi imam. 4 orang berkebangsaan Pakistan dan 1 orang saya rasa dari Afrika. Malah, sebelum azan, saya sempat bertukar cerita dengan Naim, salah seorang imigran, yang tampak fasih berbicara bahasa Melayu. Kemudian, setelah dia melantunkan azan, saya berdiri di depan pintu dan tiba-tiba dua orang Pakistan yang lain datang seraya menghampiri dan menyalami saya. Bagi saya, bersalaman dengan orang asing menunjukkan ketidakterasingan dan ini hanya bisa dilakukan di surau atau masjid. Kebersamaan dan persaudaraan mudah tercipta di sini. Sayang, surau di flat ini tak ramai dengan jamaah, sama dengan nasib surau-surau yang lain di muka bumi ini.
Jakarta di Hari Ke-2
27 Juni 2008
Hari kedua di Jakarta, saya praktis hanya berdiam diri di rumah adik saya bersama Bunda. Selain, merasakan sarapan pagi ‘nasi uduk’, saya juga meminum susu murni nasional rasa coklat yang dibeli dari penjual keliling. Agak heran, sebungkus nasi yang dibubuhi tahu dan ‘bakwan’ hanya dihargai Rp 2500 dan susu murni itu hanya Rp 2000. Saya memilih keduanya adalah bentuk pembelajaran untuk mengonsumsi barang dalam negeri. Nasi uduk itu dijual ama penduduk asli Jakarta Betawi, sementara susu nasional produk Jawa Tengah.
Pagi-pagi sekali, TV One, menayangkan kasus demo mahasiswa yang berakhir rusuh. Sebenarnya, saya mendengar kerusuhan di depan DPR dari supir taksi yang kami ajak ngobrol. Tambahan lagi, ketika saya membeli koran TEMPO (26/6/08) di terminal Kampung Melayu, saya miris melihat ‘gambar’ di halaman depan mahasiswa disemprot oleh water canon dengan judul besar “Demo Brutal”.
Yang lebih membuat saya tersentuh ‘tayangan’ pemukulan polisi terhadap mahasiswa dalam kasus demo mahasiswa dan pemukulan laskar FPI terhadap AKKBB dalam berita bertajuk bulan kekerasan. Akhir dari penayangan dalam berita ini adalah STOP KEKERASAN! Ya, menurut saya udah nggak jamannya main pukul.
Tapi, sebelumnya saya mencoba untuk membersihkan halaman depan rumah Adik. Agar tidak berdebu, saya menyiramnya dengan air. Sayangnya, air buangan rumah di sekitarnya langsung ke selokan kecil di depan rumah. Bisa diramalkan jika nyamuk mendapatkan rumah yang nyaman dan tentu saja bau. Ini khas Jakarta. Padahal di kampung, rumah tangga dilengkapi dengan jurang tempat membuang air kamar mandi secara tertutup. Boleh dikatakan, kampung saya tak ditingkahi oleh nyamuk yang berkeliaran karena selokan yang berbau.
Saya hanya ingin beristirahat sejenak untuk memikirkan semua carut marut Jakarta. Sebelumnya saya telah mendapatkan koran Media Indonesia (25/6/08) dalam penerbangan dari bandara Pulau Pinang-Jakarta. Dalam ruang ‘Selamat Siang Indonesia’ bertajuk Jakarta, wartawannya (teguh@mediaindonesia.co.id) membuka paragraf dengan kalimat menyengat ‘Jakarta 481 tahun. Tua, sesak dan amburadul. Ibu Kota ini menyimpan seribu satu masalah.
Hari kedua di Jakarta, saya praktis hanya berdiam diri di rumah adik saya bersama Bunda. Selain, merasakan sarapan pagi ‘nasi uduk’, saya juga meminum susu murni nasional rasa coklat yang dibeli dari penjual keliling. Agak heran, sebungkus nasi yang dibubuhi tahu dan ‘bakwan’ hanya dihargai Rp 2500 dan susu murni itu hanya Rp 2000. Saya memilih keduanya adalah bentuk pembelajaran untuk mengonsumsi barang dalam negeri. Nasi uduk itu dijual ama penduduk asli Jakarta Betawi, sementara susu nasional produk Jawa Tengah.
Pagi-pagi sekali, TV One, menayangkan kasus demo mahasiswa yang berakhir rusuh. Sebenarnya, saya mendengar kerusuhan di depan DPR dari supir taksi yang kami ajak ngobrol. Tambahan lagi, ketika saya membeli koran TEMPO (26/6/08) di terminal Kampung Melayu, saya miris melihat ‘gambar’ di halaman depan mahasiswa disemprot oleh water canon dengan judul besar “Demo Brutal”.
Yang lebih membuat saya tersentuh ‘tayangan’ pemukulan polisi terhadap mahasiswa dalam kasus demo mahasiswa dan pemukulan laskar FPI terhadap AKKBB dalam berita bertajuk bulan kekerasan. Akhir dari penayangan dalam berita ini adalah STOP KEKERASAN! Ya, menurut saya udah nggak jamannya main pukul.
Tapi, sebelumnya saya mencoba untuk membersihkan halaman depan rumah Adik. Agar tidak berdebu, saya menyiramnya dengan air. Sayangnya, air buangan rumah di sekitarnya langsung ke selokan kecil di depan rumah. Bisa diramalkan jika nyamuk mendapatkan rumah yang nyaman dan tentu saja bau. Ini khas Jakarta. Padahal di kampung, rumah tangga dilengkapi dengan jurang tempat membuang air kamar mandi secara tertutup. Boleh dikatakan, kampung saya tak ditingkahi oleh nyamuk yang berkeliaran karena selokan yang berbau.
Saya hanya ingin beristirahat sejenak untuk memikirkan semua carut marut Jakarta. Sebelumnya saya telah mendapatkan koran Media Indonesia (25/6/08) dalam penerbangan dari bandara Pulau Pinang-Jakarta. Dalam ruang ‘Selamat Siang Indonesia’ bertajuk Jakarta, wartawannya (teguh@mediaindonesia.co.id) membuka paragraf dengan kalimat menyengat ‘Jakarta 481 tahun. Tua, sesak dan amburadul. Ibu Kota ini menyimpan seribu satu masalah.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...